Senin, 29 Agustus 2016

Sejarah, Tata Cara, dan Hikmah QURBAN

Kisah Nabi Ismail


Qurban berasal dari kata qarraba – yuqarribu – qurbaanan, yang berarti mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya diartikan sebagai peribadatan dalam bentuk sembelihan binatang qurban dengan binatang yang sudah ditentukan. Dalam aspek hukum, ibadah qurban bisa dibedakan menjadi ada yang bersifat wajib, dan ada yang bersifat sunnah. Yang pertama disebut “hadyu” yang pelaksanaannya dibebankan untuk dilaksanakan bagi mereka yang melaksanakan ibadah haji tamattu’ dan qiran, sementara bagi tidak melaksanakan ibadah haji bersifat sunnah yang disebut dengan udhhiyyah.

Sejarah Qurban

Pada dasarnya berawal dari kisah Qabil dan Habil pada masa Nabi Adam AS. Tetapi ibadah qurban yang kita laksanakan adalah menurut millah Nabi Ibrahim. Yaitu ketika Nabi Ibrahim diuji oleh Allah swt. Untuk menyembelih anaknya yang kemudian oleh Allah diganti dengan sembelihan kambing. Jadi, ibadah qurban berawal dari millah Nabi Ibrahim yang kemudian diperbaharui dan disempurnakan oleh syari’at Nabi Muhammad SAW.
Tata cara Qurban

Ibadah qurban yang kita laksanakan, seyogyanya berupaya untuk sesuai dengan apa yang disunnahkan oleh Rasulullah saw. Oleh karena itu, agar ibadah qurban kita diterima oleh Allah swt, harus diperhatikan beberapa hal sebagai tata cara qurban, yaitu:

1. Waktu penyembelihan harus dilaksanakan setelah kita melaksanakan shalat ‘Id, berbeda dengan zakat fitrah yang harus dibagikan sebelum pelaksanaan shalat ‘Id. Pernah terjadi dalam sejarah, seorang sahabat yang bernama Abu Burdah menyembelih binatang qurban sebelum shalat ‘Id, kemudian Nabi menghukumi daging sembelihannya dengan daging biasa saja bukan daging qurban.

2. Binatang yang akan disembelih haruslah tidak cacat dan yang gemuk, tapi bukan yang tebal bulunya. Karena ada sebagian masyarakat kita yang mensyarah secara harfiyah sebuah hadits yang mengisahkan ketika ada yang bertanya kepada Nabi tentang “untuk qurban itu?” Kemudian nabi menjawab, “Ini adalah dari millah Ibrahim”. Kemudian sahabat bertanya lagi, “Kami mendapatkan apa dari Qurban?”. Nabi menjawab, “Dari setiap bulu kambing itu ada satu kebaikan”. Hadits ini dipahami bahwa binatang qurban harus banyak bulunya, padahal tidak demikian. Ditambah lagi kalau kita perhatikan dalam sejarah Nabi Ibrahim bahwa binatang sembelihan yang menjadi ganti Nabi Ismail disebut dengan kata dzibhin ‘azhiim (sembelihan yang gemuk)

3. Mustahiq qurban haruslah diprioritaskan fakir miskin, berbeda dengan pembagian zakat yang menggunakan 8 ashnaf. Bahkan amilin pun tidak mendapat bagian karena Rasulullah pernah melarang untuk member upah bagi siapa yang menyembelih binatang qurban. Walaupun di daerah kita selalu saja daging qurban dibagikan secara rata, dan ini pun pernah terjadi pada zaman Rasulullah. Sampai Khalifah Umar pun kebagian daging qurban, tetapi beliau marah ketika menerimanya, lalu Nabi bersabda, “Terima saja, setelah itu terserah kamu untuk diberikan lagi kepada fakir miskin”. Dari sini setidaknya dapat diambil sebuah pesan bahwa setiap ‘Idul Adhha semua orang dituntut untuk berkurban. Sampai kalau kita buka kitab-kitab fikih akan kita dapati sebuah kisah untuk menampakkan spirit pengorbanan sampai-sampai mereka (sahabat yang miskin) menyembelih seekor ayam lalu dibagikan kepada yang lebih miskin dari mereka, jelas ii bukan sembelihan qurban tetapi kita lihat spirit pengorbanannya.

4. Mensedekahkan seluruh bagian dari hasil sembelihan. Sebagaimana Nabi pernah memerintahkan kepada Sayyidina Ali untuk membagi-bagikan daging, kulit, sampai aksesoris untuk bisa dibagikan, disedekahkan dan dinikmati.

Jika tidak memperhatikan hal-hal di atas, maka dikhawatirkan sembelihan tersebut akan jatuh kepada daging/sembelihan biasa, bukan qurban.


Hikmah Qurban

Hikmah disyari’atkannya ibadah qurban bisa dilihat dari tiga aspek, yaitu:

Pertama, aspek ketaatan kepada syari’at (ajaran).
Kedua, aspek pengorbanan sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim ketika diperintahkan untuk menyembelih anaknya sendiri.
Ketiga, aspek sosial dilihat dari prioritas pembagian daging qurban, yaitu kepada para faqir miskin.

Kalau melihat kondisi masyarakat sekarang, makin banyak saudara kita yang tergolong masyarakat miskin dan masih memerlukan bantuan kita. Ketika pendistribusian daging qurban dibagikan ke daerah-daerah miskin atau terpencil, hal tersebut akan mempunyai nilai (pahala) lebih dari ibadah qurban yang kita laksanakan. Setidaknya akan mengikis sifat riya, ingin dilihat bahwa saya berkurban. Apalagi ketika dilihat dari nilai-nilai ukhuwah, ketika dibagikan ke daerah-daerah terpencil maka prinsip kaljasadil waahid (bagaikan satu tubuh) akan tercipta. Dengan kata lain saudara kita di sana akan merasa diperhatikan oleh saudaranya sesame muslim yang memiliki kelebihan harta. Jadi sudah saatnya kita mengubah tata cara penyembelihan yang selalu terpusat di perkotaan yang notabene selalu terjadi penumpukan daging qurban, kepada distribusi qurban ke pelosok-pelosok adaerah yang miskin dan terpencil.

Kita juga hendaknya meneladani Nabi Ibrahim sebagai “Insan Qurban”. Sebagaimana kita lihat dari mulai kisah pengorbanan diri untuk dibakar, pengorbanan beliau ketika berda’wah yang dilandasi kesabaran, punya anak harus disembelih, dan banyak hal lainnya lagi yang setidaknya harus menjadi spirit pengorbanan bagi kepentingan agama ataupun umat.

Sabtu, 27 Agustus 2016

Pandangan Islam Tentang Fenomena Ibadah Haji Berulang-Kali



Sekarang banyak travel haji dan transportasi yang siap melayani keberangkatan haji. Apalagi sebagian travel menawarkan ongkos yang menggiurkan dan tidak terlalu mahal, bisa diangsur.

Namun, di balik kemudahan fasilitas itu ada sesuatu yang justru mengkhawatirkan menurut sebagian ulama, yaitu fenomena haji berulang kali.

Almarhum KH. Ali Mustafa Yaqub, termasuk orang yang berada di garda depan mengkritik fenomena haji berkali-kali ini. Menurutnya, lebih baik mendermakan ongkos haji itu untuk menyejahterakan kaum dhu’afa. “Af’alul muta’addi afdhalu minal qashir (Ibadah Sosial lebih baik daripada Ibadah Individual)” Itulah kalimat yang sering beliau sampaikan.

Kemunculan pendapat ini berkelindan dengan masih banyaknya problem kemiskinan dan kefakiran yang belum tuntas di negeri ini. Sehingga alangkah baiknya harta yang banyak itu digunakan untuk menyelesaikan problem ini, ketimbang beribadah haji berkali-kali. Terlebih lagi, haji kedua dan seterusnya hukumnya sunah, tidak wajib.

Kritik yang dilontarkan almarhum Kiai Ali ini sebenarnya sudah ditegaskan Imam Al-Ghazali sedari dulu. Dalam kitab Ihya Ulumuddin jilid tiga, ia menjelaskan panjang lebar terkait tipu daya. Siapa saja bisa terpedaya baik orang berilmu, sufi, maupun pemilik harta.

Khusus bagi orang berharta (arbabul mal), di antara bentuk tipu dayanya adalah sebagai berikut :
وربما يحرصون على إنفاق المال في الحج فيحجوت مرة بعد أخرى وربما تركوا جيرانهم جياعا ولذلك قال ابن مسعود في آخر الزمان يكثر الحاج بلا سبب يهون عليهم السفر ويبسط لهم في الرزق ويرجعون محرومين مسلوبين يهوي بأحدهم بعيره بين الرمال والقفار وجاره مأسور إلى جنبه لا يواسيهِ

Artinya, “Mereka bersikeras mengeluarkan harta untuk pergi haji berulang kali dan membiarkan tetangganya kelaparan. Ibnu Mas’ud berkata, ‘Pada akhir zaman, banyak orang naik haji tanpa sebab. Mudah bagi mereka melakukan perjalanan, rezeki mereka dilancarkan, tapi mereka pulang tidak membawa pahala dan ganjaran. Salah seorang mereka melanglang dengan kendaraannya melintasi sahara, sementara tetangganya tertawan di hadapannya tidak dihiraukannya.”

Mereka menyangka dengan menghabiskan harta untuk naik haji berulang kali itu dianggap lebih mulia di sisi Allah, ketimbang mendermakan harta untuk fakir miskin.

Inilah salah satu bentuk tipu daya bagi orang berharta menurut Al-Ghazali. Lebih baik kelebihan harta yang di miliki diprioritaskan untuk membantu fakir miskin, pesantren yang terbengkalai, anak sekolah yang serba kekurangan, dan amal sosial lainnya.

Karenanya, kita perlu membuat skala prioritas dalam beribadah. Ketika di hadapkan dengan banyak peluang beribadah, pilihlah ibadah yang lebih banyak maslahatnya, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Sebagaimana dikatakan ‘Izzuddin bin ‘Abdul Salam dalam Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam, “Apabila di hadapkan dua kemaslahatan dalam satu waktu, usahakan melakukan keduanya. Bila tidak mungkin, dahulukanlah mana yang paling maslahat dan utama,”

Selasa, 23 Agustus 2016

Apa Perbedaan Haji dan Umrah?



Dahulu saat berangkat beribadah haji, muslim Indonesia membutuhkan waktu hingga bertahun-tahun. Hal tersebut karena perjalanan waktu itu yang masih mengandalkan transportasi laut dan darat. Di kapal laut sendiri bisa berlangsung hingga berbulan-bulan, belum lagi perjalanan darat untuk sampai ke Mekkah. Namun kini berhaji bisa berangkat dengan kapal terbang yang hanya membutuhkan waktu sehari saja. Ber-umroh pun kini bisa dilaksanakan kapan saja oleh umat Islam di Indonesia. Haji dan umrah adalah ibadah yang sangat ditekankan dalam Islam. Lalu apa perbedaan haji dan umroh ditinjau dari syariat islam?

Dalam surah Al-Baqarah ayat 196 Allah SWT berfirman : "Dan sempurnakan lah ibadah haji dan umrah karena Allah.” Selanjutnya di surah Al-Hajj ayat 96 dan 97 yang berbunyi : “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh". Kemudian surah Al-Baqarah ayat 197 : “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”

Ibadah Haji adalah salah satu rukun Islam urutan kelima yang bersifat wajib dilakukan oleh kaum muslim yang mampu baik dari segi biaya, tenaga dan pengetahuan. Haji hanya bisa dijalankan satu kali setiap tahunnya tepatnya tanggal 9 Dzulhijjah yakni ketika melakukan wuquf di padang Arafah. Haji hakikatnya yaitu melaksanakan wuquf di Arafah. Selain itu ibadah wajib yang satu ini pun membutuhkan waktu menjalankan yang lebih lama sekaligus stamina tubuh berupa tenaga yang lebih banyak.

Ibadah Umroh adalah salah satu bentuk ibadah ke Baitul Haram seperti juga haji namun berhukum sunnah. Pelaksanaannya pun boleh kapan saja selain dari waktu penyelenggaraan haji. Ibadah yang satu ini dijalankan dengan melaksanakan sejumlah ritual ibadah di Mekkah terutama di Masjidil Haram. Umroh bisa juga diartikan menjalankan tawaf di Ka'bah kemudian sa'i antara Shofa dan Marwah, sesudah mengenakan pakaian ihram yang diperoleh dari Miqat. Umroh pun kerap pula diistilahkan sebagai haji kecil. Ada beberapa jenis umrah namun yang lazim yakni menggabungkan pelaksanaannya dengan ibadah haji sebagaimana haji tamattu. Namun ada juga ibadah umroh yang tak berkaitan dengan haji yaitu : umroh Mufradah, umrah Tamattu' dan umroh Sunnah.

Perbedaan Haji dan Umroh yang utama yakni mengenai waktu dan tempat pelaksanaannya. Ibadah umroh boleh dijalankan setiap saat dan cuma bertempat di Mekkah, sementara haji cuma bisa dijalankan untuk waktu tertentu mulai 8 Dzulhijjah sampai 12 Dzulhijjah sekaligus dikerjakan hingga keluar wilayah Mekkah. Perbedaan haji dan umroh pun bisa dilihat dari asal katanya. Haji berasal dari kata Hajj yang dilihat dari lughawi, artinya menyengaja, mendatangi atau mengunjungi. Berdasarkan etimologi bahasa Arab, kata haji bermakna qashd atau artinya maksud, tujuan atau dengan sengaja. Berdasarkan syara', haji yaitu pergi menuju Baitullah serta beberapa tempat tertentu demi menjalankan sejumlah ibadah tertentu. Ibadah inti haji diawali dari tanggal 8 Zulhijah saat umat muslim menginap di Mina, kemudian sehari setelahnya melakukan wuquf di Arafah dan berkesudahan dengan melempar jumrah tanggal 10 Zulhijah.

Jumat, 19 Agustus 2016

Jangan Sampai Melupakan "ILMU TAJWID"



ILMU TAJWID adalah ilmu yang mempelajari tata cara membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Ilmu tajwid sangat penting, karena kalau kita tidak bisa memahami ilmu jadwid ini maka kemungkinan kita salah arti sangat besar. Sebenarnya kegunaan tajwid ini adalah untuk mengetahui panjang atau pendek, melafazkan dan hukum dalam membaca al quran.
Pengertian TAJWID (تجويد) secara harfiah mempunyai arti melakukan sesuatu dengan baik dan indah atau bagus dan membaguskan, tajwid ini berasal dari kata bahasa arab yaitu ”Jawwada (جوّد-يجوّد-تجويدا)”. Tajwid dalam ilmu Qiraah mempunyai arti mengeluarkan huruf dari tempatnya dgn memberikan sifat-sifat yang dimilikinya. Jadi kesimpulan dari ilmu tajwid ini adalah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana cara melafazkan atau mengucapkan huruf-huruf yang terdapat dalam kitab suci Al-Quran maupun Hadist dan lainnya.
hukum tajwid
Di dalam ilmu tajwid ini terdapat beberapa istilah yang harus kita perhatikan dan kita ketahui ketika  membaca Al-Quran, diantaranya adalah :

a. Makharijul huruf  yaitu tempat keluar masuknya huruf
b. Shifatul huruf  yaitu cara melafalkan atau mengucapkan huruf
c. Ahkamul huruf  yaitu hubungan antara huruf
d. Ahkamul maddi wal qasr  yaitu panjang dan pendeknya dalam melafazkan ucapan dalam tiap ayat Al-Quran
e. Ahkamul waqaf wal ibtida’ yaitu mengetahui huruf yang harus mulai dibaca dan berhenti pada bacaan bila ada tanda huruf tajwid
f. dan Al-Khat dan Al-Utsmani


Berikut ini adalah dalil atau pernyataan shahih dari Allah SWT yang mewajibkan setiap Hamba-Nya untuk membaca Al-Quran dengan memahami tajwid, diantaranya :

1. Dalil yang pertama di ambil dari ayat suci Al Quran. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Muzzammil (73) yang artinya adalah “Dan bacalah Al Qur’an itu dengan perlahan/tartil (bertajwid)”. Pada Ayat ini jelas menunjukkan bahwa Allah SWT telah memerintahkan Nabi Muhammad untuk membaca Al Quran yang diturunkan kepadanya dengan tartil, yaitu memperindah pengucapan setiap huruf-hurufnya (bertajwid).

2. Dalil kedua diambil dari As-Sunnah atau ( Hadist ) yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah r.a. yaitu istri Nabi Muhammad SAW, ketika beliau ditanya tentang bagaimana bacaan Al-Quran dan sholat Rasulullah SAW, maka beliau menjawab: ”Ketahuilah bahwa Baginda Nabi muhammad S.A.W. Sholat kemudian tidur yang lamanya sama seperti ketika beliau sholat tadi, kemudian Baginda kembali sholat yang lamanya sama seperti ketika beliau tidur tadi, kemudian tidur lagi yang lamanya sama seperti ketika beliau sholat tadi hingga menjelang shubuh. Kemudian dia (Ummu Salamah) mencontohkan cara bacaan Rasulullah S.A.W. dengan menunjukkan (satu) bacaan yang menjelaskan (ucapan) huruf-hurufnya satu persatu.” (Hadits 2847 Jamik At-Tirmizi).

A. GHUNNAH

Ghunnah artinya mendengung. Hal ini berarti bahwa setiap ada huruf Nun atau Mim yang bertasydid maka hukum bacaannya dinamakan Ghunnah.

Contoh:
اِ نَّ       ثُمَّ        اِ نَّمَا       فَلَمَّا

B. HUKUM NUN SUKUN/TANWIN

Perbedaan Nun sukun atau Tanwin adalah sama dalam lafadz tetapi lain dalam tulisan. Adapun hukum Nun sukun atau Tanwin adalah sebagai berikut :

1. Idgham Bighunnah


Idghom : memasukkan
Bighunnah : dengan mendengung.
Idgham Bighunnah mempunyai arti (dilebur dengan disertai dengung) Yaitu memasukkan atau meleburkan salah satu huruf nun mati atau tanwin (ـًـٍـٌ / نْ) kedalam huruf sesudahnya dgn disertai (ber)dengung, jika bertemu dgn salah satu huruf empat ini  yaitu :ي  ن م و atau biasa di singkat dengan bunyi يَنْمُوْ


Contoh:
مَنْ يَقُوْ لُ ( نْ- ي )           فَلَنْ نَِّزيْدَ كُمْ ( نْ- ن )
فَتْحًا مُبِيْنًا ( _ً  – م)           مِنْ وَّرَائِهِمْ ( نْ- و )

2. Idghom Bilaghunnah
Idghom : memasukkan
Bilaghunnah : dengan tanpa mendengung
Artinya : apabila ada Nun sukun atau Tanwin bertemu dengan salah satu huruf hijaiyyah yang berjumlah 2 huruf, antara lain : ل dan ر

Contoh:
مِنْ لَدُ نْكَ ( نْ- ل )                   غَفُوْرٌرَحِيْمٌ ( _ٌ – ر)

3. Idzhar

Idzhar berarti : jelas atau terang
Artinya : apabila ada Nun sukun atau Tanwin bertemu dengan salah satu huruf hijaiyyah yang berjumlah 6 huruf, antara lain : ﻫ  أ ح خ ع غ

Contoh:
كُفُوًا اَحَدٌ ( _ً – ا)              مِنْ حَيْثُ ( نْ – ح )           مَنْ خَفَّتْ ( نْ – خ )
خُلُقٍ عَظِيْمٍ ( ٍ – ع )          قَوْ مًا غَيْرَ كُمْ ( _ً -غ)        لَكُمُ اْلاَ نْهَا َر ( نْ – ﻫ )


4. Iqlab
Artinya apabila ada Nun sukun atau Tanwin bertemu dengan satu huruf dari huruf hijaiyyah yaitu: ب

Contoh:
مَنْ بَخِلَ ( نْ – ب )                 عَوَا نٌ بَيْنَ ( _ٌ – ب)

5. Ikhfa’

Ikhfa’ berarti: samar-samar
Artinya : apabila ada Nun sukun atau Tanwin bertemu dengan salah satu huruf hijaiyyah yang berjumlah 15 huruf, antara lain:
ت ث ج د ذ ز س ش ص ض ط ظ ف ق ك

Contoh:
مِنْ تَحْتِهَا ( نْ – ت )             مَاءً ثَجَا جًا ( _ً – ث)            اَنْجَيْنَا كُمْ ( نْ – ج )
قِنْوَانٌ دَانِيَةٍ ( _ٌ – د)             مَنْ ذَالَّذِ يْ ( نْ – ذ)             يَوْمَئِذٍ زُرْقًا ( ٍ – ز )
اِنَّ اْلاِ نْسَا نَ ( نْ – س )        عَذَا بٌ شَدِ يْدٌ ( _ٌ – ش)        قَوْ مًا صَا لِحِيْنَ ( _ً – ص)
مُسْفِرَ ةٌ ضَا حِكَةٌ ( _ٌ – ض)    وَمَا يَنْطِقُ ( نْ – ط)             عَنْ ظُهُوْرِهِمْ ( نْ – ظ)
عُمْيٌ فَهُمْ ( _ٌ – ف)               رِزْقًا قَا لُوْا ( _ً – ق)          مَنْ كَا نَ يَرْجُوْا ( نْ – ك)


C. HUKUM MIM SUKUN

Hukum Mim sukun dibagi menjadi 3 macam, antara lain:

1. Idghom Mitsli (Idghom Mimi)

Artinya: apabila ada Mim sukun bertemu dengan Mim

Contoh:
كُنْتُمْ مُسْلِمِيْنَ ( مْ – م )

2. Ikhfa’ Syafawi

Artinya: apabila ada Mim sukun bertemu dengan Ba’

Contoh:
تَرْمِيْهِمْ بِحِجَارَةٍ ( مْ – ب )

3. Idzhar Syafawi

Artinya: apabila ada Mim sukun bertemu dengan salah satu huruf hijaiyyah selain Mim dan Ba’

Contoh:
هُمْ نَا ئِمُوْنَ ( مْ – ن )                   اَمْ لَمْ تُنْدِ رْ هُمْ ( مْ – ت )
الخ ……..


D. HUKUM IDGHAM

Hukum Idgham dibagi menjadi 3 macam, antara lain:

1. Idghom Mutamatsilain

Artinya: jika ada huruf yang sama, yang pertama sukun dan yang kedua hidup.

Contoh:
اِضْرِ بْ بِعَصَا كَ ( بْ – بِ )

2. Idghom Mutajanisain

Dinamakan Idghom Mutajanisain jika TA sukun bertemu THA, THA sukun bertemu TA, TA sukun bertemu DAL, DAL sukun bertemu TA, LAM sukun bertemu RA, DZAL sukun bertemu ZHA.

Contoh:
(تْ- ط )   قَالَتْ طَا ئِفَة ٌ         ( طْ- ت )  لَئِنْ بَسَطْتَ            ( تْ- د )  اَثْقَلَتْ دَ عَوَا
( دْ- ت )   قَدْ تَبَيَّنَ                ( لْ- ر )  قُلْ رَبِّ                  ( ذْ- ظ )   اِذْ ظَلَمُوْا

3. Idghom Mutaqorribain

Dinamakan Idghom Mutaqorribain jika TSA sukun bertemu DZAL, QAF sukun bertemu KAF, BA sukun bertemu MIM.

Contoh:
( ثْ- ذ )  يَلْهَثْ ذ لِكَ             ( قْ- ك )  اَلَمْ نَخْلُقْكُمْ             ( بْ- م ) يبُنَيَّ ارْ كَبْ مَعَنَا

E. QALQALAH

Qalqalah artinya memantul. Huruf Qalqalah ada lima, antara lain:
ق ط ب ج د biasa disingkat dengan bunyi   قَطْبُ جَدٍّ

Contoh:
ق- يَقْرَ أُ          ط- يَطْهَرُ           ب- يَبْخَلُ           ج- يَجْعَلُ           د- يَدْ خُلُ

Qalqalah dibagi dua :
1. Qalqalah Sughra

Adalah: huruf Qalqalah yang matinya asli, sebagaimana contoh diatas.

2. Qalqalah Kubra

Adalah: huruf Qalqalah yang matinya disebabkan waqaf.

Contoh:
خَلَقَ dibaca   خَلَقْ               اَحَدٌ dibaca اَحَدْ

F. LAFADZ ALLAH
Dibaca tafkhim, jika lafadz Allah didahului harakat fathah atau dhummah.

Contoh:
وَاللهُ           نَصْرُ اللهِ

Dibaca tarqiq, jika lafadz Allah didahului harakat kasroh.

Contoh:
بِسْمِ اللهِ الرَّ حْمنِ ا لرَّ حِيْمِ

G. HURUF SYAMSIYAH DAN QAMARIYAH

Huruf Syamsiyah dan huruf Qamariyah jumlahnya sama yaitu masing-masing ada 14 huruf.
Huruf Syamsiyah: jika ada  ال bertemu dengan salah satu huruf hijaiyyah yang berjumlah 14, antara lain:

ت ث د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ل ن

Contoh:
وَالتِّيْنِ         اَلدُّ نْيَا         وَالشَّمْسِ           النِّعْمَةِ
الخ……

Huruf Qamariyah: jika ada ال   bertemu dengan salah satu huruf hijaiyyah yang berjumlah 14, antara lain:

ب ج ح خ ع غ ف ق ك م و ﻫ ء ي

Contoh:
اَلْجُمُعَةُ           اَلْخَيْرُ           اَلْفِيْلُ            اَلْكَبِيْرُ
الخ……


H. IDZHAR WAJIB

Dinamakan Idzhar Wajib, jika ada Nun sukun atau Tanwin bertemu huruf YA atau WAWU dalam satu kalimat. Cara membacanya: terang atau jelas. Namun, didalam Al-Qur’an bacaan Idzhar Wajib ini hanya ada 4, yaitu:

اَلدُّ نْيَا              بُنْيَانٌ                 صِنْوَانٌ                    قِنْوَانٌ

I. HUKUM RA’

Hukum Ro’ ada dua:

Ro’ yang dibaca Tafkhim

Ciri-ciri:

    Ro’ fathah, Ro’ fathah tanwin.
    Ro’ dhummah, Ro’ dhummah tanwin.
    Ro’ sukun didahului fathah atau dhummah.
    Ro’ sukun didahului kasrah ada hamzah washal.
    Ro’ sukun didahului kasrah bertemu huruf isti’la’.

Contoh:
a)      رَ- رًا        رَبَّنَا                  خَيْرًا
b)      رُ- رٌ         رُوَيْدًا                كَبِيْرٌ
c)      _َ _ُ  _ْ      اَرْ سَلَ              قُرْ ا نٌ
d)     _ِ ا رْ        اَ مِرْ تَا بُوْا         اِ رْ جِعُوْ ا
e)      _ِ رْ – خ ص ض ط ظ غ ق   مِرْ صَا دٌ         قِرْ طَا سٌ


    Ro’ yang dibaca Tarqiq

Ciri-ciri:
a)      Ro’ kasrah, Ro’ kasrah tanwin.
b)      Ro’ sukun didahului kasrah.
c)      Ro’ hidup didahului Ya’ dibaca waqaf.

Contoh:
a)      رِ- رٍ         رِجْسٌ            خُسْرٍ
b)      _ِ  رْ         فِرْ عَوْ نَ        فَكَبِّرْ
c)      _َِ ي  ُِ ر ٌٍ    خَيْرٌ              بَصِيْرٍ


J. HUKUM MAD

Hukum Mad dibagi dua:

1. Mad Thabii

Yang dinamakan dengan mad Thabi’i, adalah: jika fathah diikuti ALIF, kasrah diikuti YA, dhummah diikuti WAWU. Panjang bacaannya: satu alif (dua harakat)

Contoh:
دَا – دِيْ – دُوْ       نُوْ حِيْهَا

2. Mad Far’i

Mad Far’i dibagi menjadi 13, antara lain:

    1. Mad wajib muttashil

ialah: Mad Thabii bertemu hamzah dalam satu kalimat. panjang bacaannya: 2,5 alif (5 harakat).
Contoh:
جَاءَ               لِقَاءَ نَا             نِدَاءً

    2. Mad jaiz munfashil

ialah:   Mad Thabii bertemu hamzah (bentuknya huruf alif) di lain kalimat. Panjang bacaannya: 2,5 alif (5 harakat).

Contoh:
اِنَّا اَعْطَيْنَا                   اِنَّا اَ نْزَلْنَا

    3. Mad ‘aridh lissukun

ialah:  Mad Thabii bertemu huruf hidup dibaca waqaf. Panjang bacaannya:  3 alif (6 harakat).

Contoh:
اَبُوْكَ = اَبُوْكْ                عِقَا بِ = عِقَا بْ

    4. Mad ‘iwadh

ialah:  jika ada fathah tanwin yang dibaca waqaf, selain TA’ marbuthah. Panjang bacaannya: 1 alif (2 harakat).

Contoh:
عَلِيْمًا = عَلِيْمَا

    5. Mad shilah

ialah: setiap dhomir HU dan HI apabila didahului huruf hidup. Mad shilah dibagi dua, yaitu: Mad shilah qashirah dan Mad shilah thawilah. Yang dinamakan Mad shilah thawilah, adalah Mad shilah qashirah bertemu huruf hamzah (bentuknya alif).
Panjang bacaan Mad shilah qashirah: 1 alif (2 harakat).

Contoh:
لَه‘-  بِه

Panjang bacaan Mad shilah thawilah: 2,5 alif (5 harakat).

Contoh:
اَنَّ مَا لَه اَخْلَدَه

    6. Mad badal

ialah:   setiap Aa, Ii, Uu yang dibaca panjang. Panjang bacaannya: 1 alif (2 harakat).

Contoh:
امَنُوْا              اِيْتُوْ نِيْ                  اُوْ تِيَ

    7. Mad tamkin

ialah:  YA kasrah bertasydid bertemu YA sukun. Panjang bacaannya: 1 alif (2 harakat).

Contoh:
اُمِّيِّيْنَ                   حُيِّيْتُمْ                 نَبِيِّنَ

    8. Mad lin

ialah:  fathah diikuti WAWU atau YA sukun bertemu huruf hidup dibaca waqaf. Panjang bacaannya: 3 alif (6 harakat).

Contoh:
خَوْ فٌ = خَوْفْ                   اِلَيْهِ = اِلَيْهْ

    9. Mad lazim mutsaqqal kalimi

ialah: Mad Thabii bertemu tasydid. Panjang bacaannya: 3 alif (6 harakat).

Contoh:
وَ لاَ الضَا لِّيْنَ

    10. Mad lazim mukhaffaf kalimi

ialah: Mad badal bertemu sukun. Panjang bacaannya: 3 alif (6 harakat).

Contoh:
ا لاْنَ

    11. Mad lazim musyabba’ harfi

ialah:  huruf hijaiyyah yang dibaca panjangnya 3 alif (6 harakat). Jumlah hurufnya ada 8, yaitu:
ن ق ص ع س ل ك م

Contoh:
ن   ق   ص    ا لمّ      ا لمّص

    12. Mad lazim mukhaffaf harfi

ialah:  huruf hijaiyyah yang dibaca panjangnya 1 alif (2 harakat). Jumlah hurufnya ada 5, yaitu:
ح ي ط ﻫ ر

Contoh:
طه          يس           عسق         كهيعص            ا لمّر

    13. Mad farq

ialah: Mad badal bertemu tasydid. Panjang bacaannya: 3 alif (6 harakat).

Contoh:  
قُلْ اْلا للهُ

K. Waqaf (وقف)

Hukum bacaan Waqaf dari sudut bahasa mempunyai arti berhenti atau menahan, apabila dari sudut istilah tajwid mempunyai arti menghentikan bacaan sejenak dengan memutuskan suara diakhir perkataan untuk bernapas dengan niat ingin menyambungkan kembali bacaan. Terdapat empat jenis waqaf yaitu:

ﺗﺂﻡّ (taamm) – waqaf sempurna yaitu mewaqafkan atau memberhentikan pada suatu bacaan yang dibaca secara sempurna, tidak memutuskan di tengah-tengah ayat atau bacaan, dan tidak mempengaruhi arti dari bacaan tersebut karena tidak mempunyai kaitan dengan bacaan atau ayat yang sebelumnya maupun yang sesudahnya.

ﻛﺎﻒ (kaaf) – waqaf memadai yaitu mewaqafkan atau memberhentikan pada suatu bacaan secara sempurna, tidak memutuskan ditengah-tengah ayat atau bacaan, namun ayat tersebut masih berkaitan makna dan arti dari ayat sesudahnya.

ﺣﺴﻦ (Hasan) – waqaf baik yaitu mewaqafkan bacaan atau ayat tanpa mempengaruhi makna atau arti, namun bacaan tersebut masih berkaitan dengan bacaan sesudahnya

ﻗﺒﻴﺢ (Qabiih) – waqaf buruk yaitu mewaqafkan atau memberhentikan bacaan secara tidak sempurna atau memberhentikan bacaan di tengah-tengah ayat, wakaf ini harus dihindari karena bacaan yang di waqafkan masih berkaitan lafaz dan maknanya dengan bacaan yang lain.

Tanda-tanda waqaf lainnya :

1. Tanda mim ( مـ ) disebut juga dengan Waqaf Lazim. yaitu berhenti di akhir kalimat sempurna. Wakaf Lazim disebut juga Wakaf Taamm (sempurna) karena wakaf terjadi setelah kalimat sempurna dan tidak ada kaitan lagi dengan kalimat sesudahnya. Tanda mim ( م ), memiliki kemiripan dengan tanda tajwid iqlab, namun sangat jauh berbeda dengan fungsi dan maksudnya;
2. tanda tho ( ) adalah tanda Waqaf Mutlaq dan haruslah berhenti.
3.tanda jim ( ) adalah Waqaf Jaiz. Lebih baik berhenti seketika di sini walaupun di perbolehkan juga untuk tidak berhenti.
4. tanda zha ( ) mempunyai makna lebih baik tidak berhenti
5. tanda sad ( ) disebut juga dengan Waqaf Murakhkhas, menunjukkan bahwa lebih baik untuk tidak berhenti namun diperbolehkan berhenti saat darurat tanpa merubah maknanya. Perbedaan antara hukum tanda zha dan sad adalah pada fungsinya, dalam kata lain lebih diperbolehkan berhenti pada waqaf sad
6. tanda sad-lam-ya’ ( ﺻﻠﮯ ) merupakan singkatan dari “Al-washl Awlaa” yang mempunyai arti “wasal atau meneruskan bacaan adalah lebih baik”, oleh karena itu meneruskan bacaan tanpa mewaqafkannya adalah lebih baik;
7. tanda qaf ( ) merupakan singkatan dari “Qiila alayhil waqf” mempunyai makna “telah dinyatakan boleh berhenti pada wakaf sebelumnya”, oleh karena itu lebih baik meneruskan bacaan walaupun boleh diwaqafkan
8. tanda sad-lam ( ﺼﻞ ) merupakan singkatan dari “Qad yuushalu” yang mempunyai makna “kadang kala boleh diwasalkan”, oleh karena itu lebih baik berhenti walaupun kadang kala boleh diwasalkan
9. tanda Qif ( ﻗﻴﻒ ) mempunyai maksud berhenti! yaitu lebih diutamakan untuk berhenti. Tanda tersebut biasanya muncul pada kalimat yang biasanya sipembaca akan meneruskannya tanpa berhenti
10. tanda sin ( س ) atau tanda Saktah ( ﺳﮑﺘﻪ ) menandakan berhenti seketika tanpa mengambil napas. Dengan kata lain, si pembaca haruslah berhenti seketika tanpa mengambil napas baru untuk meneruskan bacaan
11. tanda Waqfah ( ﻭﻗﻔﻪ ) mempunyai maksud sama seperti waqaf saktah ( ﺳﮑﺘﻪ ), namun harus berhenti lebih lama tanpa mengambil napas
12. tanda Laa ( ) mempunyai maksud “Jangan berhenti!”. Tanda ini muncul kadang-kadang pada akhir maupun pertengahan ayat. Apabila tanda laa ( ) muncul dipertengahan ayat, maka tidak dibenarkan untuk berhenti dan jika berada diakhir ayat, boleh berhenti atau tidak
13. tanda kaf ( ) merupakan singkatan dari “Kadzaalik” yg mempunyai arti “serupa”. dengan kata lain, arti dari waqaf ini serupa dengan waqaf yang sebelumnya muncul.
14. tanda bertitik tiga ( … …) yang disebut sebagai Waqaf Muraqabah atau Waqaf Ta’anuq (Terikat). Waqaf ini akan muncul sebanyak dua kali di mana-mana saja dan cara membacanya adalah harus berhenti di salah satu tanda tersebut. Jika sudah berhenti pada tanda pertama, tidak perlu berhenti pada tanda kedua dan sebaliknya.

Selasa, 16 Agustus 2016

ISLAM Dikenal Sebelum Adanya Penjajah Masuk ke Indonesia



ISLAM di kenal sebelum adanya penjajah masuk ke Indonesia. Orang-orang Muslim dari Timur Tengah, lebih dulu mendarat di Indonesia. Mereka menyebarkan ajaran agama Islam, yang pada saat itu agama selain Islam-lah yang lebih di percaya oleh rakyat Indonesia. Namun, kedatangan Islam, membuat kebanyakan rakyat Indonesia beralih dan menemukan titik kecerahan dalam hidup, yakni mengikuti ajaran Islam.

• Maka, ketika para penjajah menginjakkan kaki di wilayah Indonesia, mayoritas rakyat Indonesia sudah memeluk Islam. Mereka berpegang teguh pada ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad ini. Dan karena ajarannya inilah, umat Islam memiliki peran yang luar biasa dalam kemerdekaan Indonesia. Apa sajakah ajaran Islam yang di gunakan ketika itu?

1). Rakyat Indonesia dibebaskan dari pemujaan berhala dan pendewaan raja-raja serta di bimbing agar menghambakan diri hanya kepada Allah SWT.

2). Rasa persamaan dan rasa keadilan yang diajarkan Islam, mampu mengubah rakyat Indonesia yang dulunya menganut sistem kasta dan diskriminasi menjadi rakyat yang setiap anggotanya mempunyai kedudukan, harkat, martabat, dan hak-hak yang sama.

3). Semangat cinta tanah air dan rasa kebangsaan yang di dengungkan Islam dengan semboyan “Hubbul-Watan Minal-Iman” (Cinta tanah air sebagian dari iman) mampu mengubah cara berpikir rakyat Indonesia, khususnya para pemuda, yang dulunya bersifat sekratin (lebih mementingkan sukunya dan daerahnya) menjadi bersifat nasionalis (lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negaranya).

4). Semboyan yang diajarkan Islam yang berbunyi “Islam adalah agama yang cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan” telah mampu mendorong rakyat Indonesia untuk melakukan usaha-usaha mewujudkan kemerdekaan bangsanya dengan berbagai cara.

5). Jihad fi sabilillah, telah memperkuat semangat rakyat untuk berjuang melawan penjajah (Sartono Kartodirdjo, 1982). Dengan semangat jihad, umat akan melawan penjajah yang dzalim. Termasuk perang suci, bila wafat syahid, surga imbalannya.

6). Izin berperang dari Allah SWT, yang tertera dalam QS. Al-Haj : 39, “Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, sesungguhnya mereka itu di jajah/ di tindas, maka Allah akan membela mereka (yang di perangi dan di tindas).”

7). Simbol kalimat dalam Islam, dapat menggerakkan rakyat. Yaitu “Takbir (Allahu Akbar)”, selalu berkumandang dalam era perjuangan umat Islam di Indonesia.

Dr. Douwwes Dekker (Setyabudi Danudirdja) menyatakan bahwa, “Apabila tidak ada semangat Islam di Indonesia, sudah lama kebangsaan yang sebenarnya lenyap dari Indonesia,” (dalam Aboebakar Atjeh : 1957, hlm.729).

• Dengan demikian ajaran Islam yang sudah merakyat di Indonesia ini, punya peranan yang sangat penting, berjasa, dan tidak dapat di abaikan dalam perjuangan di Indonesia. Dengan ajaran Islam, mampu memperkuat semangat rakyat dalam membela tanah air.

Minggu, 14 Agustus 2016

Orang Meninggal yang masih Berhutang, Wajibkah Ahli Waris Membayarkan Hutangnya?



1. Kewajiban Yang Harus Ditunaikan Sebelum Warisan Dibagikan

Dalam pembahasan waris di surat An-Nisa’ ayat 11, 12, 13 dan juga 176, di penghujung ayat tersebut, Allah swt selalu mengatakan bahwa "Pembagian waris itu setelah wasiat dan hutang dikeluarkan dari harta si mayit." Jadi memang ada kewajiban mengeluarkan itu dulu sebelum dibagikan waris, sehinggga ketika waris dibagikan, harta sudah steril dari semua sangkutan.. Kewajiban yang harus dikeluarkan dari harta peninggalan mayit sebelum dibagikannya waris untuk para ahli warisnya ada 3 masalah, yaitu :
  1. Pengurusan Jenazah. Ketika seseorang meninggal, yang harus dilakukan oleh ahli waris bukanlah langsung membagikan harta warisan, akan tetapi ia mengeluarkan dari harta si mayit utuk kepengurusan jenazahnya, misalnya biaya ambulan, penguburan, dll. Kalaupun nanti ada salah satu anak atau ahli waris yang dengan rela mengeluarkan sebagian hartanya untuk kepengurusan jenazah, itu tidak mengapa. Initinya bahwa kepengurusan jenazah itu diambil dari harta mayit sendiri.
  2. Hutang. dalam hal ini adalah hutang yang berkaitan dengan harta si mayit, baik itu hutang kepada Allah swt atau juga hutang kepada manusia. Hutang kepada Allah swt adalah ibadah yang tertunda dilaksanakan karena maut mendahuluinya. Misalnya, zakat, atau nadzar sedekah yang belum terlaksana, hutang membayar Kafarat, atau juga fidyah مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ۬ يُوصِى بِہَآ أَوۡ دَيۡنٍ‌ۗ  [Pembagian-pembagian tersebut di atas] sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau [dan] sesudah dibayar hutangnya. Dalam madzhab Al-Syafiiyah, jika si mayit mempunyai tanggungan hutang kepada Allah dan juga kepada manusia, maka yang harus didahulukan adalah hutang kepada Allah dulu. Berbeda dengan kalangan Al-Hanafiyah yang mendahului hutang kepada manusia dibanding hutang kepada Allah swt.
  3. Wasiat. Setelah pengurusan jenazah dan hutang, kewajiban selanjutnya yang harus dikeluarkan dari harta mayit yang ditinggalkan ialah wasiat. Dengan syarat bahwa wasiatnya bukan untuk ahli waris dan tidak lebih dari 1/3 dari jumlah  harta si mayit. Dalam ayat didahulukan penyebutannya wasiat, kenapa hutang mesti yang didahulukan menunaikannya? Ya. Walaupun penyebutannya wasiat yang terlebih dahulu, akan tetapi para ulama sudah berijma’ bahwa yang mesti didahulukan adalah hutang. Dengan alasan bahwa Nabi mengerjakan itu, dan bukan wasiat terlebih dahulu.[1]. Diriwayatkan dari ‘Ali r.a.:  إِنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنَّ الدَّيْنَ قَبْل الْوَصِيَّةِ “sesungguhnya Nabi saw memulai (membayarkan) hutang sebelum menunaikan wasiat”.[2]. Adapaun penyebutan wasiat yang lebih dahulu dari pada hutang dalam ayat tersebut, tidak berarti keharusan menunaikannya lebih dahulu. Ulama menyebutkan beberapa hikmah penyebutan wasiat yang lebih dulu dari pada hutang, diantaranya ialah: Karena memang wasiat itu terjadi karena dorongan qurbah (ibadah) dan bukti iman serta motivasi terjaganya hubungan antara keluarga yang ditinggalkan. Berbeda dengan hutang yang –terkadang- dilakukan oleh mayit karena sebab kelalaiannya. Jadi penempatan wasiat lebih dulu dalam ayat karena wasiat lebih afdhol dalam syariah dibanding hutang.

2. Perihal Pembayaran Hutan Si mayit

Yang harus diketahui lebih awal ialah bahwa hutang mayit itu bukan untuk diwarisi, akan tetapi hutang mayit itu dilunasi. Si mayit statsunya bisa saja, orang tua kita, anak, saudara, dsb. Ya dilunasi dari harta mayit yang ditinggalkan. Dan itu bagian dari kewajiban yang harus dilaksakan sebelum pembagian harta waris. Berikut penyelesaian hutang dengan didasarkan pada 
harta peninggalan si mati:

1. Apabila orang yang meninggal memiliki harta peninggalan, maka hutangnya wajib dibayar dari harta peninggalan tersebut sebelum harta dibagikan ke ahli waris berdasar firman Allah dalam QS An-Nisa' 4:11 (من بعد وصية يوصي بها أو دين).

2. Jika hutang si mayit ternyata melebihi nilai harta yang ia tinggalkan, jadi hartanya tidak mencukupi untuk menutupi hutangnya sendiri. Maka para pemberi hutang (piutang) akan mendapatkan bayaran sesuai persentasi hutang si mayit kepadanya dari jumlah keseluruhan hutang.

Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah (3/20), dalam perkara ini; yaitu jika hutang si mayit melebih ulama memberikan solusi seperti itu. Aplikasinya sebagai berikut:

Misalnya si mayit mempunyai hutang kepada 3 orang. Kepada orang A, mayit berhutang sebanyak 500 Juta. Dan kepada orang B, mayit berhutang 250 juta. Lalu kepada si C, mayit berhutang 250 juta juga. Jadi jumlah hutang mayit itu adalah 1 Milyar, sedangkan mayit hanya meninggalkan harta sebesar 500 juta.

Jika dihitung, dari keseluruhan hutang (1 Milyar), 500 juta adalah 50% dari 1 Milyar. Dan 250 juta adalah 25% dari 1 Milyar. Maka bagi piutang A (pemberi hutang 500 juta) ia mendapatkan 50% dari seluruh harta mayit (500 juta), yaitu 250 Juta. Dan piutang B serta C (yang memberi hutang 250) ia mendapat masing-masing 25% dari seluruh harta mayit (500 juta), yaitu masing-masing 125 juta.

Dan tentu akan jauh lebih baik, jika ada salah satu dari ahli waris yang memang mempunyai harta berlebih, untuk melunasi hutang tersebut atau menjaminnya. Dan itu sangat terpuji.

3. Apabila si mayit tidak memiliki peninggalan, maka ahli warisnya tidak wajib melunasi hutangnya. Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan:

 إن لم يخلف تركة، لم يلزم الوارث بشيء، لأنه لا يلزمه أداء دينه إذا كان حيا مفلسا، كذلك إذا كان ميتا 

Artinya: "Apabila mayit atau orang yang meninggal tidak meninggalkan warisan, maka ahli waris tidak berkewajiban apapun karena membayar hutang mayit itu tidak wajib bagi ahli waris saat si mayit masih hidup. Begitu juga tidak wajib saat sudah mati."Pendapat di atas selaras dengan pendapat Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmuk (VI/211):

فرع) لو مات رجل وعليه دين ولا تركة له هل يقضي من سهم الغارمين فيه وجهان حكاهما صاحب البيان (أحدهما) لا يجوز وهو قول الصيمري ومذهب النخعي وأبي حنيفة واحمد (والثاني) يجوز لعموم الآية ولأنه يصح التبرع بقضاء دينه كالحي.

3. Catatan:

  • Berdasarkan fatwa yang pernah dikeluarkan oleh Lembaga Fatwa (Dar al-Ifta) Mesir, tanggungan itu, tidak serta-merta berpindah kepada ahli waris. Bila tak terbayar, kewajiban utang itu menjadi tanggungan almarhum yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Istri tidak memiliki kewajiban apa pun menanggung dan memenuhi utang almarhum suaminya.
  • Bolehkah istri mengalokasikan zakat ataupun sedekahnya untuk membayar utang suami yang telah berpulang? Para ulama berbeda pendapat. Menurut kelompok yang pertama, pengalokasian dana zakat untuk suami yang dililit utang diperbolehkan. Ini dengan catatan, selama kriteria seorang yang pailit akibat utang (gharim) terpenuhi. Pandangan ini dianut Mazhab Maliki, Syafii, dan Hanbali di salah satu riwayat. Ibnu Taimiyah juga mengamini opsi ini. Imam ad-Dasuqi menambahkan, pengalokasian dana zakat hendaknya mengedepankan utang mereka yang meninggal dalam kondisi di atas, dibandingkan dengan utang mereka yang masih hidup. Ini sesuai dengan ketetapan yang pernah dicontohkan Rasulullah SAW. Rasul mengizinkan Zainab menyerahkan zakat malnya untuk Abdullah bin Masud yang tak lain suaminya sendiri. “Ada dua pahala, pahala kekerabatan dan pahala sedekah,” sabda Rasul. Sedangkan menurut kelompok yang kedua, zakat mal tersebut tidak boleh diperuntukkan membayar utang-utang almarhum suami tersebut. Opsi ini adalah pilihan sejumlah mazhab yakni Hanafi, salah satu riwayat di Mazhab Syafii dan Hambali.
  • Perbuatan baik seorang anak kepada kedua orang tuanya merupakan amal yang paling utama dilakukan setelah melaksanakan shalat pada waktunya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud ketika dia bertanya tentang amal apa yang paling utama ? Beliau saw bersabda,”Shalat pada waktunya. Kemudian aku—Ibnu Mas’ud—bertanya lagi,’kemudian apa?’ Beliau saw bersabda,’Berbakti kepada orang tua.’ Kemudian aku bertanya lagi,’Kemudian apa?’ Beliau saw menjawab,’Berjihad di jalan Allah swt.” (HR. Bukhari).
  • Berbakti kepada orang tua tidak hanya dilakukan pada saat mereka masih hidup akan tetapi juga setelah meninggal mereka, sebagaimana disebutkan didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah dari Abu Useid bin Rabi’ah berkata,”Tatlkala kami duduk-duduk bersama Rasulullah saw datanglah seorang laki-laki dari Bani Salamah dan berkata,’Wahai Rasulullah apakah masih ada kewajibanku terhadap kedua orang tuaku setelah keduanya wafat? Beliau saw bersabda,’Ya, menshalatkan mereka berdua, memohonkan ampunan bagi mereka berdua, menunaikan janji mereka berdua setelah wafatnya, menyambungkan tali silaturahmi orang-orang yang berhubungan dengan mereka berdua serta memuliakan kawan-kawan mereka berdua.

Rabu, 10 Agustus 2016

Mari Kita Mengingat Kembali Kisah Sejarah `AWAL MULA SHALAT 5 WAKTU`



`AWAL MULA SHALAT 5 WAKTU`

Sebagaimana diketahui bahwa Nabiyullah Muhammad SAW menerima perintah shalat pada 27 Rajab tahun 11 kenabian atau 2 tahun sebelum Nabi berhijrah ke Madinah, shalat 5 waktu yang dilakukan adalah subuh, zuhur, ashar, maghrib dan isya…

Shalat yang wajib pertama kali adalah shalat malam, disebutkan di QS. Al-Muzammil ayat 1-19. Kemudian hukumnya menjadi sunah pada ayat ke-20, dikarenakan ada kepentingan-kepentingan manusia yang bisa menjadi halangan bagi pencapaian kekhusyuan shalat tersebut nantinya, seperti istirahat malam serta pencarian nafkah yang dilakukan paginya.

Maka setelah itu yang diwajibkan adalah shalat 5 waktu…

Dan waktu shalat sudah ditentukan oleh Allah dalam QS. Al-Isra : 78, “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”

Ayat diatas menerangkan tentang waktu shalat, dimana saat matahari tergelincir adalah zuhur dan ashar, kemudian shalat yang dilakukan saat malam adalah maghrib dan isya, kemudian shalat subuh langsung disebutkan di ayat tersebut.

Menurut hadist nabi yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib, ia bercerita, Suatu hari ketika Rasul Saw sedang berbincang-bincang dengan sahabat Anshar dan Muhajirin, datanglah seorang Yahudi dan menanyakan tentang sesuatu yang diperintahkan oleh Allah kepada umat Islam.

Rasul mengatakan: “Shalat dzuhur dikerjakan setelah tergelincir matahari; Ashar adalah shalatnya nabi Adam ketika makan buah khuldi dan tobatnya diterima oleh Allah pada saat maghrib. Sedangkan isya adalah shalatnya para Rasul, dan shubuh sebelum terbit matahari.”

Sementara itu, dalam beberapa keterangan disebutkan bahwa shalat 5 waktu yang dikerjakan oleh umat islam saat ini, berasal dari shalat para nabi terdahulu....

Shubuh, manusia pertama yang melakukan shalat ini adalah nabi Adam As, yaitu saat Adam diturunkan ke Bumi untuk menjadi khalifah (pengelola) di muka bumi. Konon Adam megerjakan shalat dua rakaat, menjelang terbit fajar. Rakaat pertama; sebagai tanda syukur karena terlepas dari kegelapan malam. Sedangkan rakaat kedua, bersyukur atas datangnya siang.
Zhuhur, manusia yang pertama kali yang mengerjakan shalat ini adalah nabi Ibrahin As, saat Allah SWT memerintahkan kepadanya agar menyembelih anaknya Nabi Ismail As, dan Allah mengantikannya dengan seekor domba. Seruan itu datang pada waktu tergelincir matahari, lalu sujud Nabi Ibrahim sebanyak empat rakaat. Rakaat pertama, adalah sebagai tanda bersyukur bagi penebusan, yang kedua adalah tanda syukur atas dihilangkannya kedukaan dari dirinya dan anaknya, ketiga tanda syukur atas keridhaan Allah, dan keempat tanda syukur karena Allah menganti tebusannya.

Ashar, manusia yang pertama kali melakukan shalat ashar adalah nabi Yunus, saat ia keluar dari perut ikan Nun (paus). Ikan nun mengeluarkan nabi Yunus dari perutnya ke tepi pantai, sedangkan waktu itu telah masuk waktu ashar. Maka, bersyukurlah nabi Yunus dan mendirikan shalat empat rakaat karena terhindar dari empat kegelapan. Rakaat pertama, kegelapan akibat kesalahan meninggalkan kaumnya, kedua, kegelapan malam dalam lautan, ketiga, kegelapan malam akibat berhari-hari lamanya di dalam perut ikan Nun, dan keempat kegelapan dalam perut ikan Nun.

Maghrib, manusia yang pertama mengerjakan shalat maghrib adalah nabi Isa As, yakni Allah SWT mengeluarkannya dari kejahilan dan kebodohan kaumnya, sedang waktu itu telah terbenam matahari. Maka, nabi Isa bersyukur dan bersujud sebanyak tiga kali. Rakaat pertama adalah untuk menafikkan bahwa tiada tuhan selain Allah yang Maha Esa, kedua menafikkan zina yang dituduhkan atas ibunya, dan yang ketiga untuk meyakinkan kaumnya bahwa tuhan itu hanya satu dan bukan tiga.

Isya, manusia yang pertama melakukannya adalah nabi Musa As, ketika itu nabi Musa tersesat mencari jalan keluar dari negeri Madyan, sedang dalam dalam dadanya penuh dengan duka cita. Allah swt menghilang kan semua perasaan duka citanya pada waktu malam. Lalu, shalatlah nabi Musa empat rakaat sebagai tanda bersyukur. Rakaat pertama sebagai tanda duka cita terhadap istrinya, kedua sebagai tanda duka cita terhadap Fir’aun, yang ketiga tanda dukacita terhadap saudaranya Harun, dan yang keempat adalah tanda duka cita terhadap anak Fir’aun.

Wallahu’alam,

“Inna shalata tanha anil fakhsya’I wal mungkar…” QS. Al-Ankabut : 45)
"Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar"

Dirikanlah shalat, sungguh ini merupakan kewajiban yang ditentukan waktunya bagi orang-orang yang beriman - Qs. 4 an-nisaa? :103- 104.

Hai orang-orang yang beriman, Rukuk dan sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu, Berbuatlah kebaikan, supaya kamu mendapatkan kemenangan - Qs. 22 al-hajj : 77.

Istilah Shalat berasal dari kata kerja Shalaah (yang menyatakan suatu perbuatan) dan orang yang melakukannya disebut Mushallin, sementara pusat tempat melakukannya disebut Musholla. Kecuali bagi orang yang mushollin (yang mengerjakan sholat) ? Qs. 70 al-Ma?arij : 22

Jadikanlah sebagian dari maqam Ibrahim itu musholla (tempat sholat) Qs. 2 al-Baqarah: 125. Sholat merupakan suatu perbuatan memuliakan Allah yang menjadi suatu tanda syukur kaum muslimin sebagai seorang hamba dengan gerakan dan bacaan yang telah diatur khusus oleh Nabi Muhammad Saw yang tidak boleh dirubah kecuali ada ketentuan-ketentuan yang memang memperbolehkannya[1].

Perintah sholat sendiri sudah harus diperkenalkan sejak dini kepada generasi muda Islam agar kelak dikemudian hari mereka tidak lagi merasa canggung, malu atau malah tidak bisa melakukannya. Dari Amer bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, berkata : Rasulullah Saw bersabda : Perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan sholat disaat mereka berumur 7 tahun dan pukullah mereka jika tidak mengerjakannya saat mereka berumur 10 tahun?. Hadis Riwayat Ahmad dan abu daud Perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan sholat ; dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya - Qs. 20 thaahaa: 132.

Dari Hadis kita mendapati bahwa mendirikan sholat sudah ditekankan mulai umur 7 tahun dan bila sampai usia 10 tahun belum juga melaksanakannya maka kita seyogyanya mulai diberi penegasan berupa pukulan sampai mereka mau mendirikannya. Tentu pukulan yang dimaksud disini tidak dengan tujuan menyakiti apalagi sampai pada tingkat penganiayaan, namun sekedar memberi pengajaran dan peringatan agar mau dan tidak malas untuk sholat.

Bukankah secara paradoks siksa Allah jauh lebih keras dari sekedar pukulan yang kita berikan dalam rangka menyayangi anak-anak kita dan menghindarkan mereka dari azab Allah ? Jagalah dirimu dari hari dimana seseorang tidak dapat membela orang lain walau sedikitpun dan hari tidak diterima permintaan maaf serta tidak ada tebusan baginya dan tidaklah mereka akan ditolong Qs. 2 al-Baqarah : 48.

Namun al-Quran juga disatu sisi tidak menjelaskan secara detil sejak kapan dan bagaimana teknis pelaksanaan Sholat yang diperintahkan kepada Nabi Muhammad Saw.
Meski demikian al-Quran secara tegas menyatakan bahwa Shalat sudah dilakukan oleh umat-umat sebelumnya, seperti perintah Shalat kepada Nabi Ibrahim dan anak cucunya: Kepada Nabi Syu'aib', Kepada Nabi Musa, dan kepada Nabi Isa al-masih. 


Pernyataan al-Qur?an tersebut dibenarkan oleh cerita-cerita yang ada dalam Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang mengisahkan tata cara beribadah para Nabi sebelum Muhammad yaitu ada berdiri, ruku dan sujud yang jika dirangkai maka menjadi Sholat seperti Sholatnya umat Islam. Segeralah Musa berlutut ke tanah, lalu sujud menyembah Perjanjian Lama? Kitab Keluaran 34:8 Masuklah, marilah kita sujud menyembah, berlutut di hadapan TUHAN yang menjadikan kita. Perjanjian Lama? Kitab Mazmur 95:6 Lalu sujudlah Yosua dengan mukanya ke tanah, menyembah Perjanjian Lama? Kitab Yosua 5:14. Tetapi Elia naik ke puncak gunung Karmel, lalu ia membungkuk ke tanah, dengan mukanya di antara kedua lututnya Perjanjian Lama? Kitab I Raja-raja 18:42 Maka pergilah Musa dan Harun dari umat itu ke pintu Kemah Pertemuan, lalu sujud. Kemudian tampaklah kemuliaan TUHAN kepada mereka. Perjanjian Lama? Kitab Bilangan 20:6 Kemudian ia menjauhkan diri dari mereka kira-kira sepelempar batu jaraknya lalu ia berlutut dan berdoa - Perjanjian Baru? Injil Lukas 22:41 Ia maju sedikit, merebahkan diri ke tanah dan berdoa - Perjanjian Baru? Injil Markus 14:35 Dari kenyataan ini, maka jelas bagi umat Islam bahwa Sholat sudah menjadi suatu tradisi dan ajaran yang baku bagi semua Nabi dan Rasul Allah sepanjang jaman, sebagaimana firman-Nya : Sebagai ketentuan Allah yang telah berlaku sejak dahulu, Kamu sekalipun tidak akan menemukan perubahan Bagi ketentuan ALLAH itu - Qs. 48 al-fath: 23

Kisah perjalanan Nabi Muhammad mengarungi angkasa raya yang disebut dengan istilah Isra? dan Mi?raj yang menceritakan awal diperintahkannya Sholat kepada Nabi Muhammad sebagaimana terdapat dalam beberapa hadis yang dianggap shahih atau valid oleh sejumlah ulama secara logika justru mengandung banyak ketidaksesuaian dengan fakta sejarah dan ayat-ayat al-Quran sendiri. Menurut hadits, Isra dan Mi'raj terjadi sewaktu Khadijah, istri pertama Rasulullah wafat, dimana peristiwa ini justru menjadi salah satu hiburan bagi Nabi yang baru ditinggalkan oleh sang istri tercinta dan juga paman beliau, Abu Thalib dimana tahun ini disebut dengan tahun duka cita atau aamul ilzan[6].

Sementara sejarah juga mengatakan bahwa jauh sebelum terjadinya Isra' dan Mi'raj, Nabi Muhammad dipercaya telah melakukan Sholat berjemaah dengan Khadijjah sebagaimana yang pernah dilihat dan ditanyakan oleh Ali bin abu Thalib yang kala itu masih remaja[7].
Logikanya perintah Sholat telah diterima oleh Nabi Muhammad bukan saat beliau Isra? dan Mi?raj namun jauh sebelum itu, apalagi secara obyektif ayat al-Qur?an yang menceritakan mengenai peristiwa Mi?raj sama sekali tidak menyinggung tentang adanya pemberian perintah Sholat kepada Nabi.[8]

Pada kedua surah tersebut hanya menekankan cerita perjalanan Nabi tersebut dalam rangka menunjukkan sebagian dari kebesaran Allah dialam semesta sekaligus merupakan kali kedua bagi Nabi melihat wujud asli dari malaikat Jibril setelah sebelumnya pernah beliau saksikan saat pertama mendapat wahyu di gua Hira. Selain itu, diluar hadis Isra dan Mi'raj yang menggambarkan Nabi memperoleh perintah Sholat pada peristiwa tersebut, Imam Muslim dalam musnadnya ada meriwayatkan sebuah hadis lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan cerita Mi?raj namun disana menjelaskan bagaimana Nabi mempelajari Sholat dari malaikat Jibril. Dari Abu Mas?ud r.a. katanya : Rasulullah Saw bersabda : turun Jibril, lalu dia menjadi imam bagiku Dan aku sholat bersamanya, kemudian aku sholat bersamanya, lalu aku sholat bersamanya dan aku sholat bersamanya dan aku sholat bersamanya Nabi menghitung dengan lima anak jarinya - Hadis Riwayat Muslim[9]

Jika demikian adanya, bagaimana dengan kebenaran hadis yang dipercaya oleh banyak orang bahwa perintah Sholat baru diperoleh Nabi sewaktu isra? dan mi?raj ? Mungkin kedengarannya ekstrim, tetapi meragukan atau malah menolak keabsahan validitas hadis-hadis tersebut bukanlah perbuatan yang tercela apalagi berdosa, dalam hal ini kita tidak menolak dengan tanpa dasar yang jelas, para perawi hadis tetaplah manusia biasa seperti kita adanya, mereka juga bisa salah baik disengaja apalagi yang tanpa mereka sengaja atau sadari, adalah kewajiban kita untuk melakukan koreksi jika mendapatkan kesalahan pada riwayat hadis yang mereka lakukan tentunya dengan tetap menjaga kehormatannya dan berharap semoga Allah mengampuni kesalahannya.

Beberapa kejanggalan variasi cerita Isra dan Mi'raj diantaranya sebut saja kisah Nabi Muhammad dan Buraq ketika berhenti di Baitul maqdis dan melakukan sholat berjemaah didalam masjidil aqsha bersama arwah para Nabi sebelumnya, padahal sejarah mencatat bahwa masjid al-aqsha baru dibangun pada masa pemerintahan Khalifah umar bin khatab tahun 637 masehi saat penyerbuannya ke Palestina yang mana notabene saat itu Nabi Muhammad sendiri sudah cukup lama wafat, beliau wafat tahun 632 masehi.

Cerita sholatnya Nabi Muhammad dan para arwah inipun patut mengundang pertanyaan, sebab Nabi sudah melakukan sholat (menurut hadis itu malah raka'atnya berjumlah 2) sehingga pernyataan Nabi menerima perintah Sholat saat Mi'raj sudah bertentangan padahal kisah ini terjadi detik-detik sebelum mi?raj itu sendiri. Belum lagi cerita sholatnya para arwah Nabi pun rasanya tidak bisa kita terima dengan akal yang logis, masa kehidupan mereka telah berakhir sebelum kelahiran Nabi Muhammad dan mereka sendiri sudah menunaikan kewajiban masing-masing selaku Rasul Allah kepada umatnya, perlu apa lagi mereka yang jasadnya sudah terkubur didalam tanah itu melakukan sholat? Setelah selesai sholat berjemaah, lalu satu persatu para arwah Nabi dan Rasul itu memberi kata sambutannya? sungguh suatu hal yang terlalu mengada-ada, karena jumlah mereka ada ribuan yang berasal dari berbagai daerah dibelahan dunia ini, baik yang namanya tercantum dalam al-Quran ataupun tidak[10], berapa lama waktu yang habis diperlukan untuk mengadakan kata sambutan masing-masing para arwah ini?
Jika dimaksudkan agar semua Nabi dan Rasul itu bertemu dan bersaksi mengenai kebenaran Muhammad, ini dibantah oleh al-Quran sendiri yang menyatakan bahwa pada masa kehidupan mereka dan pengangkatan mereka selaku Nabi dan Rasul, Allah telah mengambil perjanjian dari mereka mengenai akan datangnya seorang Rasul yang membenarkan ajaran mereka sebelumnya lalu terdapat perintah tersirat agar mereka menyampaikan kepada umatnya masing-masing : Dan ketika Allah mengambil perjanjian terhadap para Nabi : Jika datang kepadamu Kitab dan Hikmah, lalu datang kepada kamu seorang Rasul yang membenarkan apa-apa yang ada tentang diri kamu, hendaklah kamu imani ia secara sebenarnya.?  Dia bertanya : Sudahkah kalian menyanggupi dan menerima perjanjian-Ku tersebut ??  Mereka menjawab : Kami menyanggupinya !, Dia berkata : Saksikanlah! dan Aku bersama kamu adalah dari golongan mereka yang menyaksikan !? - Qs. 3 ali imron: 81

Puncak kemustahilan cerita dari hadis-hadis mi?raj adalah saat Nabi Muhammad diberitakan telah bolak balik dari Allah ke arwah Nabi Musa untuk penawaran jumlah sholat yang semula 50 kali menjadi 5 kali dalam sehari semalam, apakah sedemikian bodohnya Nabi Muhammad itu sehingga dia harus diberi saran berkali-kali oleh arwah Nabi Musa agar mau meminta keringanan kepada ALLAH sampai 9 kali pulang pergi ? Tidakkah kekurang ajaran arwah Nabi Musa dalam cerita tersebut dengan menganggap Allah juga tidak mengerti akan kelemahan dan keterbatasan umat Nabi Muhammad sebab tanpa dipikir dulu telah memberi beban kewajiban yang pasti tidak mampu dikerjakan oleh mereka sehingga arwah Nabi Musa itu harus turut campur memberi peringatan kepada Allah dan Nabi Muhammad lebih dari sekali saja sebagai suatu indikasi israiliyat (hadis buatan orang-orang Israel atau Yahudi yang sengaja dibuat untuk tetap memuliakan Nabi Musa diatas yang lain)?

Apakah hadis-hadis yang demikian ini masih akan diterima dan dipertahankan hanya untuk mempertahankan dalil turunnya perintah Sholat, sementara al-Qur?an sendiri yang nilai kebenarannya sangat pasti justru tidak berbicara apa-apa tentang hal tersebut ? Tidak diragukan bahwa Nabi Muhammad pernah melakukan Isra? dan Mi?raj karena hal ini ada didalam al-Quran dan bisa dianalisa secara ilmiah, tidak perlu diragukan pula bahwa Sholat merupakan salah satu kewajiban utama seorang muslim sebab inipun banyak sekali ayatnya didalam al-Quran dan hadis-hadis lain, bahkan sholat merupakan tradisi yang diwariskan oleh semua Nabi dan Rasul dalam semua jamannya. Hanya saja itu tidak berarti kaum muslimin bisa menerima semua riwayat hadis yang isinya secara jelas mempunyai pertentangan dengan al-Quran dan logika, sehingga akhirnya hanya akan menyerahkan akal pada kebodohan berpikir, padahal Allah sendiri mewajibkan manusia untuk berpikir dan berdzikir didalam membaca ayat-ayat-Nya.

[1] Misalnya jika sakit boleh sholat dengan cara duduk, berbaring hingga hanya dengan kedipan mata saja
[2] Lihat surah 21 al-anbiya ayat 73 dan surah 19 Maryam ayat 55
[3] Lihat surah 11 Huud ayat 87
[4] Lihat surah 20 Thaahaa ayat 14
[5] Lihat surah 19 Maryam ayat 31
[6] Drs. Abu Ahmadi, Mutiara isra? mi?raj, Penerbit Bumi Aksara, hal. 27
[7] Muhammad Husain Haekal , Sejarah Hidup Muhammad, edisi besar, Penerbit Litera antarNusa, 1998, hal. 87 ? 88
[8] Lihat surah 17 al-israa ayat 1 dan surah 53 an-najm ayat 13 s/d 18
[9] Fachruddin HS, Terjemah Hadits Shahih Muslim III, Bagian ke-26, Waktu Sembahyang Fardu dan Kiblat, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1979, hal. 170
10] lihat surah 40 al-mu?min: 78 dan surah. 17 al-israa?: 15

Nabi Muhammad SAW merupakan nabi terakhir yang diutuskan oleh Allah SWT untuk membimbing manusia ke arah jalan kebenaran. Tidak seperti umat nabi-nabi yang lain, umat nabi Muhammad telah diperintahkan untuk mengerjakan solat 5 waktu setiap hari. Ini merupakan kelebihan dan anugerah Allah SWT terhadap umat nabi Muhammad dimana solat tersebut akan memberikan perlindungan ketika di hari pembalasan kelak. Berikut diterangkan asal-usul bagaimana setiap solat mula dikerjakan.

SUBUH :

Manusia pertama yang mengerjakan solat subuh ialah Nabi Adam a.s. iaitu ketika baginda keluar dari syurga lalu diturunkan ke bumi. Perkara pertama yang dilihatnya ialah kegelapan dan baginda berasa takut yang amat sangat. Apabila fajar subuh telah keluar, Nabi Adam a.s. pun bersembahyang dua rakaat.

Rakaat pertama: Tanda bersyukur kerana baginda terlepas dari kegelapan malam.
Rakaat kedua: Tanda bersyukur kerana siang telah menjelma.


DZUHUR :

Manusia pertama yang mengerjakan solat Zohor ialah Nabi Ibrahim a.s. iaitu tatkala Allah SWT telah memerintahkan padanya agar menyembelih anaknya Nabi Ismail a.s.. Seruan itu datang pada waktu tergelincir matahari, lalu sujudlah Nabi Ibrahim sebanyak empat rakaat.

Rakaat pertama: Tanda bersyukur bagi penebusan.
Rakaat kedua: Tanda bersyukur kerana dibukakan dukacitanya dan juga anaknya.
Rakaat ketiga: Tanda bersyukur dan memohon akan keredhaan Allah SWT.
Rakaat keempat: Tanda bersyukur kerana korbannya digantikan dengan tebusan kibas.


ASAR :

Manusia pertama yang mengerjakan solat Asar ialah Nabi Yunus a.s. tatkala baginda dikeluarkan oleh Allah SWT dari perut ikan Nun. Ikan Nun telah memuntahkan Nabi Yunus di tepi pantai, sedang ketika itu telah masuk waktu Asar. Maka bersyukurlah Nabi Yunus lalu bersembahyang empat rakaat kerana baginda telah diselamatkan oleh Allah SWT daripada 4 kegelapan iaitu:

Rakaat pertama: Kelam dengan kesalahan.
Rakaat kedua: Kelam dengan air laut.
Rakaat ketiga: Kelam dengan malam.
Rakaat keempat: Kelam dengan perut ikan Nun.


MAGHRIB :

Manusia pertama yang mengerjakan solat Maghrib ialah Nabi Isa a.s. Yaitu ketika baginda dikeluarkan oleh Allah SWT dari kejahilan dan kebodohan kaumnya, sedang waktu itu telah terbenamnya matahari. Bersyukur Nabi Isa, lalu bersembahyang tiga rakaat kerana diselamatkan dari kejahilan tersebut yaitu:

Rakaat pertama: Untuk menafikan ketuhanan selain daripada Allah yang Maha Esa.
Rakaat kedua: Untuk menafikan tuduhan dan juga tohmahan ke atas ibunya Siti Mariam yang telah dituduh melakukan perbuatan sumbang.
Rakaat ketiga: Untuk meyakinkan kaumnya bahawa Tuhan itu hanya satu iaitu Allah SWT semata-mata, tiada dua atau tiganya.


ISYA' :

Manusia pertama yang mengerjakan solat Isyak ialah Nabi Musa a.s.. Pada ketika itu, Nabi Musa telah tersesat mencari jalan keluar dari negeri Madyan, sedang dalam dadanya penuh dengan perasaan dukacita. Allah SWT menghilangkan semua perasaan dukacitanya itu pada waktu Isyak yang akhir. Lalu sembahyanglah Nabi Musa empat rakaat sebagai tanda bersyukur.

Rakaat pertama: Tanda dukacita terhadap isterinya.
Rakaat kedua: Tanda dukacita terhadap saudaranya Nabi Harun.
Rakaat ketiga: Tanda dukacita terhadap Firaun.
Rakaat keempat: Tanda dukacita terhadap anak Firaun