Minggu, 04 September 2016

Tahukah Anda BANK INDONESIA Milik Siapa?



Secara undang-undang BI milik indonesia dan diamanatkan dalam undang-undangnya ialah untuk mencapai dan menjaga kestabilan nilai rupiah. tapi Tidak satupun anggota kabinet yang pegang posisi di BI dan biarpun pemimpin di BI orang indonesia tetap saja Bank-bank sentral adalah perusahaan swasta yang diberi hak monopoli mencetak uang.

Bank Indonesia milik siapa dan siapa pemengang sahamnya?

KEBANYAKAN orang, warga negara di hampir semua negara nasional di dunia ini, tidak memahami bahwa mata uang kertas yang mereka pakai di negaranya bukanlah terbitan pemerintah setempat. Hak monopoli penerbitan uang kertas di berikan kepada perusahan-perusahaan swasta yang menamakan dirinya sebagai “bank sentral”. Sebelum ada bank sentral sejumlah bank swasta menerbitkan nota bank yang berlaku sebagai alat tukar tersebut. Dimulai di Inggris, dengan kelahiran Bank of England, hak menerbitkan uang kertas itu mulai diberikan hanya kepada satu pihak saja. Memang, kebanyakan bank sentral itu melabeli dirinya dengan nama yang berbau-bau nasionalisme, sesuai negara masing-masing.

Bank Sentral Milik Keluarga-Keluarga

Marilah kita ambil bank sentral paling berpengaruh saat ini, yaitu Federal Reserve AS, yang menerbitkan dolar AS. Saham terbesar Federal Reserve of America ini di miliki oleh dua bank besar, yaitu Citibank (15%) dan Chase Manhattan (14%). Sisanya di bagi oleh 25 bank komersial lainnya, antara lain Chemical Bank (8%), Morgan Guaranty Trust (9%) , Manufacturers Hannover (7%), dsb. Sampai pada tahun 1983 sebanyak 66% dari total saham Federal Reserve AS ini, setara dengan 7.005.700 saham, di kuasai hanya oleh 10 bank komersial, sisanya 44% dibagi oleh 17 bank lainnya.

Bahkan, kalau di lihat dengan lebih sederhana lagi, 53% saham Federal Reserve AS di milik hanya oleh lima besar yang di sebutkan di atas. Bahkan, kalau di perhatikan benar, saham yang menentukan pada Federal Reserve Bank of New York, yang menetapkan tingkat dan skala operasinya secara keseluruhan berada di bawah pengaruh bank-bank yang secara langsung di kontrol oleh ‘London Connection’, yaitu, Bank of England, yang dikuasai oleh keluarga Rothschild.

Sama halnya dengan bank-bank sentral di berbagai negara lain, namanya berbau nasionalis, tapi pemilikannya adalah privat. Bank of England, sudah di sebutkan sebelumnya, bukan milik rakyat Inggris tapi para bankir swasta, yang sejak 1825 sangat kuat di bawah pengaruh satu pihak saja, keluarga Rothschild. •Pengambilalihan oleh keluarga ini terjadi setelah mereka mem-bail out utang negara saat terjadi krisis di Inggris. Deutsche Bank bukanlah milik rakyat Jerman tapi di kuasai oleh keluarga Siemens dan Ludwig Bumberger.

Sanghai and Hong Kong Bank bukan milik warga Hong Kong tapi di bawah kontrol Ernest Cassel. Sama halnya dengan National Bank of Marocco dan National Bank of Egypt di dirikan dan di kuasai oleh Cassel yang sama, bukan milik kaum Muslim Maroko atau Mesir. Imperial Ottoman Bank bukan milik rakyat Turki melainkan di kendalikan oleh Pereire Bersaudara, Credit Mobilier, dari Perancis. Demikian seterusnya.

Jadi, ‘Bank-bank Nasional’ seperti ini, sebenarnya, adalah sindikat keuangan internasional, modal ‘antar bangsa’ yang secara riel tidak ada dalam bentuk aset nyata (specie) apa pun, kecuali dalam bentuk angka-angka nominal di atas kertas atau byte yang berkedap-kedip di permukaan layar komputer. Bank-bank ini sebagian besar di miliki oleh keluarga-keluarga yang sebagian sudah di sebutkan di atas.

Utang-utang yang mereka berikan kepada pemerintahan suatu negara tidak pernah di minta oleh rakyat negara tempat mereka beroperasi tapi di buat oleh pemerintahan demokratis yang mengatas namakan warga negara. Mereka, para bankir ini, adalah orang-orang yang tidak di pilih, tak punya loyalitas kebangsaan, dan tidak akuntabel, tetapi mengendalikan kebijakan paling mendasar suatu negara. Dan, setiap kali mereka menciptakan kredit, setiap kali itu pula mereka mencetak uang baru dari byte komputer belaka.


Bank Indonesia Milik Siapa? 

Kalau bank-bank sentral di negeri-negeri lain milik keluarga tertentu yang tidak memiliki loyalitas kebangsaan, siapakah yang memiliki Bank Indonesia?.

Ini adalah pertanyaan valid yang seharusnya kita ajukan sebagai warga negara Republik Indonesia. Kita tahu, rupiah pun di terbitkan oleh BI, sebagai pihak yang diberi hak monopoli untuk itu. Kita tidak pernah di beritahu siapa pemegang saham BI. Tapi, marilah kita tengok sejarah asal-muasal bank sentral di Indonesia ini.

Begitu Indonesia dinyatakan merdeka, para pendiri republik baru ini, menetapkan BNI 1946 sebagai bank sentral, dan menerbitkan uang kertas pertamanya, yaitu ORI (Oeang Repoeblik Indonesia), dengan standar emas, setiap Rp 10 di dukung dengan 2 gr emas. Ini artinya rupiah di jamin 1/5 gram emas per 1 rupiah.

Tapi, ketika Ir Soekarno dan Drs M Hatta menyatakan kemerdekaan RI, Pemerintah Kolonial Belanda tidak mengakuinya, apalagi menyerahkan kedaulatan republik baru ini. Belanda mengajukan beberapa syarat untuk di penuhi, dan selama beberapa tahun terus mengganggu secara milter, dengan beberapa agresi KNIL. Akhirnya, sejarah menunjukkan pada kita, terjadilah perundingan itu, 1949, dengan nama Konferensi Meja Bundar (KMB).

Melalui Konferensi Meja Bundar (KMB), 1949, di sepakatilah beberapa kondisi pokok agar RI dapat pengakuan Belanda.

• Pertama, penghentian Bank Negara Indonesia (BNI) 1946 sebagai bank sentral republik, dan di gantikan oleh N.V De Javasche Bank, sebuah perusahaan swasta milik beberapa pedagang Yahudi Belanda, yang berganti nama menjadi Bank Indonesia (BI).

• Kedua, dengan lahirnya bank sentral baru itu pencetakan Oeang Republik Indonesia (ORI), sebagai salah satu wujud kedaulatan republik baru itu di hentikan, di gantikan dengan Uang Bank Indonesia (di realisasikan sejak 1952).

• Ketiga, bersamaan dengan itu, utang pemerintahan kolonial Hindia Belanda sebesar 4 miliar dolar AS kepada para bankir swasta itu tentunya diambilalih dan menjadi “dosa bawaan” republik baru ini.

Kondisi ini berlangsung sampai pertengahan 1965, ketika Bung Karno menyadari kuku-kuku neokolonialisme yang semakin kuat mencenkeram bangsa muda ini. Maka, Agustus 1965, Bung Karno memutuskan menolak kehadiran lebih lama IMF dan Bank Dunia di Indonesia, bahkan menyatakan merdeka dari Perserikatan Bangsa Bangsa. Sebelumnya, antara 1963-1965, Presiden Soekarno telah menasionalisasi aset-aset perusahaan-perusahaan Inggris dan Malaysia, serta Amerika; sebagai kelanjutan dari pengambilalihan aset-aset perusahaan Belanda, pada masa 1957-1958.

Tapi Bung Karno harus membayar mahal tindakan politik penyelamatan bangsa Indonesia dari kuku neokolonialisme ini : Ir Soekarno harus enyah dari Republik ini, dan itu terjadi 1967, dengan naiknya Jenderal Soeharto sebagai Presiden RI ke-2. Dengan enyahnya Ir Soekarno, neokolonialisme bukan saja kembali, tetapi menjadi semakin kuat. Tindakan pertama Jenderal Soeharto, 1967, adalah mengundang kembali IMF dan Bank Dunia, dan kembali menundukkan diri sebagai anggota PBB.


Nekolonialisme Berlanjut

Berkuasanya Orde Baru, di bawah Jenderal Soeharto, menjadi alat kepanjangan neokolonialisme melalui pemberian ‘paket bantuan pembangunan’. Untuk dapat ‘membangun’, bagi bangsa-bangsa ‘terbelakang, miskin dan bodoh, dalam definisi baru sebagai “Dunia Ketiga”‘ yang baru merdeka ini, tentu memerlukan uang. Maka di sediakankan ‘paket bantuan’, termasuk sumbangan untuk mendidik segelintir elit, tepatnya mengindoktrinasi mereka, dengan ‘ilmu ekonomi pembangunan’, ‘manajemen pemerintahan’; plus ‘pinjaman lunak, bantuan pembangunan’, lewat lembaga-lembaga keuangan internasional (dengan dua lokomotifnya yakni IMF, Bank Pembangunan/Bank Dunia).

Kepada segelintir elit baru ini di ajarkanlah ekonomi neoklasik, dengan model pembiayaan melalui defisit anggaran-nya, dengan teknik Repelita bersama mimpi-mimpi elusif Rostowian-nya (teori Tinggal Landas yang terkenal itu), sebagai legitimasi dan pembenaran bagi utang negara yang di sulap menjadi ‘proyek-proyek pembangunan’ dan di wadahi dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Untuk hal-hal teknis para teknokrat tersebut, kemudian ‘di dampingi’ oleh para konsultan spesial ? para economic hit men sebagaimana di persaksikan oleh John Perkins itu. Semuanya, di label dengan nama indah, ‘Kebijakan dan Perencanaan Publik’.

Maka, utang luar negeri Indonesia yang hanya 6.3 milyar dolar AS di akhir masa Soekarno (dengan 4 miliar dolar di antaranya adalah warisan Hindia Belanda tersebut di atas), ketika Orde Baru berakhir menjadi 54 milyar dolar AS (posisi Desember 1997). Lebih dari sepuluh tahun sesudah Soeharto lengser utang luar negeri kita pun semakin membengkak menjadi lebih dari 150 milyar dolar AS. Kita tahu, jatuhnya Jenderal Soeharto, adalah akibat “krisis moneter”, yang di sebabkan oleh kelakuan para bankir dan spekulan valas. Tetapi, rumus klasik dalam menyelesaikan “krisis moneter” adalah bail out, yang artinya pemerintah ‘atas nama rakyat’ harus melunasi utang itu. Ironisnya, langkahnya adalah dengan cara mengambil utang baru, dari para bankir itu sendiri !

Dan, bayaran untuk itu semua, dari ironi menjadi tragedi, adalah republik ini kini sepenuhnya di kendalikan oleh para bankir. Melalui letter of intent seluruh kebijakan pemerintahan RI, tanpa kecuali, hanyalah menuruti semua yang di tetapkan oleh para bankir. Dua di antaranya yang terkait dengan bank sentral dan kebijakan uang adalah :

Mulai 1999, Bank Indonesia, yang semula adalah De Javasche Bank itu, telah sama sekali di lepaskan dari Republik Indonesia. Gubernur BI bukan lagi bagian dari Kabinet RI. Ia tidak lagi harus akuntabel kepada rakyat RI.

Mulai 2011 melalui UU Mata Uang (kalau di sahkan) Bank Indonesia di legalisir sebagai pemegang hak monopoli menerbitkan uang kertas di Indonesia. Dan bersamaan dengan ini di lakukan kriminalisasi atas pemakaian mata uang lain sebagai alat tukar di Republik Indonesia. Dengan kemungkinan pengecualian atas mata uang kertas tertentu, yang bisa kita duga maksudnya, tentu saja adalah dolar AS.

Dolar Hongkong di terbitkan oleh Bank-Bank Swasta

Kalau para wakil rakyat di mengerti DPR, yang kini tengah merampungkan UU Mata Uang, tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti semua konstelasi ini, warga Republik ini harus memahaminya. Dan, sebagai warga negara yang mengerti, kita memiliki hak asasi dan hak konstitusional untuk mengambil keputusan sendiri.

Penulis : Direktur Wakala Induk Nusantara.
Rep : Muhammad Usamah.
Editor : Cholis Akbar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar