Kamis, 26 Januari 2017

Imam Mahdi Dari Perspektif Ahlu Sunnah Wal Jamaah

Pemikiran Imam Mahdi adalah persoalan yang rumit dan sukar diuraikan jika ianya dilihat dari segi ilmu sosiologi modern.  Sebab ada terdapat pelbagai tanggapan dan tafsiran yang dapat dirumuskan daripada setiap pengakuan yang dibuat oleh para ulama dan sarjana. Sehingga masalah ini menjadi masalah yang paling kontroversi di kalangan umat Islam sejak dahulu hingga kini. Bahkan dalam sejarah perjalanan dunia, terdapat individu tertentu sengaja mengeksploitasi konsep imam Mahdi ini demi kepentingan dan kemaslahatan sendiri, sehingga sikap ini akan menimbulkan masalah dan keresahan serta cabaran bagi ulama Akidah atau pengkaji dan pemerhati isu-isu Akidah Islam dari dahulu hingga sekarang.

Di samping itu persoalan Imam Mahdi adalah masalah am/universal dan melibatkan semua agama-agama di dunia, sama ada agama samawi atau konvensional. Hal ini dikarenakan Imam Mahdi itu adalah pemimpin dunia secara keseluruhan, pemimpin bagi seluruh manusia, bukan sekadar pemimpin umat Islam atau sekelompok manusia saja.

Dari perspektif Islam, pemikiran tentang imam Mahdi adalah merupakan bagian dari permasalahan agama dalam akidah Islam, Ahlu Sunnah wal Jamaah dan Syiah sepakat bahwa imam Mahdi akan muncul di akhir zaman, namun bedanya, Sunni menganggap persoalan imam Mahdi sebagai cabang permasalahan akidah “Furu’ al-Akidah al-Islamiah”, oleh karena itu –dalam lembaran buku ini- tidak heran kalau dikalangan Ahli Sunnah wal Jamaah terdapat pandangan yang menolak keras konsep imam Mahdi, sebab ianya hanya sepakat persoalan cabang dalam akidah Ahli Sunnah wal Jamaah, sehingga tidak perlu dibincangkan secara mendalam dan serius, sementara Syiah menjadikannya sebagai asas Akidah Islam “Usul Akidah Islamiah”. Maka perbincangan ini adalah asa di dalam agama dalam bab “Imamah”.

Dari sini, menurut Syiah orang yang tidak percaya dengan imam Mahdi sama halnya ingkar kepada kewujudan Rasul dan para imam-imam Syiah yang ma’sum, dalam kitab syiah “Ikmal al-Din” disebutkan sebuah  hadis:

“مَنْ أَنْكَرَ الْقَائِمَ مِنْ وَلَدِيْ فَقَدْ أَنْكَرَنيِ”

“Siapa yang ingkar atas al-Qaaim –imam Mahdi- dari keturunanku, maka ia ingkar terhadap kenabianku” [1].

“مِثْلُ مَنْ أَنْكَرَ الْقَائِمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ فيِ غِيْبَتِهِ مِثُلَ إِبْلِيسٍ فيِ امْتِنَاعِهِ فيِ السُّجُوْدِ لآدَم”

“Orang yang mengingkari bahwa al-Qaaim- imam Mahdi ghaib (menghilang), ia sama halnya Iblis yang menolak untuk bersujud di hadapan nabi Adam” [2].

Dari sinilah akidah “Mahdiyyah” dalam tradisi Syiah merupakan sebuah prinsip keyakinan yang wajib didedahkan, diwar-warkan dan dipertahankan bahwa di penghujung zaman nanti pasti akan muncul seorang tokoh berasal dari keturunan Ahlul-Bait yang akan menegakkan kebenaran ajaran syiah, memberantas segala bentuk kecurangan, dan mengadakan pemerataan keadilan. Ia akan memegang kekuasaan tertinggi di dunia Islam dan menjadi ikutan umat manusia. Dengan kata lain tokoh tersebut adalah “penyelamat dunia”.

Definisi Imam Mahdi

Dari sekian banyaknya tanda-tanda peristiwa besar datangnya hari akhirat atau kiamat, salah satunya adalah misteri akan datangnya Imam Mahdi, dan ianya dianggap sebagai tanda berakhirnya perjalanan alam dunia bagi umat manusia.

Kehadiran Imam Mahdi akan membuat murka raja kezaliman yang disebut Dajjal sehingga ia keluar dari persembunyiannya dan berusaha membunuh Imam Mahdi serta pengikutnya. Saat itulah Nabi Isa a.s. turun kembali ke bumi dan bersama-sama Imam Mahdi menghancurkan Dajjal dan pengikutnya.

Imam (إِمَامٌ) dalam bahasa Arab diartikan sebagai pemimpin dalam agama Islam[3]. Dikalangan Sunni, kalimat imam sinonim dengan kalimat Khalīfah (خَلِيْفَةٌ)[4]. Dalam berbagai keadaan kalimat imam juga bisa berarti pemimpin dalam ibadah shalat berjamaah, dan kalimat imam juga bisa digunakan untuk gelaran bagi para ulama, ilmuwan dan intelektual Islam yang terkenal dan hebat. Seperti imam empat mazhab Ahlu Sunnah wa al-Jamaah (اَلأَئِمَّةُ الأَرْبَعَةُ), yaitu: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Al-Mahdi (اَلْمَهْدِي), Mahdi berarti “orang yang diberi petunjuk”, dalam bahasa Arab mahdi masuk dalam kategori isim maf’ul, Imam Mahdi sebenarnya adalah sebuah “nama gelaran” sebagaimana halnya dengan gelaran khalifah, amirul mukminin, dan sebagainya.

Gelaran-gelaran Imam Mahdi

Ahli Sunnah tidak memiliki banyak gelaran bagi imam Mahdi, berbeda dengan syiah, dalam literatur mereka ditemui banyak istilah-istilah yang dilekatkan pada diri imam Mahdi[5], seperti berikut:

- Al-Qaim (اَلْقَائِمُ), bermakna “pelaksana atau penjaga hari kiamat”. Salah satu nama website Syiah Imamiah diberi nama Al-Qoim.
- Al-Ghaib (اَلْغَائِبُ), bermakna “imam orang yang hilang”.
- Sohib al-Zaman (صَاحِبُ الزَّمَانِ), bermakna “pemilik zaman”.
- Sohib al-Adwar (صَاحِبُ الأَدْوَارِ), bermakna “pemilik pusingan dunia”.
- Baqiyatullah (بَقِيَّةُ اللهِ), bermakna “Baqi Allah”. Bahkan ada satu majalah Syiah di Lebanon dinamakan majalah “Baqiyatollah".

Dengan demikian Imam Mahdi dapat diartikan secara bebas bermakna “pemimpin yang telah diberi petunjuk”. Namun secara spesifik, sesuai dengan hadis Nabi saw:

يَخْرُجُ فِي آخِرِ أُمَّتِي الْمَهْدِيُّ

“Al-Mahdi akan keluar di akhir kehidupan umatku” (Jalaluddin al-Suyuti, Jami’ al-Ahadis, no: 26677)

يَكُونُ فِى أُمَّتِى الْمَهْدِىُّ

“Akan ada pada umatku Al Mahdi” (Sunan Ibnu Majah, no: 4073).

إِنَّ فِي أُمَّتِي الْمَهْدِيَّ

“Imam Mahdi akan muncul di tengah-tengah umatku” (Sunan al-Tirmizi, no: 2158).

Ke semua hadis di atas bermakna seorang Imam Mahdi yang merupakan pilihan Allah swt akan diutus untuk menghancurkan semua kezaliman dan menegakkan keadilan di muka bumi sebelum datangnya hari kiamat. Dengan demikian Istilah Imam Mahdi merupakan perkataan yang berasal dari bahasa Arab dan terdiri dari dua kata yaitu “Imam” yang artinya pemimpin dan “Mahdi” yang bermakna seorang yang mendapat petunjuk. Jadi secara bebas imam mahdi dapat diartikan seorang pemimpin yang mendapat petunjuk.

Gelaran ini atau al-Mahdi, pernah ditampalkan oleh Rasulullah saw kepada empat khalifah, yaitu: Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Talib.

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ

“Maka berpegang teguhlah dengan sunnahku (ajaranku) dan sunnah para khulafa al-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk”. (Al-Baihaqi, sunan al-Kubra, no: 20835)

Ibnul Atsir menjelaskan bahwa yang dimaksud al-Mahdi dalam hadis di atas adalah orang yang diberi petunjuk pada kebenaran agama. Gelaran al-Mahdi kadang menjadi nama orang bahkan sudah seringkali digunakan seperti itu. Begitu pula al- Mahdi juga bermakna orang yang dikhabarkan oleh Rasulullah saw dan akan muncul di akhir zaman. Juga al-Mahdi dapat dimaksudkan dengan Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhum. Bahkan al-Mahdi juga boleh bermakna lebih luas dari itu semua, yaitu siapa saja yang mengikuti jalan hidup mereka dalam beragama” [6].

Nampaknya sebutan “al-Mahdi” memang merupakan tingkatan khusus dan istimewa di akhirat kelak, sehingga Rasulullah saw pernah mendoakan mayat Abu Salamah supaya dapat bersama disisi “insan-insan al-Mahdiyyin”, seperti dalam hadis di bawah:

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى أَبِى سَلَمَةَ وَقَدْ شُقَّ بَصَرُهُ فَأَغْمَضَهُ ثُمَّ قَالَ:(إِنَّ الرُّوحَ إِذَا قُبِضَ تَبِعَهُ الْبَصَرُ). فَصَيَّحَ نَاسٌ مِنْ أَهْلِهِ فَقَالَ :(لاَ تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ بِخَيْرٍ فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ يُؤْمِنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ). ثُمَّ قَالَ :(اللَّهُمَّ اغْفِرْ لأَبِى سَلَمَةَ وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فِى الْمَهْدِيِينَ، وَاخْلُفْهُ فِى عَقِبِهِ فِى الْغَابِرِينَ، وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ، اللَّهُمَّ أَفْسِحْ لَهُ فِى قَبْرِهِ وَنَوِّرْ لَهُ فِيهِ).

Rasulullah s.a.w masuk melihat jenazah Abi Salamah, yang matanya terbuka, lalu baginda menutupkannya. Kemudian baginda bersabda: sesungguhnya ruh apabila dicabut akan dituruti oleh mata. Maka menangislah keluarganya. Lalu baginda Nabi saw bersabda: janganlah kamu menyeru atas diri kamu melainkan yang baik baik, sesungguhnya malaikat mengaminkan apa yang kamu katakan. Kemudian baginda berdoa: Ya Allah ampunkanlah Abi Salamah, dan tinggikanlah derajatnya di kalangan orang yang mendapat petunjuk … dan ampunkanlah kami dan dia wahai Tuhan sekalian alam, lapangkanlah kuburnya dan terangkanlah dia di dalamnya (Sunan Abi Daud, no: 2711).

Tatkkala Jarir bin Abdullah bin al-Bajalli susah payah mengendalikan binatang yang dikendarainya, Rasulullah saw mendoakannya, sebagaimana disebutkan dalam hadis di bawah:

عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: مَا حَجَبَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنْذُ أَسْلَمْتُ وَلَا رَآنِي إِلَّا تَبَسَّمَ فِي وَجْهِي وَلَقَدْ شَكَوْتُ إِلَيْهِ أَنِّي لَا أَثْبُتُ عَلَى
الْخَيْلِ فَضَرَبَ بِيَدِهِ فِي صَدْرِي فَقَالَ اللَّهُمَّ ثَبِّتْهُ وَاجْعَلْهُ هَادِيًا مَهْدِيًّا

Dari Jarir r.a berkata: “Rasulullah saw tidak pernah menghalangiku (masuk rumahnya) sejak aku memeluk Islam dan beliau selalu tersenyum saat melihatku”. Dan suatu ketika saya mengadu kepada beliau bahwasanya saya tidak bertahan di atas kuda, maka beliau memegang pundakku dan berdoa untukku: Ya Allah, tetapkanlah dia dan jadikanlah dia yang memberi petunjuk dan yang dapat petunjuk (Bukhari, no: 2797).
Bahkan di antara doa yang selalu diminta dan dipanjatkan oleh Nabi saw, berbunyi seperti berikut:

اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الْإِيمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مَهْدِيِّينَ

Ya Allah, hiasilah kami dengan iman, dan jadikanlah kami sebagai penunjuk (jalan) yang lurus yang memperoleh bimbingan dari-Mu (Musnad Ahmad, no: 18325). Terkadang juga perkataan Imam Mahdi ditambah dengan kalimat “al-Muntadzar”, bermakna utusan yang ditunggu kedatangannya, dan perkataan ini berdasarkan hadis Rasulullah saw:

لَوْلَمْ يَبْقَ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ يَوْمٌ لَطَوَّلَ اللهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ حَتَّى يَبْعَثَ رَجُلاً مِنْ أَهْلِيْ يُوَاطِىءُ اِسْمَهُ اِسْمِيْ وَاِسْمَ أَبِيْهِ اِسْمَ أِبِيْ يَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلاً كَمَا مَلِئَتْ ظُلْمًاوَجْوْرًا

”Andai dunia hanya tersisa satu hari saja, pasti Allah akan memanjangkan hari itu, sampai Dia (Allah) mengutus seorang laki-laki dariku atau dari keluargaku yang namanya sama dengan namaku dan nama ayahnya sama dengan nama ayahku. Ia memenuhi bumi dengan kebijakan dan keadilan, sebagaimana ia (bumi) telah di penuhi dengan kesewenang-wenangan dan kezaliman sebelum itu”. (Abu Dawud, sahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, no. 5180). Bagi Syiah Imamiyah menantikan kedatangan imam Mahdi adalah merupakan satu ibadah yang terbaik (Afdal)[7]. Bahkan pahalanya sama dengan pahala orang yang mati syahid di dua peperangan Rasulullah saw yaitu: Badar dan Uhud, sebagaiaman dikatakan oleh imam Ali Zainal Abidin:

عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْن زَيْنَ الْعَابِدِيْن (عليه السلام) قَالَ: “مَنْ ثَبَتَ عَلَى  مُوَالاَتِنَا فيِ غَيْبَةِ قَائِمِنَا أَعْطَاهُ اللهُ أَجْرَ أَلْفِ شَهِيْدٍ مِثْلُ شَهَدَاءِ بَدْرٍ وَأُحدٍ

Dari Ali bin Al-Husein Zainal Abidin as berkata: “Barang siapa yang tetap teguh pada imam Mahdi yang ghaib, maka Allah akan memberinya seribu pahala orang yang mati syahid, sebagaimana pahala para syuhada perang Badar dan perang Uhud”[8].

Dengan demikian, Rasullullah saw mengisyaratkan bahwa Imam Mahdi pasti akan datang di akhir zaman. Ia akan memimpin umat Islam keluar dari kegelapan dan kezaliman serta kesewenang-wenangan menuju cahaya keadilan dan kejujuran yang menerangi dunia seluruhnya. Ia akan menghantarkan manusia untuk menegakkan kepemimpinan/kekhalifahan Islam sebenar, yaitu mengikuti manhaj, sistem atau metode kepimpinan Nabi saw.

Dalam pandangan Sunni, tiada satupun kalimat ayat al-Quran yang menjelaskan ataupun menyatakan secara jelas ataupun tegas tentang masalah imam mahdi yang kita akan bincangkan dalam buku ini, jutru yang membincangkan masalah imam mahdi adalah hadis-hadis Rasulullah saw. Adapun dalam Al Quran, jutru penjelasan tentang hidayah sangat luas dan mutlak, sesuai dengan nama asma Allah sebagai (اَلْهَادِيْ) pemberi petunjuk, al Quran hanya menjelaskan tentang perkara-perkara mengenai hakikat hidayah, cara mendapatkan hidayah, tingkatan-tingkatan hidayah, orang-orang yang layak mendapatkan hidayah dan sebagainya. Sebagaimana firman Allah swt:

كَيْفَ يَهْدِي اللَّهُ قَوْمًا كَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ وَشَهِدُوا أَنَّ الرَّسُولَ حَقٌّ وَجَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Bagaimana Allah akan memberi petunjuk hidayah kepada sesuatu kaum yang kufur ingkar sesudah mereka beriman, dan juga sesudah mereka menyaksikan bahwa Rasulullah saw itu adalah benar, dan telah datang pula kepada mereka keterangan-keterangan yang jelas nyata. Dan (ingatlah), Allah tidak akan memberikan petunjuk hidayahNya kepada kaum yang zalim”. (Al-Imran, 86).

Firman Allah di atas menunjukkan beberapa hal:

1. Orang yang murtad tidak akan mendapat naungan dan petunjuk Allah. Bahkan mereka akan mendapat la’nat dari Allah, Malaikat dan semua manusia, serta tidak akan mendapat pengurangan atau keringanan siksa api neraka.

2. Murtad termasuk kezaliman yang amat besar dan berat balasannya yaitu neraka, sebab murtad bukan hanya meragukan kebenaran Islam, tapi juga telah mempermainkan agama. Mereka juga telah melecehkan petunjuk Rasulullah saw.

3. Murtad kali pertama dan kali kedua ada kemungkinan untuk diterima taubatnya. Dengan cara bersegera taubat, memperbaiki diri, meningkatkan dan mempertebal kembali keimanannya dengan disiplin melaksanakan syari’ah. Namun kalau murtad untuk ketiga kali tidak akan diterima taubatnya.

اَللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَاغَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (al-Nuur: 35).

Firman Allah di atas menjelaskan tentang cahaya Allah swt yang amat terang di hadapan manusia, namun tidak semua orang dapat merasakannya dan memandangnya. Sebab bagi orang yang hatinya masih dipertuankan oleh dunia/nafsu semata, yang memandang bahwa kemuliaan hanya semata pada nilai materi yang dimiliki, rumah yang indah, cantik dan besar, mobil yang mewah dan elegan, pakaian yang mahal dan branded, tidak mungkin dapat menangkap cahaya Allah tersebut. Hanya hati yang bersih saja yang mampu mencapai ketenangan jiwa.

يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus”. (Al-Maidah: 16).
Maksud ayat ini, bahwa hidayah merupakan nur “cahaya” dalam hati, betapa bahagianya seseorang yang dapat merasakan dan meraih kenikmatan tersebut. Hidup akan terasa tenang, damai, tenteram, dan sejahtera. Semua itu adalah karunia Allah swt semata dan untuk meraih itu semua diperlukan usaha yang ikhlas mencari dan mengejarnya dalam setiap aktivitas kehidupan. Janji Allah, akan membukakan pintu-pintu hidayahnya bagi mereka yang sememangnya mengikuti keredaan Allah swt.

Tingkatan Hidayah:

Al-Fairuz Abadi menjelaskan bahwa hidayah yang diberikan Allah  untuk manusia ada empat tingkatan:

1. Hidayah yang diberikan oleh Allah swt kepada seluruh makhluk mukallaf (jin dan manusia), seperti akal pikiran manusia, kecerdasan intelektual, dan pengetahuan tentang hal-hal yang bersifat asas dan darurat. Ini sebagaimana firman Allah swt:

قَالَ رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى

“Musa berkata: Tuhan kami yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.” (Thaha: 50)

2. Hidayah yang dianugerahkan Allah swt kepada para Anbiya untuk dijelaskan dan disampaikan kepada manusia dan jin, sebagaimana firman Allah swt:

وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا

“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami.” (al-Anbiya: 73).

3. Hidayah berupa taufik untuk tunduk dan mengikuti kebenaran. Hidayah ini dikhaskan bagi hamba yang beriman dan menerima syariat Allah swt. Sebagaimana firman Allah swt:

وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ

“Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (al-Taghabun: 11).

4. Hidayah untuk masuk ke dalam surga pada hari kiamat nanti. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah swt:

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ

“Segala puji bagi Allah yang telah memberi hidayah kami ke (Surga) ini, dan kami tidak akan mendapat hidayah (ke Surga) kalau sekiranya Allah tidak menunjukkan kami” (al-A’raaf: 43).

Sebagai catatan dalam tingkatan hidayah, bahwa keempat tingkatan atau peringkat hidayah tersebut diraih secara bertahap. Sehingga seorang hamba Allah swt yang belum mencapai peringkat kedua tidak akan mampu naik pada pada peringkat hidayah ketiga. Demikian halnya untuk mencapai hidayah pada peringkat keempat, ianya mesti melalui peringkat sebelumnya atau yang ketiga.

Memang diakui bahwa hidayah Allah swt amat susah mencapainya, dan tidak mudah turun kepada makhluk ciptaanNya, sehingga dalam sejarah, Nabi Ibrahim as sendiri tidak dapat mengajak ayahnya untuk menerima hidayah. Nabi Nuh as tidak mampu mengarahkan anaknya ke jalan yang lurus. Nabi Luth dimusuhi oleh istrinya sendiri. Nabi Muhammad saw yang telah berusaha sekuat tenaga agar pamannya Abu Thalib mau menerima hidayah akhirnya pun harus menerima kenyataan bahwa pamannya meninggal di atas kekafiran. Sungguh di antara firman Allah swt yang harus selalu diingat oleh seorang penyeru hidayah adalah ayat berikut:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (al-Qashash: 56)

لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya”. (al-Baqarah: 272)

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Sungguh engkau (Muhammad) adalah pemberi petunjuk ke jalan yang lurus” (Al-Syura: 52)

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ

Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. dan Barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. (al-An’am: 125)

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (al-Maidah: 67)

إِنْ تَحْرِصْ عَلَى هُدَاهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ يُضِلُّ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ

“Jika kamu sangat mengharapkan agar mereka dapat petunjuk, Maka Sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya, dan sekali-kali mereka tiada mempunyai penolong”. (Al-Nakhl: 37)

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”. (Ibrahim: 4)

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan”. (Al-Nakhl: 93)

وَكَذَلِكَ أَنْزَلْنَاهُ آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ وَأَنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يُرِي

“dan Demikianlah Kami telah menurunkan Al Quran yang merupakan ayat-ayat yang nyata, dan bahwasanya Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki”. (Al-Hajj: 16)

Dengan demikian, hidayah itu di tangan Allah, Dia memberi hidayah pada siapa yang dikehendaki-Nya dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya. Lihatlah nabi Nuh, walaupun dia seorang nabi, namun dia tidak mampu memberi hidayah pada anaknya. Begitu juga dengan nabi Ibrahim, ia tidak dapat menyelamatkan Ayahnya dari kemusyrikan. Tak terkecuali nabi Muhammad saw. Dia tidak dapat memberi hidayah taufiq pada sesiapa yang ia mau, bahkan pada orang yang sangat dicintai dan mencintainya yaitu Abu Tholib.

Pada dasarnya, setiap manusia berpotensi mendapatkan Hidayah Allah swt  melalui proses doa, ibadah yang kuat dan tekun serta penuh keikhlasan.  Mungkin pernah terbersit dalam hati kita, mengapa kita wajib membaca lima kali dalam sehari ketika shalat:

“اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ ”

Ala kulli hal, manusia memerlukan “hidayah” petunjuk dan bimbingan Allah di setiap waktu, sebab di sebalik itu, manusia lemah dan amat sedikit ilmu dan pengetahuan. Itulah alasan tepat mengapa manusia digalakkan selalu memohon petunjuk-Nya dalam shalat, agar Allah swt mengajari dan membimbing hambaNya kepada perkara-perkara yang tidak ia tidak maklum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar