Setelah pemaparan sikap permusuhan yang disebarkan oleh para ulama syiah Imamiyah, maka berikut respons kenyataan para ulama Ahlu Sunnah wal Jamaah, baik yang menyesatkan ataupun yang mengkafirkan syiah Imamiyah:
Imam Malik
Imam al-Khalal meriwayatkan dari Abu Bakar al-Marwadzi, katanya: “Saya mendengar Abu Abdullah berkata, bahwa Imam Malik berkata: “Orang yang mencela sahabat-sahabat Nabi, maka ia tidak termasuk dalam golongan Islam” [1].
Ibnu Katsir ketika menafsirkan firman Allah di bawah:
(مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا)
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”. (al –Fath: 29).
Imam Ibnu Katsir berkata: “Dari ayat ini, dalam satu riwayat dari Imam Malik, ia mengambil satu kesimpulan bahwa golongan Rafidhah (Imamiyah), yaitu orang-orang yang membenci para sahabat Nabi SAW adalah kafir. Beliau berkata: “Karena mereka ini membenci para sahabat. Barang siapa membenci para sahabat, maka ia adalah kafir berdasarkan ayat ini.” Pendapat ini disepakati oleh segolongan ulama[2].
Imam Qurtubi menegaskan ucapan imam Malik dan berkata: “Sungguh ucapan Imam Malik itu benar dan penafsirannya pun benar. Siapa pun yang menghina seseorang Sahabat atau mencela periwayatannya, maka ia telah menentang Allah, Tuhan seru sekalian alam dan membatalkan syariat kaum Muslimin[3].
Imam Ahmad
Beliau adalah salah satu ulama Sunni yang amat keras sikapnya terhadap syiah Imamiyah, sehingga banyak riwayat dari padanya yang secara jelas mengkafirkan syiah Imamiyah. Sebagaimana beberapa nukilan pandangan beliau yang disebutkan oleh imam al-Khalal bahwa Abu Bakar al-Marwazi berkata: “Saya bertanya kepada Abu Abdillah tentang orang yang mencela Abu Bakar, Umar dan Aisyah? Jawabnya: Saya berpendapat bahwa dia bukan orang Islam” [4]. Di lain tempat Imam al- Khalal berkata: “Abdul Malik bin Abdul Hamid menceritakan kepadaku, katanya: “Saya mendengar Abu Abdillah berkata: “Barang siapa yang mencela sahabat maka aku khawatir ia menjadi kafir seperti halnya orang-orang Rafidhah (Imamiyah). Kemudian beliau berkata: “Barang siapa mencela Sahabat Nabi SAW maka kami khawatir dia keluar dari Islam (tanpa disadari)”[5]. Ditegaskan kembali oleh beliau dan berkata: “Abdullah bin Ahmad bin Hambal bercerita kepada kami, katanya: “Saya bertanya kepada ayahku perihal seseorang yang mencela salah seorang dari Sahabat Nabi SAW. Maka jawabnya: “Saya berpendapat ia bukan orang Islam”[6].
Tersebut dalam kitab al-Sunnah karya Imam Abdullah bin Ahmad, mengenai pendapat beliau tentang golongan syiah Imamiyah: “Mereka itu adalah golongan yang menjauhkan diri dari sahabat Muhammad SAW dan mencelanya, menghinanya serta mengkafirkannya kecuali hanya empat orang saja yang tiada mereka kafirkan, yaitu: Ali, Ammar, Miqdad dan Salman. Golongan Rafidhah (Imamiyah) ini sama sekali bukan Islam” [7].
Ibnu Taimiyah
Dalam dua kitab yang dikarang oleh imam Ibnu Taimiyah “Majmu’ al-Fatawa” dan “al-Sarim al-Maslul”, beliau menguraikan dan merincikan sebab yang boleh menjadikan syiah Imamiyah kafir, beliau berkata: “Adapun seseorang yang mencela sahabat dengan kata-kata yang tidak sampai mengingkari kejujuran mereka dan agama mereka, seperti mengatakan bahwa ada sahabat yang bakhil, atau penakut, atau kurang ilmunya, atau tidak zuhud dan sejenisnya, maka orang semacam ini wajib mendapatkan pengajaran dan hukuman. Tetapi kita tidak menggolongkannya sebagai orang kafir, hanya karena perbuatan tersebut. Demikianlah yang dimaksud oleh pernyataan kalangan ulama yang tidak mengkafirkan orang-orang yang mencela sahabat” [8].
Dapat dipahami dari pandangan di atas, bahwa yang menyebabkan kafir orang-orang syiah adalah karena mereka meragukan kejujuran (‘adalah al-Sahabat) para sahabat, sehingga mereka melaknat dan mengkafirkan para sahabat tersebut.
Imam Bukhari
Beliau menegaskan kekafiran syiah Imamiyah dalam perkataannya: “Bagi saya sama saja, apakah aku shalat di belakang Imam beraliran Jahm atau Rafidhah (Imamiyah), atau aku shalat di belakang Imam Yahudi atau Nasrani. Dan (seorang muslim) tidak boleh memberi salam kepada mereka, mengunjungi mereka ketika sakit, kawin dengan mereka, menjadikan mereka sebagai saksi dan memakan sembelihan mereka” [9].
Imam Ibnu Qutaibah
Beliau berkata: bahwa sikap berlebihan golongan Syiah dalam mencintai Ali tergambar di dalam perilakunya dengan melebihkan beliau di atas orang-orang yang dilebihkan oleh Nabi dan para Sahabatnya. Mereka beranggapan bahwa Ali sebagai sekutu Nabi SAW dalam kenabian, dan para Imam dari keturunannya mempunyai pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib. Pandangan seperti itu dan banyak hal-hal rahasia lainnya menjadikannya sebagai perbuatan dusta dan kekafiran, kebodohan dan kejahilanan yang keterlaluan” [10].
Imam Abdul Qadir Al-Baghdadi
Beliau berkata :”Golongan Jarudiyah, Hisyamiyah, Jahmiyah, Imamiyah sebagai golongan pengikut hawa nafsu yang telah mengkafirkan sahabat-sahabat terbaik Nabi, maka menurut kami mereka adalah kafir. Menurut kami mereka tidak boleh disalatkan dan tidak sah bermakmum salat di belakang mereka” [11].
Imam Al-Qadhi Abu Ya’la
Beliau berkata: “Adapun hukum terhadap orang Rafidhah”, jika ia mengkafirkan sahabat atau menganggap mereka fasik yang berarti mesti masuk neraka, maka orang semacam ini adalah kafir” [12].
Imam Ibnu Hazm
Imam Ibnu Hazam menilai layak mengkafirkan syiah Imamiyah karena mereka mengkafirkan para sahabat dan mengatakan bahwa Al-Quran mushaf Utsmani palsu, beliau berkata: “Pendapat golongan Nasrani yang menyatakan bahwa golongan Rafidhah (Syiah Imamiyah) menuduh Al-Quran telah diubah, maka sesungguhnya dakwaan semacam itu menunjukkan golongan Syiah adalah bukan muslim”, karena golongan ini muncul pertama kali dua puluh lima (25) tahun setelah wafatnya Rasulullah. Ia merupakan golongan yang melakukan kebohongan dan kekafiran seperti yang dilakukan kaum Yahudi dan Nasrani. Salah satu pendapat golongan Syiah Imamiyah, baik yang dahulu maupun sekarang ialah Al Quran itu sesungguhnya telah diubah. Orang yang berpendapat bahwa Al- Quran ini telah diubah adalah benar-benar kafir dan mendustakan Rasulullah SAW” [13].
Dalam kitab beliau “Al Ihkam Fii Ushuuli Ahkaam” disebutkan bahwa: “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan semua kelompok umat Islam Ahlu Sunnah, Mu’tazilah, Murji’ah, Zaidiyah, bahwa adalah wajib berpegang kepada Al-Quran yang biasa kita baca ini “Dan hanya golongan Syiah ekstrem sajalah yang menyalahi sikap ini. Dengan sikapnya itu mereka menjadi kafir lagi musyrik, menurut pendapat semua penganut Islam. Dan pendapat kita sama sekali tidak sama dengan mereka (Syiah Imamiyah). Pendapat kita hanyalah sejalan dengan sesama pemeluk agama kita” [14].
Mengenai kepalsuan Al-Quran yang diyakini oleh syiah Imamiyah, Ibnu Hazam membantah keras dan berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah tidak pernah menyembunyikan satu kata pun atau satu huruf pun dari syariat Ilahi. Saya tidak melihat adanya keistimewaan pada manusia tertentu, baik anak perempuannya atau anak saudaranya yang lelaki atau istrinya atau sahabatnya, untuk mengetahui sesuatu syariat yang disembunyikan oleh Nabi terhadap bangsa kulit putih, atau bangsa kulit hitam atau penggembala kambing. Tidak ada sesuatu pun rahasia, perlambang ataupun kata sandi di luar apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah kepada umat manusia. Sekiranya Nabi menyembunyikan sesuatu yang harus disampaikan kepada manusia, berarti beliau tidak menjalankan tugasnya. Barang siapa beranggapan semacam ini, berarti sungguh ia telah kafir”[15].
Imam Al-Asfaraayaini
Telah diriwayatkan beberapa macam aqidah Syiah, misalnya: Mereka mengkafirkan sahabat, Al Quran telah diubah dari keasliannya dan terdapat tambahan serta pengurangan, mereka menantikan kedatangan imam ghaib mereka yang akan muncul untuk mengajarkan syariat kepada mereka ” beliau berkata: “Semua kelompok Syiah Imamiyah telah sepakat pada keyakinan sebagaimana kami sebutkan di atas.” Kemudian beliau menyatakan tentang hukum mereka sebagaimana dikatakannya: “Dalam keyakinan mereka semacam itu sama sekali bukanlah merupakan ajaran Islam dan hanya berarti suatu kekafiran. Karena di dalam keyakinan semacam itu tak ada lagi sedikit pun ajaran Islam yang tersisa” [16].
Imam Al-Ghazali
Beliau berkata: “Karena golongan Rafidhah (syiah Imamiyah) dalam memahami Islam itu lemah (dangkal), maka mereka melakukan kedurhakaan dengan membuat aqidah al Badaa’. Meriwayatkan dari Ali, bahwa beliau tidak mau menceritakan hal yang ghaib, karena khawatir diketahui oleh Allah, sehingga Allah akan mengubahnya. Mereka pun meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad, bahwa ia berkata: “Allah tidak mengetahui sesuatu kejadian di masa datang sebagaimana hanya pada peristiwa Ismail, yaitu peristiwa penyembelihannya. Aqidah semacam ini benar-benar suatu kekafiran, dan menganggap Allah itu bodoh dan mudah terpengaruh. Hal semacam ini mustahil, karena Allah itu ilmu-Nya Maha meliputi segala sesuatu” [17]. “Seseorang yang dengan terus terang mengkafirkan Abu Bakar dan Umar – semoga Allah meridhai mereka- maka ia telah menentang dan membinasakan ijma’ kaum muslimin. Padahal tentang diri mereka (para sahabat) ini terdapat ayat-ayat yang menjanjikan surga kepada mereka dan pujian bagi mereka serta mengukuhkan atas kebenaran kehidupan agama mereka, keteguhan aqidah mereka dan kelebihan mereka dari manusia-manusia lain. Kemudian kata beliau: “Bilamana riwayat yang begini banyak telah sampai kepadanya, namun ia tetap berkeyakinan bahwa para sahabat itu kafir, maka orang semacam ini adalah kafir. Karena ia telah mendustakan Rasulullah. Sedangkan orang yang mendustakan satu kata saja dari ucapan beliau, maka menurut ijma’ kaum muslimin orang tersebut adalah kafir” [18].
Tidak kalah penting dan bahaya, Umar bin Khaththab dan anaknya Abdullah bin Umar adalah perawi hadits bagi rukun Islam dan rukun Iman Ahli Sunnah, jika sekiranya keduanya dikafirkan oleh Syiah Imamiyah, maka di manakah kesahihan dan amalan Islam yang dipercayai Ahlu Sunnah? Hal inilah yang membuat dasar penyesatan dan pengkafiran ulama Ahlu Sunnah terhadap golongan Syiah Imamiyah.
Lebih jauh lagi Profesor Dr. Abdul Mun’im Al-Namir (Mantan Menteri Waqaf Mesir) menegaskan pendapatnya tentang syiah di dalam muqaddimah bukunya yang bertajuk: “al-Syiah wa Al-Mahdi” yang berisi dialog beliau dengan Shekh Muhammad Ali Taskhiri (seorang ulama penyebar ide pendekatan antara Sunni dan Syiah).
Beliau berkata: ”Bismillaahir rahmaanir rahim, semoga selawat dan salam tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga dan para sahabat beliau, amma ba’du: Saya telah menjadikan dialog yang terjadi antara saya dengan Shekh Muhammad Ali Taskhiri sebagai muqaddimah cetakan keempat ini. Beliau adalah salah seorang ulama Iran yang sering menjadi utusan pemerintah Iran untuk menghadiri berbagai macam konferensi dan seminar tentang Islam. Beliau adalah ulama yang fasih dan luas ilmunya. Jika beliau berbicara dengan bahasa Arab, seolah-olah beliau adalah orang Arab asli. Dan memang sejak masih muda, beliau telah bertalaqqi di beberapa kota di Irak.
Pertemuan ini terjadi di kota Moscat, ibukota Kesultanan Oman. Tepatnya terjadi di area Universitas Sultan Qobus yang baru, luas dan megah yang terletak kurang lebih sekitar 40 km dari ibukota Moscat. Di sana berlangsung Seminar Fiqih Islam yang ditaja oleh kerajaan Oman dari tanggal 22-26 Sya’ban 1408 H atau bertepatan dengan tanggal 9-13 April 1988 M. Seminar ini dihadiri banyak para ulama senior, para ahli fiqih Islam dan tokoh pergerakan Islam, misalnya Grand Syaikh Al-Azhar Jadul Haqq Ali Jadul Haqq (w.1996 M).
Di sana, ketika acara dimulai, saya bertemu dengan Syaikh Muhammad Ali Taskhiri. Kami pun bersalaman dan berbincang-bincang. Beliau mengingatkan saya bahwa pertemuan yang pertama adalah terjadi di acara Forum Pemikiran yang diadakan di kota Kosantin di Aljazair pada awal tahun 1980-an.
Di hari keduanya saat rehat seminar tersebut, kami keluar bersama beliau dan terjadilah dialog yang dimulai oleh beliau. Beliau berkata kepada saya, ”Anda telah menzhalimi kami ketika Anda menuduh kami bahwa kami telah berkata bahwa telah terjadi perubahan terhadap Al-Quran dan para sahabat yang telah mengumpulkannya telah membuang (menghilangkan) beberapa surat atau beberapa ayat, yaitu ayat tentang hak Ali sebagai pemimpin setelah Rasulullah SAW wafat.”
Saya jawab pertanyaan beliau ini, “Ya, memang saya telah menulis hal itu berdasarkan kepada kitab-kitab kalian”. Saya pun lalu menyebutkan nama-nama kitab-kitab mereka tersebut, salah satunya kitab “Fashlul Khithaab fii Itsbaati Tahriifi Kitaabi Rabbil Arbab”. Kitab ini ditulis oleh ulama besar Syiah, yaitu shekh Husein Al-Nuuri Al-Thabrasi pada abad ke-13 H. Kitab ini dicetak di Iran pada tahun 1298 H. Saya hanya menukil apa yang tercantum di dalam kitab ini. Bagaimana mungkin saya dianggap telah menzalimi kalian, karena semua yang saya sebutkan di dalam masalah ini adalah bersumber dari kitab-kitab kalian yang telah diakui oleh para ulama kalian. Dan kalian pun memberikan penghormatan yang tinggi kepada penulis kitab ini pada saat dia meninggal dunia pada tahun 1232 H. Beliau ini dikuburkan di Najaf, Iraq, sebuah tempat agung menurut orang-orang Syiah, di dekat kuburan Imam Ali Al-Murtaza”.
Beliau berkata, ”Kitab ini tidak ada apa-apanya. Saya sendiri meletakkan kitab ini di bawah kaki saya (beliau menghentakkan kakinya ke tanah) sambil marah”. Saya berkata kepada beliau, ”Mengapa kalian diam saja pada saat kitab ini menceritakan tentang kalian jika memang seperti itu?, Mengapa pula kalian tidak mengumumkan jika kalian tidak mengakui isi kitab tersebut? Dan mengapa kalian menyebarkan kitab ini ke seluruh penjuru dunia, sehingga saya dan ulama yang lain pun tahu bahwa kitab ini tidak mewakili ajaran mazhab kalian. Apakah ada sebuah keterangan yang dirilis oleh pemimpin tertinggi Syiah pada saat ini (Ayatullah Khumaini) bahwa isi kitab-kitab Syiah adalah tidak benar, seperti kitab Al-Nuur Al-Thabrasi ini. Contoh lainnya tentang kebiasaan mencela para sahabat yang telah mengumpulkan Al-Quran bahwa mereka itu telah mengubahnya. Sebaiknya seluruh tuduhan ini dihapus dari kitab kalian itu pada saat akan dicetak ulang. Apakah kalian merasa berat melaksanakan ini semua?”.
Kalian tidak melaksanakan satu dari tuntutan kami ini. Karena saya tahu jika sebagian dari para ulama kalian telah berlepas diri di dalam pengajian-pengajian mereka dari tuduhan bahwa Al-Quran telah diubah. Akan tetapi pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang telah menuduh bahwa para sahabat telah mengubah-ubah Al-Quran. Mengapa pula kalian tidak membuat pernyataan untuk seluruh rakyat yang membaca kitab ini yang berisi penolakan kalian atas tuduhan ini?
Beliau lalu berkata kepada saya, ”Anda telah membicarakan mengenai ucapan yang mengatakan bahwa kami mempunyai mushaf Fathimah. Padahal kami tidak pernah mengatakan seperti ini”. Saya pun berkata kepada beliau, ”Ya, rujukan utama kalian telah mengatakan bahwa wahyu Allah SWT juga turun kepada Fatimah setelah orang tuanya (Rasulullah SAW) wafat. Dan Ali RA adalah pencatat wahyu tersebut sampai terkumpul dan di kemudian hari disebut dengan Mushaf Fatimah.”
Saya baru tahu akan masalah ini setelah saya memperhatikan khutbah Imam Khumaini yang disiarkan oleh radio Teheran. Beliau telah berkata di dalam khutbah tersebut yang mana khutbah tersebut diadakan pada perkumpulan para wanita pembesar Iran pada acara peringatan lahirnya Fatimah. Imam Khumaini berkata: ”Sesungguhnya saya tidak kuasa untuk bercerita tentang Siti Fatimah. Akan tetapi cukuplah dengan sebuah riwayat yang tercantum di dalam kitab Al-Kaafi”. Beliau pun menceritakan riwayat ini di depan para istri pembesar Iran.
Kitab Al-Kaafi yang ditulis oleh Imam Al-Kulaini adalah kitab Syiah yang sepadan dengan Kitab Al-Bukhari di kalangan Ahlu Sunnah. Hal inilah yang memaksa saya pergi ke kota Najaf untuk bertemu dengan salah seorang ulama besar Syiah. Di sana saya bisa melihat-lihat isi kitab tersebut yang merupakan cetakan Iran yang terdapat di perpustakaan pribadi miliknya.
Saya telah mencantumkan di dalam buku saya tentang juz dan bab yang menerangkan tentang turunnya wahyu kepada Fatimah dan mushafnya secara jelas. Apakah dengan ini saya dianggap telah melukai dan menzalimi kalian gara-gara saya melampirkan seluruh isi buku saya dari sumber rujukan yang paling valid menurut kalian berikut dengan teksnya?
Beliau berkata, ”Kitab-kitab itu adalah kitab murahan dan tidak valid!” Saya bertanya kepada beliau, ”Tapi, mengapa kalian menyebarkan kitab ini (kitab Al-Kaafi) ke seluruh penjuru dunia, sampai ke Amerika. Bahkan kalian telah menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris agar mudah dibaca oleh semua orang yang paham bahasa Inggris di Barat dan di Timur!, saya sendiri mempunyai cetakan terbaru yang sudah diterjemahkan. Apakah dengan ini semua bisa dikatakan jika kitab Al-Kaafi ini adalah kitab hebat menurut kalian? Sebab kalian telah berupaya keras dan mengeluarkan dana yang cukup besar untuk mencetak dan menerjemahkannya sampai mencapai ratusan ribu eksemplar untuk disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia sebagai sarana propaganda mazhab kalian. Apakah kalian merasakan hal ini?”.
Beliau berkata, ”Di dalam kitab-kitab tafsir kalian terdapat banyak kisah-kisah Israiliyat. Apakah hal ini bermakna bahwa kalian (Ahlu Sunnah) juga mengakui keabsahannya?”.
Saya jawab, ”Memang benar, di dalam kitab-kitab tafsir kami banyak riwayat Israiliyat dan hadis-hadis yang tidak sahih. Akan tetapi sebagian para ahli tafsir mengingatkan hal ini dan mereka juga mengakui jika riwayat-riwayat tersebut adalah riwayat dusta. Kami sekarang ini sedang memberantas riwayat-riwayat Israiliyat tersebut. Kami sedang menulis beberapa kitab yang menjelaskan hal tersebut dan memperingatkan orang yang membacanya agar jangan mempercayai riwayat-riwayat dusta tersebut. Sebagian para ulama ada yang berusaha untuk mengoreksi dan membuang riwayat-riwayat Israiliyat, hadis-hadis palsu dan hadis-hadis yang tidak shahih. Dibandingkan dengan kalian, kami lihat kalian terus memperbaharui cetakannya dan anehnya dikemudian hari kalian mengatakan jika kitab tersebut tidak ada apa-apanya? Bahkan kalian juga menerjemahkannya dan mengirimkannya ke berbagai negara!. Mana yang dapat kami percayai? Apakah ucapan yang tidak memiliki dalil apa pun ataukah kenyataan yang merupakan dalil yang sangat kuat?”.
Di hari kedua dari pertemuan di pagi hari, ada seorang dari saudara saya dari kalangan para ulama yang memberitahu saya bahwa Shekh Ali Taskhiri terserang serangan jantung dan telah dibawa ke Rumah Sakit Sultan. Saya menyesal, mungkin saja saya yang menyebabkan serangan jantung ini. Akhirnya, saya secepatnya pergi ke melawatnya di rumah sakit untuk melihat keadaan kesehatannya. Di rumah sakit, saya melihat beliau telah sadar dan sedang berbaring di atas ranjangnya. Saya pun merasa tenang setelah saya tahu bahwa penyebab ini semua adalah luka di usus dua belas jarinya yang semakin parah. Beliau pun telah minum obat. Pada saat kami sedang berbincang-bincang dengan beliau, datanglah Menteri Luar Negeri Iran, yaitu Ali Akbar Wilayati menjenguk beliau. Menteri bersalaman dengan kami. Di rumah sakit saya duduk sebentar dan kemudian saya berpamitan agar keduanya (Menteri dan Sheikh) dapat berbincang dengan selesa.
Pada hari kedua Dr. Muhammad Al-Ahmadiy Abu Al-Nur mengajak saya untuk menjenguk Shekh kali kedua di rumah sakit. Pada saat tiba di rumah sakit, kami melihat kamar Shekh telah kosong dari para pelawat. Teman saya ini mengajak saya untuk melanjutkan dialog. Saya berkata kepadanya, ”Sekarang tema perbincangan kita tentang tempat suci. Bagaimana yang kalian lakukan di dalam tempat suci yang perbuatan tersebut tidak pernah diterima oleh kaum muslimin?”.
Beliau menjawab, ”Sesungguhnya Imam Khumaini memerlukan sebuah fatwa syariah Islam dari para ulama Ahlu Sunnah. Dan beliau pasti akan menyambutnya!”.
Saya katakan kepada beliau, ”Apakah tema tentang keselamatan kota suci (Mekah) perlu fatwa, padahal sudah ada nash ayat yang jelas yang menguatkan tentang keselamatan kota suci Mekah. Misalnya firman Allah SWT, ”Barang siapa memasukinya (Baitullah) selamat lah dia,” (QS Ali Imran [03]: 97). Setelah Allah SWT memberikan rasa aman dan selamat kepada seluruh makhluk yang berada di tanah suci sampai kepada burung-burung dan pepohonan, dan juga dilarang berbalah pendapat di area tersebut, apakah setelah ini semua kita memerlukan fatwa dari seseorang? Apakah usaha mendatangkan orang-orang yang siap meledakkan dirinya bersama jemaah haji Iran, kemudian mereka melakukan demonstrasi meneriakkan yel-yel nama imam Khumaini, mereka memblokir jalan-jalan dan mengganggu pengguna jalan. Mereka bergerak menuju tanah suci yang pada saat itu sedang dipadati oleh jemaah haji. Jumlah mereka mencapai sepuluh ribu orang yang terlihat ganas. Hasil dari ini semua sudah bisa diketahui. Apakah perilaku ini sesuai dengan jaminan keamanan yang Allah SWT minta dari kita, yaitu kita harus menjaga keamanan kota suci (Mekah)?”.
Wahai saudaraku … sengaja saya menyebutkan kejadian ini kepadamu agar pengetahuanmu terhadap buku saya ini bertambah. Juga agar kita semua tahu akan tabiat dan tingkah laku orang-orang yang kita sering bergaul dengan mereka. Kami semua adalah kaum muslimin dari kalangan bangsa Arab. Hanya Allah SWT yang mampu memberikan petunjuk-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya! [19].
Untuk renungan bagi syiah Imamiyah yang menyesatkan dan mengkafirkan sahabat, kalau seseorang itu dianggap sebagai musuh, apakah akan menamakan anak-anaknya -laki maupun perempuan- seperti nama musuh-musuhnya? Jawabannya tentu tidak. Namun ternyata ada lima imam dari 12 salasilah imam syiah Imamiyah rela menamakan anak-anak mereka dengan nama “Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Aisyah”. Seperti yang disebutkan dalam kitab syiah sendiri yaitu “Kasyfu al-Ghummah fi Ma’rifat al-Aimmah” dikarang oleh shekh Abu Al-Fath Al-Arbili. Dan secara ringkasnya, Imam Ali RA menikah dengan beberapa wanita selepas kematian Fatimah Al-Zahrah RA[20], di antara yang menamakan nama putranya dengan nama para sahabat adalah:
- Ali bernikah dengan Ummul Banin bintu Hizam Ibnu Darim. Kemudian memperoleh anak bernama Usman bin Ali, Abbas bin Ali, Abdullah bin Ali dan Jaafar bin Ali.
- Ali bernikah dengan Laila binti Mas’ud Al-Darimiyah dan memperoleh cahaya mata bernama Abu Bakar bin Ali dan Ubaidillah bin Ali.
- Ali bernikah dengan Ummu Habib binti Rabi’ah dan memperoleh cahaya mata bernama Umar bin Ali dan Ruqayyah binti Ali.
- Ali bernikah dengan Al-Suhba’ binti Rabi’a bin Taghlab dan memperoleh cahaya mata bernama Umar bin Ali.
Kemudian dari anak-anak Ali juga menamakan anak-anak mereka seperti berikut:
- Dari 8 anak laki-laki Imam Hasan bin Ali (beliau sebagai imam ke 2/wafat 49 H), beliau namakan seorang putranya “Umar bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib”.
- Dari 17 anak perempuan imam Musa bin Ja’far Al-Kazim (beliau sebagai imam ke 7/wafat 183 H), seorang putrinya diberi nama “Aisyah binti Musa bin Ja’far Al-Kazim”.
- Satu satunya anak perempuan imam Ali bin Musa Al-Ridza (beliau sebagai imam ke 8/wafat 203 H) diberi nama “Aisyah binti Ali bin Musa Al-Ridza”.
- Satu satunya anak perempuan imam Ali bin Muhammad Al-Hadi (beliau sebagai imam ke 10/wafat 254 H) diberi nama “Aisyah binti Ali bin Muhammad Al-Hadi”.
Kesimpulan/Penutup
Setelah tamatnya penulisan ini, penulis ingin menyimpulkan bahwa Syiah tidak semuanya sesat dan tidak semuanya kafir. Sebelumnya telah diterangkan bahwa syiah yang kafir sebagaimana kesepakatan semua ulama (Sunni, Mu’tazilah, syiah Zaidiah dan Imamiyah) adalah syiah Ismailiah Batiniah. Adapun syiah Zaidiah adalah syiah yang paling dekat dengan Sunni, ulama Ahlu Sunnah berbeda tanggapan dan pandangan terhadap syiah Imamiyah atau sering disebut sebagai syiah imam 12. Walau bagaimanapun Syiah lebih awal menyesatkan dan mengkafirkan Sunni, sehingga menjadi perkara yang wajar kalau sebahagian ulama Sunni mengatakan bahwa syiah Imamiyah adalah kafir atau sekurang-kurangnya mereka sesat, ini disebabkan karena syiah Imamiyah Itsna’Asyariah sendiri yang menyesatkan dan mengkafirkan para sahabat Rasulullah SAW, seperti Abu Bakar, Umar dan Usman. Mereka menzahirkan laknat kepada para sahabat tersebut baik dalam doa saat ziarah maqam imam Husain, atau dalam banyak karya-karya ulama mereka yang dipenuhi dengan cacian dan makian kepada orang-orang yang berada di sekeliling Nabi SAW, dan hanya sedikit sahaja yang mereka tidak kafirkan yaitu: Ali, Ammar, Miqdad dan Salman.
Imam Malik
Imam al-Khalal meriwayatkan dari Abu Bakar al-Marwadzi, katanya: “Saya mendengar Abu Abdullah berkata, bahwa Imam Malik berkata: “Orang yang mencela sahabat-sahabat Nabi, maka ia tidak termasuk dalam golongan Islam” [1].
Ibnu Katsir ketika menafsirkan firman Allah di bawah:
(مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا)
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”. (al –Fath: 29).
Imam Ibnu Katsir berkata: “Dari ayat ini, dalam satu riwayat dari Imam Malik, ia mengambil satu kesimpulan bahwa golongan Rafidhah (Imamiyah), yaitu orang-orang yang membenci para sahabat Nabi SAW adalah kafir. Beliau berkata: “Karena mereka ini membenci para sahabat. Barang siapa membenci para sahabat, maka ia adalah kafir berdasarkan ayat ini.” Pendapat ini disepakati oleh segolongan ulama[2].
Imam Qurtubi menegaskan ucapan imam Malik dan berkata: “Sungguh ucapan Imam Malik itu benar dan penafsirannya pun benar. Siapa pun yang menghina seseorang Sahabat atau mencela periwayatannya, maka ia telah menentang Allah, Tuhan seru sekalian alam dan membatalkan syariat kaum Muslimin[3].
Imam Ahmad
Beliau adalah salah satu ulama Sunni yang amat keras sikapnya terhadap syiah Imamiyah, sehingga banyak riwayat dari padanya yang secara jelas mengkafirkan syiah Imamiyah. Sebagaimana beberapa nukilan pandangan beliau yang disebutkan oleh imam al-Khalal bahwa Abu Bakar al-Marwazi berkata: “Saya bertanya kepada Abu Abdillah tentang orang yang mencela Abu Bakar, Umar dan Aisyah? Jawabnya: Saya berpendapat bahwa dia bukan orang Islam” [4]. Di lain tempat Imam al- Khalal berkata: “Abdul Malik bin Abdul Hamid menceritakan kepadaku, katanya: “Saya mendengar Abu Abdillah berkata: “Barang siapa yang mencela sahabat maka aku khawatir ia menjadi kafir seperti halnya orang-orang Rafidhah (Imamiyah). Kemudian beliau berkata: “Barang siapa mencela Sahabat Nabi SAW maka kami khawatir dia keluar dari Islam (tanpa disadari)”[5]. Ditegaskan kembali oleh beliau dan berkata: “Abdullah bin Ahmad bin Hambal bercerita kepada kami, katanya: “Saya bertanya kepada ayahku perihal seseorang yang mencela salah seorang dari Sahabat Nabi SAW. Maka jawabnya: “Saya berpendapat ia bukan orang Islam”[6].
Tersebut dalam kitab al-Sunnah karya Imam Abdullah bin Ahmad, mengenai pendapat beliau tentang golongan syiah Imamiyah: “Mereka itu adalah golongan yang menjauhkan diri dari sahabat Muhammad SAW dan mencelanya, menghinanya serta mengkafirkannya kecuali hanya empat orang saja yang tiada mereka kafirkan, yaitu: Ali, Ammar, Miqdad dan Salman. Golongan Rafidhah (Imamiyah) ini sama sekali bukan Islam” [7].
Ibnu Taimiyah
Dalam dua kitab yang dikarang oleh imam Ibnu Taimiyah “Majmu’ al-Fatawa” dan “al-Sarim al-Maslul”, beliau menguraikan dan merincikan sebab yang boleh menjadikan syiah Imamiyah kafir, beliau berkata: “Adapun seseorang yang mencela sahabat dengan kata-kata yang tidak sampai mengingkari kejujuran mereka dan agama mereka, seperti mengatakan bahwa ada sahabat yang bakhil, atau penakut, atau kurang ilmunya, atau tidak zuhud dan sejenisnya, maka orang semacam ini wajib mendapatkan pengajaran dan hukuman. Tetapi kita tidak menggolongkannya sebagai orang kafir, hanya karena perbuatan tersebut. Demikianlah yang dimaksud oleh pernyataan kalangan ulama yang tidak mengkafirkan orang-orang yang mencela sahabat” [8].
Dapat dipahami dari pandangan di atas, bahwa yang menyebabkan kafir orang-orang syiah adalah karena mereka meragukan kejujuran (‘adalah al-Sahabat) para sahabat, sehingga mereka melaknat dan mengkafirkan para sahabat tersebut.
Imam Bukhari
Beliau menegaskan kekafiran syiah Imamiyah dalam perkataannya: “Bagi saya sama saja, apakah aku shalat di belakang Imam beraliran Jahm atau Rafidhah (Imamiyah), atau aku shalat di belakang Imam Yahudi atau Nasrani. Dan (seorang muslim) tidak boleh memberi salam kepada mereka, mengunjungi mereka ketika sakit, kawin dengan mereka, menjadikan mereka sebagai saksi dan memakan sembelihan mereka” [9].
Imam Ibnu Qutaibah
Beliau berkata: bahwa sikap berlebihan golongan Syiah dalam mencintai Ali tergambar di dalam perilakunya dengan melebihkan beliau di atas orang-orang yang dilebihkan oleh Nabi dan para Sahabatnya. Mereka beranggapan bahwa Ali sebagai sekutu Nabi SAW dalam kenabian, dan para Imam dari keturunannya mempunyai pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib. Pandangan seperti itu dan banyak hal-hal rahasia lainnya menjadikannya sebagai perbuatan dusta dan kekafiran, kebodohan dan kejahilanan yang keterlaluan” [10].
Imam Abdul Qadir Al-Baghdadi
Beliau berkata :”Golongan Jarudiyah, Hisyamiyah, Jahmiyah, Imamiyah sebagai golongan pengikut hawa nafsu yang telah mengkafirkan sahabat-sahabat terbaik Nabi, maka menurut kami mereka adalah kafir. Menurut kami mereka tidak boleh disalatkan dan tidak sah bermakmum salat di belakang mereka” [11].
Imam Al-Qadhi Abu Ya’la
Beliau berkata: “Adapun hukum terhadap orang Rafidhah”, jika ia mengkafirkan sahabat atau menganggap mereka fasik yang berarti mesti masuk neraka, maka orang semacam ini adalah kafir” [12].
Imam Ibnu Hazm
Imam Ibnu Hazam menilai layak mengkafirkan syiah Imamiyah karena mereka mengkafirkan para sahabat dan mengatakan bahwa Al-Quran mushaf Utsmani palsu, beliau berkata: “Pendapat golongan Nasrani yang menyatakan bahwa golongan Rafidhah (Syiah Imamiyah) menuduh Al-Quran telah diubah, maka sesungguhnya dakwaan semacam itu menunjukkan golongan Syiah adalah bukan muslim”, karena golongan ini muncul pertama kali dua puluh lima (25) tahun setelah wafatnya Rasulullah. Ia merupakan golongan yang melakukan kebohongan dan kekafiran seperti yang dilakukan kaum Yahudi dan Nasrani. Salah satu pendapat golongan Syiah Imamiyah, baik yang dahulu maupun sekarang ialah Al Quran itu sesungguhnya telah diubah. Orang yang berpendapat bahwa Al- Quran ini telah diubah adalah benar-benar kafir dan mendustakan Rasulullah SAW” [13].
Dalam kitab beliau “Al Ihkam Fii Ushuuli Ahkaam” disebutkan bahwa: “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan semua kelompok umat Islam Ahlu Sunnah, Mu’tazilah, Murji’ah, Zaidiyah, bahwa adalah wajib berpegang kepada Al-Quran yang biasa kita baca ini “Dan hanya golongan Syiah ekstrem sajalah yang menyalahi sikap ini. Dengan sikapnya itu mereka menjadi kafir lagi musyrik, menurut pendapat semua penganut Islam. Dan pendapat kita sama sekali tidak sama dengan mereka (Syiah Imamiyah). Pendapat kita hanyalah sejalan dengan sesama pemeluk agama kita” [14].
Mengenai kepalsuan Al-Quran yang diyakini oleh syiah Imamiyah, Ibnu Hazam membantah keras dan berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah tidak pernah menyembunyikan satu kata pun atau satu huruf pun dari syariat Ilahi. Saya tidak melihat adanya keistimewaan pada manusia tertentu, baik anak perempuannya atau anak saudaranya yang lelaki atau istrinya atau sahabatnya, untuk mengetahui sesuatu syariat yang disembunyikan oleh Nabi terhadap bangsa kulit putih, atau bangsa kulit hitam atau penggembala kambing. Tidak ada sesuatu pun rahasia, perlambang ataupun kata sandi di luar apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah kepada umat manusia. Sekiranya Nabi menyembunyikan sesuatu yang harus disampaikan kepada manusia, berarti beliau tidak menjalankan tugasnya. Barang siapa beranggapan semacam ini, berarti sungguh ia telah kafir”[15].
Imam Al-Asfaraayaini
Telah diriwayatkan beberapa macam aqidah Syiah, misalnya: Mereka mengkafirkan sahabat, Al Quran telah diubah dari keasliannya dan terdapat tambahan serta pengurangan, mereka menantikan kedatangan imam ghaib mereka yang akan muncul untuk mengajarkan syariat kepada mereka ” beliau berkata: “Semua kelompok Syiah Imamiyah telah sepakat pada keyakinan sebagaimana kami sebutkan di atas.” Kemudian beliau menyatakan tentang hukum mereka sebagaimana dikatakannya: “Dalam keyakinan mereka semacam itu sama sekali bukanlah merupakan ajaran Islam dan hanya berarti suatu kekafiran. Karena di dalam keyakinan semacam itu tak ada lagi sedikit pun ajaran Islam yang tersisa” [16].
Imam Al-Ghazali
Beliau berkata: “Karena golongan Rafidhah (syiah Imamiyah) dalam memahami Islam itu lemah (dangkal), maka mereka melakukan kedurhakaan dengan membuat aqidah al Badaa’. Meriwayatkan dari Ali, bahwa beliau tidak mau menceritakan hal yang ghaib, karena khawatir diketahui oleh Allah, sehingga Allah akan mengubahnya. Mereka pun meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad, bahwa ia berkata: “Allah tidak mengetahui sesuatu kejadian di masa datang sebagaimana hanya pada peristiwa Ismail, yaitu peristiwa penyembelihannya. Aqidah semacam ini benar-benar suatu kekafiran, dan menganggap Allah itu bodoh dan mudah terpengaruh. Hal semacam ini mustahil, karena Allah itu ilmu-Nya Maha meliputi segala sesuatu” [17]. “Seseorang yang dengan terus terang mengkafirkan Abu Bakar dan Umar – semoga Allah meridhai mereka- maka ia telah menentang dan membinasakan ijma’ kaum muslimin. Padahal tentang diri mereka (para sahabat) ini terdapat ayat-ayat yang menjanjikan surga kepada mereka dan pujian bagi mereka serta mengukuhkan atas kebenaran kehidupan agama mereka, keteguhan aqidah mereka dan kelebihan mereka dari manusia-manusia lain. Kemudian kata beliau: “Bilamana riwayat yang begini banyak telah sampai kepadanya, namun ia tetap berkeyakinan bahwa para sahabat itu kafir, maka orang semacam ini adalah kafir. Karena ia telah mendustakan Rasulullah. Sedangkan orang yang mendustakan satu kata saja dari ucapan beliau, maka menurut ijma’ kaum muslimin orang tersebut adalah kafir” [18].
Tidak kalah penting dan bahaya, Umar bin Khaththab dan anaknya Abdullah bin Umar adalah perawi hadits bagi rukun Islam dan rukun Iman Ahli Sunnah, jika sekiranya keduanya dikafirkan oleh Syiah Imamiyah, maka di manakah kesahihan dan amalan Islam yang dipercayai Ahlu Sunnah? Hal inilah yang membuat dasar penyesatan dan pengkafiran ulama Ahlu Sunnah terhadap golongan Syiah Imamiyah.
Lebih jauh lagi Profesor Dr. Abdul Mun’im Al-Namir (Mantan Menteri Waqaf Mesir) menegaskan pendapatnya tentang syiah di dalam muqaddimah bukunya yang bertajuk: “al-Syiah wa Al-Mahdi” yang berisi dialog beliau dengan Shekh Muhammad Ali Taskhiri (seorang ulama penyebar ide pendekatan antara Sunni dan Syiah).
Beliau berkata: ”Bismillaahir rahmaanir rahim, semoga selawat dan salam tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga dan para sahabat beliau, amma ba’du: Saya telah menjadikan dialog yang terjadi antara saya dengan Shekh Muhammad Ali Taskhiri sebagai muqaddimah cetakan keempat ini. Beliau adalah salah seorang ulama Iran yang sering menjadi utusan pemerintah Iran untuk menghadiri berbagai macam konferensi dan seminar tentang Islam. Beliau adalah ulama yang fasih dan luas ilmunya. Jika beliau berbicara dengan bahasa Arab, seolah-olah beliau adalah orang Arab asli. Dan memang sejak masih muda, beliau telah bertalaqqi di beberapa kota di Irak.
Pertemuan ini terjadi di kota Moscat, ibukota Kesultanan Oman. Tepatnya terjadi di area Universitas Sultan Qobus yang baru, luas dan megah yang terletak kurang lebih sekitar 40 km dari ibukota Moscat. Di sana berlangsung Seminar Fiqih Islam yang ditaja oleh kerajaan Oman dari tanggal 22-26 Sya’ban 1408 H atau bertepatan dengan tanggal 9-13 April 1988 M. Seminar ini dihadiri banyak para ulama senior, para ahli fiqih Islam dan tokoh pergerakan Islam, misalnya Grand Syaikh Al-Azhar Jadul Haqq Ali Jadul Haqq (w.1996 M).
Di sana, ketika acara dimulai, saya bertemu dengan Syaikh Muhammad Ali Taskhiri. Kami pun bersalaman dan berbincang-bincang. Beliau mengingatkan saya bahwa pertemuan yang pertama adalah terjadi di acara Forum Pemikiran yang diadakan di kota Kosantin di Aljazair pada awal tahun 1980-an.
Di hari keduanya saat rehat seminar tersebut, kami keluar bersama beliau dan terjadilah dialog yang dimulai oleh beliau. Beliau berkata kepada saya, ”Anda telah menzhalimi kami ketika Anda menuduh kami bahwa kami telah berkata bahwa telah terjadi perubahan terhadap Al-Quran dan para sahabat yang telah mengumpulkannya telah membuang (menghilangkan) beberapa surat atau beberapa ayat, yaitu ayat tentang hak Ali sebagai pemimpin setelah Rasulullah SAW wafat.”
Saya jawab pertanyaan beliau ini, “Ya, memang saya telah menulis hal itu berdasarkan kepada kitab-kitab kalian”. Saya pun lalu menyebutkan nama-nama kitab-kitab mereka tersebut, salah satunya kitab “Fashlul Khithaab fii Itsbaati Tahriifi Kitaabi Rabbil Arbab”. Kitab ini ditulis oleh ulama besar Syiah, yaitu shekh Husein Al-Nuuri Al-Thabrasi pada abad ke-13 H. Kitab ini dicetak di Iran pada tahun 1298 H. Saya hanya menukil apa yang tercantum di dalam kitab ini. Bagaimana mungkin saya dianggap telah menzalimi kalian, karena semua yang saya sebutkan di dalam masalah ini adalah bersumber dari kitab-kitab kalian yang telah diakui oleh para ulama kalian. Dan kalian pun memberikan penghormatan yang tinggi kepada penulis kitab ini pada saat dia meninggal dunia pada tahun 1232 H. Beliau ini dikuburkan di Najaf, Iraq, sebuah tempat agung menurut orang-orang Syiah, di dekat kuburan Imam Ali Al-Murtaza”.
Beliau berkata, ”Kitab ini tidak ada apa-apanya. Saya sendiri meletakkan kitab ini di bawah kaki saya (beliau menghentakkan kakinya ke tanah) sambil marah”. Saya berkata kepada beliau, ”Mengapa kalian diam saja pada saat kitab ini menceritakan tentang kalian jika memang seperti itu?, Mengapa pula kalian tidak mengumumkan jika kalian tidak mengakui isi kitab tersebut? Dan mengapa kalian menyebarkan kitab ini ke seluruh penjuru dunia, sehingga saya dan ulama yang lain pun tahu bahwa kitab ini tidak mewakili ajaran mazhab kalian. Apakah ada sebuah keterangan yang dirilis oleh pemimpin tertinggi Syiah pada saat ini (Ayatullah Khumaini) bahwa isi kitab-kitab Syiah adalah tidak benar, seperti kitab Al-Nuur Al-Thabrasi ini. Contoh lainnya tentang kebiasaan mencela para sahabat yang telah mengumpulkan Al-Quran bahwa mereka itu telah mengubahnya. Sebaiknya seluruh tuduhan ini dihapus dari kitab kalian itu pada saat akan dicetak ulang. Apakah kalian merasa berat melaksanakan ini semua?”.
Kalian tidak melaksanakan satu dari tuntutan kami ini. Karena saya tahu jika sebagian dari para ulama kalian telah berlepas diri di dalam pengajian-pengajian mereka dari tuduhan bahwa Al-Quran telah diubah. Akan tetapi pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang telah menuduh bahwa para sahabat telah mengubah-ubah Al-Quran. Mengapa pula kalian tidak membuat pernyataan untuk seluruh rakyat yang membaca kitab ini yang berisi penolakan kalian atas tuduhan ini?
Beliau lalu berkata kepada saya, ”Anda telah membicarakan mengenai ucapan yang mengatakan bahwa kami mempunyai mushaf Fathimah. Padahal kami tidak pernah mengatakan seperti ini”. Saya pun berkata kepada beliau, ”Ya, rujukan utama kalian telah mengatakan bahwa wahyu Allah SWT juga turun kepada Fatimah setelah orang tuanya (Rasulullah SAW) wafat. Dan Ali RA adalah pencatat wahyu tersebut sampai terkumpul dan di kemudian hari disebut dengan Mushaf Fatimah.”
Saya baru tahu akan masalah ini setelah saya memperhatikan khutbah Imam Khumaini yang disiarkan oleh radio Teheran. Beliau telah berkata di dalam khutbah tersebut yang mana khutbah tersebut diadakan pada perkumpulan para wanita pembesar Iran pada acara peringatan lahirnya Fatimah. Imam Khumaini berkata: ”Sesungguhnya saya tidak kuasa untuk bercerita tentang Siti Fatimah. Akan tetapi cukuplah dengan sebuah riwayat yang tercantum di dalam kitab Al-Kaafi”. Beliau pun menceritakan riwayat ini di depan para istri pembesar Iran.
Kitab Al-Kaafi yang ditulis oleh Imam Al-Kulaini adalah kitab Syiah yang sepadan dengan Kitab Al-Bukhari di kalangan Ahlu Sunnah. Hal inilah yang memaksa saya pergi ke kota Najaf untuk bertemu dengan salah seorang ulama besar Syiah. Di sana saya bisa melihat-lihat isi kitab tersebut yang merupakan cetakan Iran yang terdapat di perpustakaan pribadi miliknya.
Saya telah mencantumkan di dalam buku saya tentang juz dan bab yang menerangkan tentang turunnya wahyu kepada Fatimah dan mushafnya secara jelas. Apakah dengan ini saya dianggap telah melukai dan menzalimi kalian gara-gara saya melampirkan seluruh isi buku saya dari sumber rujukan yang paling valid menurut kalian berikut dengan teksnya?
Beliau berkata, ”Kitab-kitab itu adalah kitab murahan dan tidak valid!” Saya bertanya kepada beliau, ”Tapi, mengapa kalian menyebarkan kitab ini (kitab Al-Kaafi) ke seluruh penjuru dunia, sampai ke Amerika. Bahkan kalian telah menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris agar mudah dibaca oleh semua orang yang paham bahasa Inggris di Barat dan di Timur!, saya sendiri mempunyai cetakan terbaru yang sudah diterjemahkan. Apakah dengan ini semua bisa dikatakan jika kitab Al-Kaafi ini adalah kitab hebat menurut kalian? Sebab kalian telah berupaya keras dan mengeluarkan dana yang cukup besar untuk mencetak dan menerjemahkannya sampai mencapai ratusan ribu eksemplar untuk disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia sebagai sarana propaganda mazhab kalian. Apakah kalian merasakan hal ini?”.
Beliau berkata, ”Di dalam kitab-kitab tafsir kalian terdapat banyak kisah-kisah Israiliyat. Apakah hal ini bermakna bahwa kalian (Ahlu Sunnah) juga mengakui keabsahannya?”.
Saya jawab, ”Memang benar, di dalam kitab-kitab tafsir kami banyak riwayat Israiliyat dan hadis-hadis yang tidak sahih. Akan tetapi sebagian para ahli tafsir mengingatkan hal ini dan mereka juga mengakui jika riwayat-riwayat tersebut adalah riwayat dusta. Kami sekarang ini sedang memberantas riwayat-riwayat Israiliyat tersebut. Kami sedang menulis beberapa kitab yang menjelaskan hal tersebut dan memperingatkan orang yang membacanya agar jangan mempercayai riwayat-riwayat dusta tersebut. Sebagian para ulama ada yang berusaha untuk mengoreksi dan membuang riwayat-riwayat Israiliyat, hadis-hadis palsu dan hadis-hadis yang tidak shahih. Dibandingkan dengan kalian, kami lihat kalian terus memperbaharui cetakannya dan anehnya dikemudian hari kalian mengatakan jika kitab tersebut tidak ada apa-apanya? Bahkan kalian juga menerjemahkannya dan mengirimkannya ke berbagai negara!. Mana yang dapat kami percayai? Apakah ucapan yang tidak memiliki dalil apa pun ataukah kenyataan yang merupakan dalil yang sangat kuat?”.
Di hari kedua dari pertemuan di pagi hari, ada seorang dari saudara saya dari kalangan para ulama yang memberitahu saya bahwa Shekh Ali Taskhiri terserang serangan jantung dan telah dibawa ke Rumah Sakit Sultan. Saya menyesal, mungkin saja saya yang menyebabkan serangan jantung ini. Akhirnya, saya secepatnya pergi ke melawatnya di rumah sakit untuk melihat keadaan kesehatannya. Di rumah sakit, saya melihat beliau telah sadar dan sedang berbaring di atas ranjangnya. Saya pun merasa tenang setelah saya tahu bahwa penyebab ini semua adalah luka di usus dua belas jarinya yang semakin parah. Beliau pun telah minum obat. Pada saat kami sedang berbincang-bincang dengan beliau, datanglah Menteri Luar Negeri Iran, yaitu Ali Akbar Wilayati menjenguk beliau. Menteri bersalaman dengan kami. Di rumah sakit saya duduk sebentar dan kemudian saya berpamitan agar keduanya (Menteri dan Sheikh) dapat berbincang dengan selesa.
Pada hari kedua Dr. Muhammad Al-Ahmadiy Abu Al-Nur mengajak saya untuk menjenguk Shekh kali kedua di rumah sakit. Pada saat tiba di rumah sakit, kami melihat kamar Shekh telah kosong dari para pelawat. Teman saya ini mengajak saya untuk melanjutkan dialog. Saya berkata kepadanya, ”Sekarang tema perbincangan kita tentang tempat suci. Bagaimana yang kalian lakukan di dalam tempat suci yang perbuatan tersebut tidak pernah diterima oleh kaum muslimin?”.
Beliau menjawab, ”Sesungguhnya Imam Khumaini memerlukan sebuah fatwa syariah Islam dari para ulama Ahlu Sunnah. Dan beliau pasti akan menyambutnya!”.
Saya katakan kepada beliau, ”Apakah tema tentang keselamatan kota suci (Mekah) perlu fatwa, padahal sudah ada nash ayat yang jelas yang menguatkan tentang keselamatan kota suci Mekah. Misalnya firman Allah SWT, ”Barang siapa memasukinya (Baitullah) selamat lah dia,” (QS Ali Imran [03]: 97). Setelah Allah SWT memberikan rasa aman dan selamat kepada seluruh makhluk yang berada di tanah suci sampai kepada burung-burung dan pepohonan, dan juga dilarang berbalah pendapat di area tersebut, apakah setelah ini semua kita memerlukan fatwa dari seseorang? Apakah usaha mendatangkan orang-orang yang siap meledakkan dirinya bersama jemaah haji Iran, kemudian mereka melakukan demonstrasi meneriakkan yel-yel nama imam Khumaini, mereka memblokir jalan-jalan dan mengganggu pengguna jalan. Mereka bergerak menuju tanah suci yang pada saat itu sedang dipadati oleh jemaah haji. Jumlah mereka mencapai sepuluh ribu orang yang terlihat ganas. Hasil dari ini semua sudah bisa diketahui. Apakah perilaku ini sesuai dengan jaminan keamanan yang Allah SWT minta dari kita, yaitu kita harus menjaga keamanan kota suci (Mekah)?”.
Wahai saudaraku … sengaja saya menyebutkan kejadian ini kepadamu agar pengetahuanmu terhadap buku saya ini bertambah. Juga agar kita semua tahu akan tabiat dan tingkah laku orang-orang yang kita sering bergaul dengan mereka. Kami semua adalah kaum muslimin dari kalangan bangsa Arab. Hanya Allah SWT yang mampu memberikan petunjuk-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya! [19].
Untuk renungan bagi syiah Imamiyah yang menyesatkan dan mengkafirkan sahabat, kalau seseorang itu dianggap sebagai musuh, apakah akan menamakan anak-anaknya -laki maupun perempuan- seperti nama musuh-musuhnya? Jawabannya tentu tidak. Namun ternyata ada lima imam dari 12 salasilah imam syiah Imamiyah rela menamakan anak-anak mereka dengan nama “Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Aisyah”. Seperti yang disebutkan dalam kitab syiah sendiri yaitu “Kasyfu al-Ghummah fi Ma’rifat al-Aimmah” dikarang oleh shekh Abu Al-Fath Al-Arbili. Dan secara ringkasnya, Imam Ali RA menikah dengan beberapa wanita selepas kematian Fatimah Al-Zahrah RA[20], di antara yang menamakan nama putranya dengan nama para sahabat adalah:
- Ali bernikah dengan Ummul Banin bintu Hizam Ibnu Darim. Kemudian memperoleh anak bernama Usman bin Ali, Abbas bin Ali, Abdullah bin Ali dan Jaafar bin Ali.
- Ali bernikah dengan Laila binti Mas’ud Al-Darimiyah dan memperoleh cahaya mata bernama Abu Bakar bin Ali dan Ubaidillah bin Ali.
- Ali bernikah dengan Ummu Habib binti Rabi’ah dan memperoleh cahaya mata bernama Umar bin Ali dan Ruqayyah binti Ali.
- Ali bernikah dengan Al-Suhba’ binti Rabi’a bin Taghlab dan memperoleh cahaya mata bernama Umar bin Ali.
Kemudian dari anak-anak Ali juga menamakan anak-anak mereka seperti berikut:
- Dari 8 anak laki-laki Imam Hasan bin Ali (beliau sebagai imam ke 2/wafat 49 H), beliau namakan seorang putranya “Umar bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib”.
- Dari 17 anak perempuan imam Musa bin Ja’far Al-Kazim (beliau sebagai imam ke 7/wafat 183 H), seorang putrinya diberi nama “Aisyah binti Musa bin Ja’far Al-Kazim”.
- Satu satunya anak perempuan imam Ali bin Musa Al-Ridza (beliau sebagai imam ke 8/wafat 203 H) diberi nama “Aisyah binti Ali bin Musa Al-Ridza”.
- Satu satunya anak perempuan imam Ali bin Muhammad Al-Hadi (beliau sebagai imam ke 10/wafat 254 H) diberi nama “Aisyah binti Ali bin Muhammad Al-Hadi”.
Kesimpulan/Penutup
Setelah tamatnya penulisan ini, penulis ingin menyimpulkan bahwa Syiah tidak semuanya sesat dan tidak semuanya kafir. Sebelumnya telah diterangkan bahwa syiah yang kafir sebagaimana kesepakatan semua ulama (Sunni, Mu’tazilah, syiah Zaidiah dan Imamiyah) adalah syiah Ismailiah Batiniah. Adapun syiah Zaidiah adalah syiah yang paling dekat dengan Sunni, ulama Ahlu Sunnah berbeda tanggapan dan pandangan terhadap syiah Imamiyah atau sering disebut sebagai syiah imam 12. Walau bagaimanapun Syiah lebih awal menyesatkan dan mengkafirkan Sunni, sehingga menjadi perkara yang wajar kalau sebahagian ulama Sunni mengatakan bahwa syiah Imamiyah adalah kafir atau sekurang-kurangnya mereka sesat, ini disebabkan karena syiah Imamiyah Itsna’Asyariah sendiri yang menyesatkan dan mengkafirkan para sahabat Rasulullah SAW, seperti Abu Bakar, Umar dan Usman. Mereka menzahirkan laknat kepada para sahabat tersebut baik dalam doa saat ziarah maqam imam Husain, atau dalam banyak karya-karya ulama mereka yang dipenuhi dengan cacian dan makian kepada orang-orang yang berada di sekeliling Nabi SAW, dan hanya sedikit sahaja yang mereka tidak kafirkan yaitu: Ali, Ammar, Miqdad dan Salman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar