Orang tua Juga Bisa Durhaka Kepada Anak – Ustadz Muslih Abdul Karim, Lc menceritakan kepada Ummi, pada suatu hari, seorang laki-laki menemui Umar bin Khaththab untuk mengadukan kedurhakaan anaknya. Umar memanggil anak tersebut dan menegur perbuatannya itu. Setelah itu anak tersebut bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah anak memiliki hak atas orangtuanya?”
Umar menjawab, “Benar.”
“Apa hak anak?” tanya sang anak. Dijawab Umar, “Memilihkan calon ibu yang baik untuknya, memberinya nama yang baik, dan mengajarinya Al-Qur’an.”
Anak itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, ayahku tidak melakukan satu pun dari apa yang tuan sebutkan itu. Ibuku wanita berkulit hitam bekas budak beragama Majusi. Ia menamakanku Ju’lan (tikus atau curut), dan dia tidak mengajariku satu huruf pun dari Al-Qur’an.
Umar segera memandang orangtua itu dan berkata, “Engkau datang mengadukan kedurhakaan anakmu, padahal engkau telah durhaka kepadanya sebelum ia mendurhakaimu. Engkau telah berbuat buruk kepadanya sebelum ia berbuat buruk kepadamu.”
Dewasa ini kita sering mendengar kezaliman yang dilakukan orangtua kepada anaknya. Ada ayah yang memperkosa anaknya selama bertahun-tahun, Ibu yang menjual anaknya, atau guru yang menganiaya murid. Islam sangat keras menentang kekerasan pada anak, bahkan tak menunjukkan kasih sayang saja dilarang.
Dari Abu Hurairah ra katanya Rasulullah SAW mencium Hasan bin Ali. Ketika itu duduk Aqra bin Habis. Al Aqra berkata: ”Aaya mempunyai sepuluh anak, tidak seorangpun di antara mereka yang pernah saya cium”. Rasulullah memandang kepadanya, kemudian berkata:”Siapa yang tidak mengasihi tidak akan di kasihi”(Shahih Bukhari jilid IV, hadis ke 1696)
Islam dalam segala aspek kehidupan
Pemisahan agama dari kehidupan keluarga, masyarakat, bahkan bernegara menjadi pemicu utama dalam membentuk individu yang tak berperasaan. Kekerasan yang diterima anak baik fisik maupun psikis adalah bukti jauhnya manusia dari hati nurani. Padahal perasaan dan nurani hanya dapat terasah dengan hadirnya iman dan ketaqwaan.
Bagaimana mungkin seorang yang memiliki iman tega menyakiti makhluk lemah anak demi pelampiasan amarah, menghancurkan karakter anak dengan kata-kata negatif, bahkan membunuh masa depan mereka dengan pelecehan seksual? Kekerasan hanya akan membentuk anak yang telah dewasa menjadi pribadi penerus lingkaran kezaliman pada anak di bawahnya. Bagaimana memutusnya?
Islam paling depan menyuarakan perlindungan dan kasih sayang terhadap mereka sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw terhadap anaknya, cucunya, bahkan anak para sahabatnya. Beliau bersabda, “Man laa yarham laa yurham” siapa yang tidak mencinta maka dia tidak dicintai. (HR. Muslim)
Dalam Al-Qur’an, Allah telah memberikan landasan dasar dan metode yang universal dalam mendidik anak. Penyampaian aqidah sebagai awal pendidikan yang disampaikan Luqman kepada buah hatinya, juga kasih sayang para nabi kepada anaknya semua terekam dalam Al-Qur’an. Sehingga tak heran jika kemudian Allah juga menekankan pentingnya ketaatan anak kepada orang tua, serta berbuat baik dan menghormati keduanya. Itu semua adalah hubungan timbal balik yang berhak didapat orang tua yang mendidik anaknya dengan penuh kemuliaan.
Lalu bagaimana dengan orang tua yang alakadarnya dalam mendidik anak, tidak memperhatikan nilai kasih sayang, moral, apalagi bekal keimanan? Anehkah jika Allah membalas doa anak untuk orang tuanya dengan kasih sayang yang alakadarnya juga, karena isi doa sang anak adalah “Ya Allah, kasihilah orang tuaku sebagaimana ia menyayangiku di waktu kecil”?
Rancang Rumah Tangga Islami Sejak Awal
Ibnul Qoyyim ra mengatakan, “Bila terlihat kerusakan pada diri anak-anak, mayoritas penyebabnya adalah bersumber dari orangtuanya.”
Bekalan nilai-nilai Islam yang ditanamkan sejak dini kepada anak akan menjadi tameng baginya untuk tidak melakukan kezaliman, bahkan melindungi anak dari aniaya orang lain. Keluarga yang konsisten menerapkan nilai-nilai Islam dalam kondisi carut marut seperti sekarang, berarti telah menjadi pemutus mata rantai kezaliman terhadap anak (lihat Tafsir Hadits). Amirul Mukminin Ali ra memberikan teladan, “Ajarilah diri-diri kalian dan keluarga-keluarga kalian kebaikan dan bimbinglah mereka.”
Karena itu, untuk melahirkan pribadi yang kuat dan mampu memberi kekuatan kepada orang lain, semua harus dilihat dari awal persiapan pembentukan rumah tangga.
Proses mencari pasangan hidup, tentu menjadi tema awal yang harus diperhatikan. Menurut Ustadz Syahrul Syah, proses ini sangat menentukan kualitas keturunan. “Makanya jangan mengawali rumah tangga dengan zina,” tegasnya. Bagaimana mungkin, jelas Ustadz Syahrul, bisa mendapatkan anak yang bagus kalau diawali dengan cara yang tidak bagus, misalnya hamil di luar nikah.
Kemudian, saat mengandung, ibu pun dianjurkan memperbanyak membaca Al-Qur’an, bersenandung lagu-lagu Islam, berzikir. Intinya, melakukan perbuatan-perbuatan yang mendekatkan dirinya pada Allah. “Kalau yang didengar janin itu suara-suara yang baik, suara keimanan, insya Allah sang anak akan lahir benar-benar bersih,” tambahnya.
Ustadz yang kerap menjadi juri dan penceramah di berbagai acara teve ini pun menyitir sabda Rasulullah saw, “Didiklah anak-anakmu dengan tiga hal; cinta nabi, cinta pada keluarga, dan cinta membaca Al-Qur’an.
Umar menjawab, “Benar.”
“Apa hak anak?” tanya sang anak. Dijawab Umar, “Memilihkan calon ibu yang baik untuknya, memberinya nama yang baik, dan mengajarinya Al-Qur’an.”
Anak itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, ayahku tidak melakukan satu pun dari apa yang tuan sebutkan itu. Ibuku wanita berkulit hitam bekas budak beragama Majusi. Ia menamakanku Ju’lan (tikus atau curut), dan dia tidak mengajariku satu huruf pun dari Al-Qur’an.
Umar segera memandang orangtua itu dan berkata, “Engkau datang mengadukan kedurhakaan anakmu, padahal engkau telah durhaka kepadanya sebelum ia mendurhakaimu. Engkau telah berbuat buruk kepadanya sebelum ia berbuat buruk kepadamu.”
Dewasa ini kita sering mendengar kezaliman yang dilakukan orangtua kepada anaknya. Ada ayah yang memperkosa anaknya selama bertahun-tahun, Ibu yang menjual anaknya, atau guru yang menganiaya murid. Islam sangat keras menentang kekerasan pada anak, bahkan tak menunjukkan kasih sayang saja dilarang.
Dari Abu Hurairah ra katanya Rasulullah SAW mencium Hasan bin Ali. Ketika itu duduk Aqra bin Habis. Al Aqra berkata: ”Aaya mempunyai sepuluh anak, tidak seorangpun di antara mereka yang pernah saya cium”. Rasulullah memandang kepadanya, kemudian berkata:”Siapa yang tidak mengasihi tidak akan di kasihi”(Shahih Bukhari jilid IV, hadis ke 1696)
Islam dalam segala aspek kehidupan
Pemisahan agama dari kehidupan keluarga, masyarakat, bahkan bernegara menjadi pemicu utama dalam membentuk individu yang tak berperasaan. Kekerasan yang diterima anak baik fisik maupun psikis adalah bukti jauhnya manusia dari hati nurani. Padahal perasaan dan nurani hanya dapat terasah dengan hadirnya iman dan ketaqwaan.
Bagaimana mungkin seorang yang memiliki iman tega menyakiti makhluk lemah anak demi pelampiasan amarah, menghancurkan karakter anak dengan kata-kata negatif, bahkan membunuh masa depan mereka dengan pelecehan seksual? Kekerasan hanya akan membentuk anak yang telah dewasa menjadi pribadi penerus lingkaran kezaliman pada anak di bawahnya. Bagaimana memutusnya?
Islam paling depan menyuarakan perlindungan dan kasih sayang terhadap mereka sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw terhadap anaknya, cucunya, bahkan anak para sahabatnya. Beliau bersabda, “Man laa yarham laa yurham” siapa yang tidak mencinta maka dia tidak dicintai. (HR. Muslim)
Dalam Al-Qur’an, Allah telah memberikan landasan dasar dan metode yang universal dalam mendidik anak. Penyampaian aqidah sebagai awal pendidikan yang disampaikan Luqman kepada buah hatinya, juga kasih sayang para nabi kepada anaknya semua terekam dalam Al-Qur’an. Sehingga tak heran jika kemudian Allah juga menekankan pentingnya ketaatan anak kepada orang tua, serta berbuat baik dan menghormati keduanya. Itu semua adalah hubungan timbal balik yang berhak didapat orang tua yang mendidik anaknya dengan penuh kemuliaan.
Lalu bagaimana dengan orang tua yang alakadarnya dalam mendidik anak, tidak memperhatikan nilai kasih sayang, moral, apalagi bekal keimanan? Anehkah jika Allah membalas doa anak untuk orang tuanya dengan kasih sayang yang alakadarnya juga, karena isi doa sang anak adalah “Ya Allah, kasihilah orang tuaku sebagaimana ia menyayangiku di waktu kecil”?
Rancang Rumah Tangga Islami Sejak Awal
Ibnul Qoyyim ra mengatakan, “Bila terlihat kerusakan pada diri anak-anak, mayoritas penyebabnya adalah bersumber dari orangtuanya.”
Bekalan nilai-nilai Islam yang ditanamkan sejak dini kepada anak akan menjadi tameng baginya untuk tidak melakukan kezaliman, bahkan melindungi anak dari aniaya orang lain. Keluarga yang konsisten menerapkan nilai-nilai Islam dalam kondisi carut marut seperti sekarang, berarti telah menjadi pemutus mata rantai kezaliman terhadap anak (lihat Tafsir Hadits). Amirul Mukminin Ali ra memberikan teladan, “Ajarilah diri-diri kalian dan keluarga-keluarga kalian kebaikan dan bimbinglah mereka.”
Karena itu, untuk melahirkan pribadi yang kuat dan mampu memberi kekuatan kepada orang lain, semua harus dilihat dari awal persiapan pembentukan rumah tangga.
Proses mencari pasangan hidup, tentu menjadi tema awal yang harus diperhatikan. Menurut Ustadz Syahrul Syah, proses ini sangat menentukan kualitas keturunan. “Makanya jangan mengawali rumah tangga dengan zina,” tegasnya. Bagaimana mungkin, jelas Ustadz Syahrul, bisa mendapatkan anak yang bagus kalau diawali dengan cara yang tidak bagus, misalnya hamil di luar nikah.
Kemudian, saat mengandung, ibu pun dianjurkan memperbanyak membaca Al-Qur’an, bersenandung lagu-lagu Islam, berzikir. Intinya, melakukan perbuatan-perbuatan yang mendekatkan dirinya pada Allah. “Kalau yang didengar janin itu suara-suara yang baik, suara keimanan, insya Allah sang anak akan lahir benar-benar bersih,” tambahnya.
Ustadz yang kerap menjadi juri dan penceramah di berbagai acara teve ini pun menyitir sabda Rasulullah saw, “Didiklah anak-anakmu dengan tiga hal; cinta nabi, cinta pada keluarga, dan cinta membaca Al-Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar