Kamis, 26 Januari 2017

Kita Sebagai Manusia Terlahir Istimewa

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah dengan tugas khusus menjadi khalifah. Artinya, sejak lahir setiap dari diri kita mengemban amanah istimewa, yaitu menjadi pemimpin. Di alam rahim, setiap manusia yang lahir ke dunia telah menjadi pemenang dengan mengalahkan jutaan calon manusia lain. Sudah seharusnya saat ini kita pun menjadi pemenang dalam setiap ujian kehidupan. Kita mampu memimpin diri kita untuk terus maju dan berkembang sebelum kita memimpin orang lain.

Saat ada seorang anak manusia yang lahir ke dunia, kedua orang tuanya adalah dua manusia yang paling beruntung. Beragam doa dipanjatkan sejak ia masih berada dalam rahim ibunya agar saya menjadi anak yang saleh, anak yang berbakti kepada kedua orang tua, anak yang berpotensi besar untuk sukses dalam kehidupannya. Sembilan bulan lamanya ia berada dalam rahim ibunya. Sepanjang pagi, siang, dan malam ibunya selalu mendoakan yang terbaik dalam hidup.

Kita harus percaya bahwa setiap anak yang lahir ke dunia adalah karunia dan anugerah yang tak terhingga dari Allah. Setiap manusia terlahir ke dunia dengan memiliki potensi yang besar untuk maju dan berkembang. Allah telah menganugerahkan satu karunia terbesar kepada manusia untuk dipakai sebagai alat untuk menjadi pemimpin, yaitu akal pikiran. Karena itu, siapa pun dari kita memiliki kesempatan sama untuk menjadi pemimpin dan orang sukses. Hanya orang-orang yang menggunakan akal pikiranlah yang akan menjadi pemimpin yang beruntung sebagaimana firman Allah SWT.

“Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah:100).

Dalam ayat tersebut, Allah menegaskan kepada manusia agar membedakan yang baik dan buruk. Walaupun yang buruk terlihat menarik, namun sebagai makhluk yang berakal kita dianjurkan untuk memilih yang baik bagi hidup kita agar mendapat keberuntungan. Yang dimaksud dalam keberuntungan di sini adalah keberkahan dalam hidup di dunia, dan keselamatan di akhirat. Keberkahan hidup di dunia bisa berupa, mendapatkan rezeki dari harta yang halal lagi baik, usia yang dimanfaatkan untuk bertakwa kepada Allah SWT dan bermanfaat bagi sesama manusia.

Di antara dari kita pasti banyak yang bertanya, untuk menjadi manusia yang bisa memimpin hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang dilahirkan dalam kondisi normal lagi baik. Lantas bagaimana dengan kita sendiri atau saudara-saudara kita yang terlahir dalam kondisi disabilitas maupun dalam kondisi kekurangan ketika lahir? Apakah masih memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin yang beruntung? Perhatikan ayat berikut ini :

“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An-Nisa:28).

Siapa yang tak kenal Habibie Hasjah? Seorang penyandang disabilitas yang sukses menjadi pengusaha. Habibie mengalami penyakit kelumpuhan otak sejak lahir yang menyebabkan organ tubuh dan syaraf tidak berfungsi dengan baik. Namun, di tengah segala keterbatasannya, ia kini tercatat menjadi salah satu pengusaha muda di Indonesia. Penghasilannya  lebih dari Rp 10 juta per bulan. Kini, ia menjadi narasumber di mana-mana dan menginspirasi banyak orang. Kiprahnya menjadi pelajaran bagi orang-orang yang terlahir normal.

Sekarang kita mengetahui bahwa Allah telah menciptakan manusia sejak awal sebagai pemenang. Kita mampu mengalahkan jutaan calon manusia lain untuk menembus rahim ibu kita. Ini bukan tanpa maksud, karena Allah tahu bahwa manusia makhluk yang kuat. Setelah lahir ke dunia, Allah langsung menganugerahkan tugas khusus kepada manusia untuk menjadi khalifah atau pemimpin di muka bumi. Allah Yang Maha Mengetahui memberikan tugas ini karena mengetahui potensi setiap individu untuk menjadi pemimpin.

Janganlah sekali-sekali menyalahkan Allah karena dilahirkan dalam kondisi organ tubuh kurang lengkap atau dari keluarga kurang berada, atau saat kita mengalami ujian berat, atau saat merasa Allah menjauhi kita. Sebesar apa pun ujian kita, dan sebanyak apapun kekurangan kita, sadarilah bahwa sesungguhnya Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath Thalaq:65)


Allah memberikan kelemahan, kekurangan, ujian, musibah, dan tantangan kepada kita karena mengetahui, bahwa kita mampu memikulnya. Kita mampu melewatinya, dan mampu menjadi manusia yang naik kelas menjadi orang yang lebih baik lagi.

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabuut:2-3).
Jangan mengaku beriman jika belum diuji. Orang yang mengaku telah beriman kepada Allah pun diuji. Orang-orang yang hidup terlebih dahulu dengan kita pun diuji. Maka marilah kita menjadi pribadi yang senantiasa bersyukur, bahwa dengan diuji kita mampu membuktikan kepada Allah bahwa kita mampu, kita beriman kepada-Nya.

Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah dengan sesempurna-sempurnanya bentuk. Kita terlahir istimewa. Sejak di alam rahim kita telah menjadi pemenang, dan begitu lahir ke dunia kita diberikan tugas khusus untuk menjadi khalifah atau pemimpin. Minimal kita pimpin diri kita sendiri untuk menjadi lebih baik, dan belajar untuk memimpin orang sekitar kita, dan menjadi role model atau teladan bagi orang-orang di sekitar kita.

Menjadi khalifah bagi diri sendiri artinya kita mampu mengendalikan dan memimpin hawa nafsu diri sendiri. Misalnya, di antara kita banyak yang mengetahui makan babi dan minuman keras haram, tetapi karena kita tidak mampu mengendalikan hawa nafsu sendiri, tetap saja dilanggar. Sesungguhnya apa yang diharamkan Allah kepada manusia itu baik bagi manusia itu sendiri. Perbuatan ini disebut menzalimi diri sendiri.

Cara menjadi khalifah sesama manusia, misalnya, dengan memimpin suatu organisasi, komunitas maupun perusahaan. Kita belajar menjadi pemimpin. Semakin tua usia seharusnya kualitas kekhalifahan semakin meningkat. Cara menjadi khalifah bagi makhluk Allah lain, misalnya, dengan menjaga dan memelihara kelestarian makhluk hidup di bumi dan tidak merusaknya..

Tadabbur Surat Al-Insyiqaq (Terbelah): Langit, Bumi, dan Manusia

Para ahli tafsir sepakat bahwa surat al-insyiqaq diturunkan di Makkah setelah surat al-infithar ([1]). Tema pokok surat ini masih berkisar tentang hari kiamat dan hari pembalasan. Dan tentunya merupakan kelanjutan dari surat-surat sebelumnya. Jika dalam surat al-Infithar dibicarakan tentang para pencatat amal, kemudian dalam surat al-Muthaffifin dibicarakan tentang tempat penyimpanan buku-buku catatan amal manusia; maka dalam surat ini dibahas tentang pembagian buku catatan amal manusia sekaligus menggambarkan keadaan yang akan menimpa atau dialami orang yang menerimanya([2]).

Kali ini langit dan bumi kembali menjadi tanda kekuasaan Allah sekaligus membuktikan ke-tundukan mereka kepada titah Allah Yang Maha Kuasa. Kemegahan dan keindahan kedua makhluk Allah tersebut kelak menjadi fana, saat hari kehancuran yang ditentukan benar-benar terjadi.

Wahai Manusia Lihatlah Langit dan Bumi

“Apabila langit terbelah, dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya langit itu patuh. Dan apabila bumi diratakan, dan dilemparkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong, dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya bumi itu patuh, (pada waktu itu manusia akan mengetahui akibat perbuatannya)” (QS. 84: 1-5)

Kali ini Allah menggambarkan saat terjadinya hari kiamat. Tiupan yang dahsyat dari terompet kehancuran malaikat Israfil mengakibatkan langit terbelah. Langitpun tunduk pada titah Allah. Dan memang sudah semestinya demikian. Sementara itu bumi juga menjadi rata. Ia mengeluarkan semua isi perutnya. Baik berupa manusia atau benda-benda yang lain hingga menjadi benar-benar kosong. Hal itu semata memenuhi titah Allah. Dan memang sudah semestinya demikian. Karena memang hanya Allah saja lah  yang berhak untuk ditaati dalam keadaan apapun.

“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya” (QS. 84: 6)
Ketika di dunia manusia telah berusaha bekerja keras untuk memenuhi segala keperluan hidupnya. Sebagian di antara mereka bahkan berlebihan hingga melupakan hak jasadnya untuk beristirahat. Sebagian lagi bahkan melupakan Allah, Dzat yang membuatnya berkecukupan dalam kehidupannya.   Sebagian manusia menyadari kekeliruannya, sehingga ia pun semakin bekerja dan berusaha keras untuk memenuhi hak-haknya, keluarganya, masyarakat sekelilingnya, dan tentunya Allah.

Siapapun mereka, baik yang terus bekerja atau bermalas-malasan dan lupa akan perjumpaan dengan hari pembalasan, atau mereka yang bekerja dan beramal karena yakin akan bertemu Allah; maka pertemuan dengan Allah adalah suatu kepastian. Pertemuan dengan hari pembalasan adalah sebuah keniscayaan. Hal inilah yang sering dan banyak dilupakan oleh manusia yang dalam ayat ini punya karakteristik “كادح” yang berarti berusaha dan bekerja keras.

Jika kaum mukminin bekerja keras menahan himpitan hidup di tengah permusuhan orang-orang yang memusuhi Rasulullah saw, maka orang-orang kuffar Quraisy juga berpikir dan bekerja keras untuk menghentikan dakwah Rasul saw dan terus mengintimidasi para pengikutnya. Kedua kondisi yang kontradiktif ini sama-sama bermuara pada perjumpaan dengan janji Allah. Yaitu pembalasan-Nya melalui hari perhitungan.

Pembagian Buku Amal: Sebuah Tanda Bagi Penerimanya


Setelah dibangkitkan dari kematian, manusia mau tak mau pasti menerima kenyataan melihat catatan amal mereka. Mereka juga menerimanya apa adanya. Menariknya, dalam surat ini digambarkan cara menerima amal kebaikan. Jika ia menerimanya dengan tangan kanan maka itu merupakan sebuah pertanda kemudahan yang akan ia jumpai dalam perhitungan berikutnya. Namun, jika ia menerimanya dari arah belakang atau dengan tangan kirinya, maka itu pertanda buruk baginya. Simaklah penuturan Allah SWT,

“Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya. Maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah. Dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira” (QS. 84: 7-9)

Kegembiraan dan kebahagiaanlah bagi orang-orang yang menerima catatan dengan tangan kanannya. Menerima sebuah buku kemuliaan yang tadinya di simpan di illiyyin, yang ditulis oleh malaikat pencatat yang mulia dan dimuliakan Allah serta penduduk langit-Nya. Perhitungan yang mudah pun bermacam-macam penafsiran. Ada sebagian yang menafsirkannya dengan sedikitnya pertanyaan yang dilontarkan kepadanya atau bahkan tidak ditanya sama sekali([3]). Dalam sebuah riwayat hadits Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang ditanya-tanya pada hari perhitungan maka celakalah” ([4]). Karena itu bagi mereka yang dilewatkan dari pertanyaan-pertanyaan yang menyulitkan sangatlah beruntung.
Para penerima buku kebaikan ini bahkan membanggakan diri dan tidaklah aib yang demikian. Mereka menunjukkannya kepada keluarga mereka yang beriman. Sebagian ahli tafsir ada yang mengatakan bahwa mereka menunjukkannya kepada para bidadari yang mendampingi mereka([5]) serta membanggakan usaha dan amalnya di dunia. Dalam ayat lain juga disebutkan, “Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya, Maka dia berkata: “Ambillah, bacalah kitabku (ini)” (QS. Al-Haqqah: 19).

“Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari belakang. Maka dia akan berteriak: “Celakalah aku”. Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)” (QS. 84: 10-12)
Keadaan sebaliknya menimpa orang-orang yang menerima buku amalnya dengan cara dilempar dari arah belakang. Seketika mereka pun sadar bahwa hal yang kurang menyenangkan tersebut sebagai tanda akan berbagai kesulitan yang segera akan menimpanya. Maka ia pun berkata: “celakalah aku”. Kata yang dipakai di sini adalah “tsubur “ yang berarti kumpulan dari berbagai hal yang tidak menyenangkan serta teramat menyusahkan keadaannya([6]). Tak berapa lama setelah ia berpikiran negatif, sebuah kenyataan yang pedih segera dijumpainya. Ia segera dimasukkan ke dalam api yang sudah menyala-nyala sekian lama. Azab yang pedih di tengah api yang membara dan menyala. Sebuah gambaran yang sangat mengerikan. Padahal sebelumnya, tak sedikitpun ia membayangkannya demikian.

“Sesungguhnya dia dahulu (di dunia) bergembira di tengah keluarganya. Sesungguhnya dia menyangka bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali (kepada Tuhannya)” (QS. 84: 13-14)

Saat di dunia ia sangat berbahagia, bergembira. Bahkan sampai melampaui batas. Ia tidak berpikir sama sekali tentang hari-hari buruk yang akan dijumpainya, sebagai ganjaran atas amal dan perbuatan yang dilakukannya. Kata “masrur” di sini gembira yang berarti sombong, melampaui batas dan lupa terhadap Tuhan yang memberikan karunia kepadanya. Sedangkan “yahur” berarti pulang untuk selamanya, atau kembali kepada asalnya, sebagaimana yang ditafsirkan oleh al-Farra’([7]).

Dugaan mereka tidaklah benar. Karena Allah Dzat yang tak pernah lengah senantiasa mengawasi mereka dan kelak akan membalas semua yang mereka kerjakan ketika ada di dunia. “(bukan demikian), yang benar, sesungguhnya Tuhannya selalu melihatnya” (QS. 84: 15)
Allah yang Maha Sibuk itu tak pernah sekalipun terlewat untuk melihat dan mendengar gerak-gerik manusia, bahkan apa yang terdetik dalam hati mereka yang belum mereka katakana atau ubah menjadi sebuah perbuatan. Dialah Dzat yang Maha Tahu yang zhahir dan yang batin.

Al-Quran yang Didustakan

Dalam surat ini Allah bersumpah dengan menggunakan berbagai petunjuk waktu. Yaitu waktu maghrib dan isya kemudian saat bulan benar-benar mencapai bentuk sempurnanya di malam purnama. “Maka sesungguhnya Aku bersumpah dengan cahaya merah di waktu senja, dan dengan malam dan apa yang diselubunginya, dan dengan bulan apabila jadi purnama” (QS. 84: 16-18). Para pakar banyak menafsirkan perihal bulan ini dengan kesempurnaan bentuk di saat purnama([8]), yaitu tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulannya([9]). Dan kita disunnahkan berpuasa pada hari-hari tersebut.

Tiga hal tersebut: permulaan malam, kemudian sepanjang waktu malam, serta cahaya bulan yang penuh di saat purnama, semuanya adalah karunia Allah yang diberikan untuk manusia. Dan sebagaimana malam berproses dan mengalami perubahan maka manusia juga akan melalui waktu yang sama. Dari kegelapan ketiadaan diterangkan dengan dikeluarkan di bumi Allah. Kemudian setelah mati ia kembali ke perut bumi (sebagai bahan dasar penciptaan manusia). Dan setelah itu ia dibangkitkan kembali oleh Allah. Sesungguhnya pada kegelapan dan kejadian di malam hari banyak tanda-tanda yang memberi sinyal dan berita tentang kekuasaan Allah yang tak terbatas, serta kehendak-Nya yang tak tertandingi oleh siapapun. Maka Dzat yang demikian tentu sangat mudah jika menginginkan sebuah hari kebangkitan dan pertanggungjawaban dari manusia dan jin terhadap apa yang mereka lakukan selama hidup di dunia.

“Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan)” (QS. 84: 19). Karena manusia selalu berproses. Ia diciptakan dari setetes air mani yang kemudian sel sperma yang ada di dalamnya membuahi ovum sampai kemudian menjadi janin yang bernyawa, kemudian terlahir ke dunia, menjadi anak-anak, remaja hingga dewasa dan kemudian kembali tua dan tidak berdaya sampai kemudian ia menemui ajalnya. Sebagian ahli tafsir ada yang mengartikan tingkatan di sini adalah tingkatan amal dan perbuatan manusia yang berbeda-beda. Seperti halnya kesusahan-kesusahan yang diterima Rasul saw. ketika di Makkah. Sebagian lagi menafsirkan kesulitan-kesulitan yang akan diterima kaum kuffar juga bertingkat-tingkat, kelak di akhirat([10]). Tapi pendapat pertama lebih banyak dipakai dan digunakan.

“Mengapa mereka tidak mau beriman?” (QS. 84: 20). Alangkah bodohnya mereka yang diberikan tanda-tanda kekuasaan-Nya bahkan dikirim-Nya para utusan untuk memahamkan manusia, setelah itu manusia mendustakan mereka dan ayat-ayat yang dibawa dari Allah..

“Dan apabila Al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud. Bahkan orang-orang kafir itu mendustakan(nya)” (QS. 84: 21-22)


Saat di dunia orang-orang masih mampu bersujud, namun kesempatan tersebut dilewatkan begitu saja. Nantinya di akhirat saat mereka diperintah bersujud, mereka tak bisa melakukannya karena kaki-kaki mereka terasa terkunci.

Ayat ke 21 dalam surat ini dijadikan dalil oleh para ulama tentang disyariatkannya sujud tilawah. Juga sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, “Ibnu Umar berkata: Rasulullah saw suatu ketika membaca suatu surat dan membaca (pada ayat yang ada) tanda sujudnya, beliau bersujud dan kamipun bersujud bersamanya, sampai-sampai seseorang di antara kami hampir tak menemukan tempat untuk keningnya”. Dalam riwayat Muslim ditambah, “dalam keadaan di luar shalat” ([11]). Menurut Abu Hanifah hukumnya wajib karena ada celaan bagi yang meninggalkan sujud dalam ayat ini. Namun menurut jumhur ulama, sujud tilawah hukumnya sunnah (hanya anjuran saja). Ini berlaku bagi yang membacanya juga mendengarkannya dengan sengaja. Ataupun tidak sengaja (menurut sebagian ahli fikih, di antaranya ulama Syafi’iyah. Adapun perempuan yang haidh, nifas dan orang-orang yang junub tidak dianjurkan bahkan dilarang untuk bersujud ketika mendengarkan ayat-ayat sajdah ini. Sujud ini hanya dilakukan sekali saja, dan jika di luar shalat tanpa di dahului takbiratul ihram juga tidak diakhiri dengan salam, tapi cukup dengan membaca takbir untuk sujud saja.

Doa yang dibaca dalam sujud sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas ra:

سجد وجهي للذي خلقه وشق سمعه وبصره بحوله وقوّته، فتبارك الله أحسن الخالقين ([12])

Ada juga riwayat lain yang diriwayatkan Imam at-Tirmidzi,

” اللهم اكتب لي بها عندك أجراً واجعلها لي عندك ذخرا وضع عني بها وزراً واقبلها مني كما قبلنها من عبدك داود” ([13]).


Jika tidak hafal maka ia disunnahkan membaca sebagaimana bacaan sujud dalam shalatnya atau apa saja yang menunjukkan tasbih dan penyucian terhadap Allah.

Di dalam Al-Quran ada 15 tempat dalam 14 surat yang disunnahkan untuk bersujud saat kita membacanya atau mendengarkannya; yaitu: surat Al-A’raf (206), ar-Ra’d (15), (An-Nahl (49), al-Isra (107), Maryam (58), al-Hajj (18, 77), al-Furqan (60), an-Naml (25), as-Sajdah (15), Shad (24), Fushilat (38), an-Najm (62), al-Insyiqaq (21), Iqra’ al-Alaq (19) ([14]).

Hari yang Sulit

Orang-orang yang hatinya keras memang takkan mau tunduk dan bersujud kepada Allah. Mereka justru berpura-pura menjadi orang baik dan memelihara kemunafikan dengan suka menampakkan kebaikan lahiriah mereka di depan manusia, “Padahal Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan (dalam hati mereka)” (QS. 84: 23) Yaitu kebusukan hati mereka yang keras dan congkak serta sombong. Maka orang-orang seperti ini akan menjumpai hari-hari yang menyulitkan kelak. “Maka berilah kabar mereka dengan azab yang pedih” (QS. 84: 24)

Sedangkan orang-orang yang beriman dan ringan bersujud kepada Allah di dunia, akan dimuliakan Allah dengan pahala dan kebaikan-kebaikan yang tak terkira yang belum pernah mereka bayangkan sebelumnya, serta nikmat yang tak pernah terputus selamanya. “Tetapi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka pahala yang tidak putus-putusnya” (QS. 84: 25). Itulah keberuntungan yang hakiki dan sebenar-benarnya.

Respons Ulama Sunni Terhadap Pengkafiran Sahabat Rasulullah SAW

Setelah pemaparan sikap permusuhan yang disebarkan oleh para ulama syiah Imamiyah, maka berikut respons kenyataan para ulama Ahlu Sunnah wal Jamaah, baik yang menyesatkan ataupun yang mengkafirkan syiah Imamiyah:

Imam Malik

Imam al-Khalal meriwayatkan dari Abu Bakar al-Marwadzi, katanya: “Saya mendengar Abu Abdullah berkata, bahwa Imam Malik berkata: “Orang yang mencela sahabat-sahabat Nabi, maka ia tidak termasuk dalam golongan Islam” [1].

Ibnu Katsir ketika menafsirkan firman Allah di bawah:

(مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا)

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”. (al –Fath: 29).

Imam Ibnu Katsir berkata: “Dari ayat ini, dalam satu riwayat dari Imam Malik, ia mengambil satu kesimpulan bahwa golongan Rafidhah (Imamiyah), yaitu orang-orang yang membenci para sahabat Nabi SAW adalah kafir. Beliau berkata: “Karena mereka ini membenci para sahabat. Barang siapa membenci para sahabat, maka ia adalah kafir berdasarkan ayat ini.” Pendapat ini disepakati oleh segolongan ulama[2].

Imam Qurtubi menegaskan ucapan imam Malik dan berkata: “Sungguh ucapan Imam Malik itu benar dan penafsirannya pun benar. Siapa pun yang menghina seseorang Sahabat atau mencela periwayatannya, maka ia telah menentang Allah, Tuhan seru sekalian alam dan membatalkan syariat kaum Muslimin[3].

Imam Ahmad

Beliau adalah salah satu ulama Sunni yang amat keras sikapnya terhadap syiah Imamiyah, sehingga banyak riwayat dari padanya yang secara jelas mengkafirkan syiah Imamiyah. Sebagaimana beberapa nukilan pandangan beliau yang disebutkan oleh imam al-Khalal bahwa Abu Bakar al-Marwazi berkata: “Saya bertanya kepada Abu Abdillah tentang orang yang mencela Abu Bakar, Umar dan Aisyah? Jawabnya: Saya berpendapat bahwa dia bukan orang Islam” [4]. Di lain tempat Imam al- Khalal berkata: “Abdul Malik bin Abdul Hamid menceritakan kepadaku, katanya: “Saya mendengar Abu Abdillah berkata: “Barang siapa yang mencela sahabat maka aku khawatir ia menjadi kafir seperti halnya orang-orang Rafidhah (Imamiyah). Kemudian beliau berkata: “Barang siapa mencela Sahabat Nabi SAW maka kami khawatir dia keluar dari Islam (tanpa disadari)”[5]. Ditegaskan kembali oleh beliau dan berkata: “Abdullah bin Ahmad bin Hambal bercerita kepada kami, katanya: “Saya bertanya kepada ayahku perihal seseorang yang mencela salah seorang dari Sahabat Nabi SAW. Maka jawabnya: “Saya berpendapat ia bukan orang Islam”[6].

Tersebut dalam kitab al-Sunnah karya Imam Abdullah bin Ahmad, mengenai pendapat beliau tentang golongan syiah Imamiyah: “Mereka itu adalah golongan yang menjauhkan diri dari sahabat Muhammad SAW dan mencelanya, menghinanya serta mengkafirkannya kecuali hanya empat orang saja yang tiada mereka kafirkan, yaitu: Ali, Ammar, Miqdad dan Salman. Golongan Rafidhah (Imamiyah) ini sama sekali bukan Islam” [7].

Ibnu Taimiyah

Dalam dua kitab yang dikarang oleh imam Ibnu Taimiyah “Majmu’ al-Fatawa” dan “al-Sarim al-Maslul”, beliau menguraikan dan merincikan sebab yang boleh menjadikan syiah Imamiyah kafir, beliau berkata: “Adapun seseorang yang mencela sahabat dengan kata-kata yang tidak sampai mengingkari kejujuran mereka dan agama mereka, seperti mengatakan bahwa ada sahabat yang bakhil, atau penakut, atau kurang ilmunya, atau tidak zuhud dan sejenisnya, maka orang semacam ini wajib mendapatkan pengajaran dan hukuman. Tetapi kita tidak menggolongkannya sebagai orang kafir, hanya karena perbuatan tersebut. Demikianlah yang dimaksud oleh pernyataan kalangan ulama yang tidak mengkafirkan orang-orang yang mencela sahabat” [8].

Dapat dipahami dari pandangan di atas, bahwa yang menyebabkan kafir orang-orang syiah adalah karena mereka meragukan kejujuran (‘adalah al-Sahabat) para sahabat, sehingga mereka melaknat dan mengkafirkan para sahabat tersebut.

Imam Bukhari

Beliau menegaskan kekafiran syiah Imamiyah dalam perkataannya: “Bagi saya sama saja, apakah aku shalat di belakang Imam beraliran Jahm atau Rafidhah (Imamiyah), atau aku shalat di belakang Imam Yahudi atau Nasrani. Dan (seorang muslim) tidak boleh memberi salam kepada mereka, mengunjungi mereka ketika sakit, kawin dengan mereka, menjadikan mereka sebagai saksi dan memakan sembelihan mereka” [9].

Imam Ibnu Qutaibah

Beliau berkata: bahwa sikap berlebihan golongan Syiah dalam mencintai Ali tergambar di dalam perilakunya dengan melebihkan beliau di atas orang-orang yang dilebihkan oleh Nabi dan para Sahabatnya. Mereka beranggapan bahwa Ali sebagai sekutu Nabi SAW dalam kenabian, dan para Imam dari keturunannya mempunyai pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib. Pandangan seperti itu dan banyak hal-hal rahasia lainnya menjadikannya sebagai perbuatan dusta dan kekafiran, kebodohan dan kejahilanan yang keterlaluan” [10].

Imam Abdul Qadir Al-Baghdadi

Beliau berkata :”Golongan Jarudiyah, Hisyamiyah, Jahmiyah, Imamiyah sebagai golongan pengikut hawa nafsu yang telah mengkafirkan sahabat-sahabat terbaik Nabi, maka menurut kami mereka adalah kafir. Menurut kami mereka tidak boleh disalatkan dan tidak sah bermakmum salat di belakang mereka” [11].

Imam Al-Qadhi Abu Ya’la

Beliau berkata: “Adapun hukum terhadap orang Rafidhah”, jika ia mengkafirkan sahabat atau menganggap mereka fasik yang berarti mesti masuk neraka, maka orang semacam ini adalah kafir” [12].

Imam Ibnu Hazm

Imam Ibnu Hazam menilai layak mengkafirkan syiah Imamiyah karena mereka mengkafirkan para sahabat dan mengatakan bahwa Al-Quran mushaf Utsmani palsu, beliau berkata: “Pendapat golongan Nasrani yang menyatakan bahwa golongan Rafidhah (Syiah Imamiyah) menuduh Al-Quran telah diubah, maka sesungguhnya dakwaan semacam itu menunjukkan golongan Syiah adalah bukan muslim”, karena golongan ini muncul pertama kali dua puluh lima (25) tahun setelah wafatnya Rasulullah. Ia merupakan golongan yang melakukan kebohongan dan kekafiran seperti yang dilakukan kaum Yahudi dan Nasrani. Salah satu pendapat golongan Syiah Imamiyah, baik yang dahulu maupun sekarang ialah Al Quran itu sesungguhnya telah diubah. Orang yang berpendapat bahwa Al- Quran ini telah diubah adalah benar-benar kafir dan mendustakan Rasulullah SAW” [13].

Dalam kitab beliau “Al Ihkam Fii Ushuuli Ahkaam” disebutkan bahwa: “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan semua kelompok umat Islam Ahlu Sunnah, Mu’tazilah, Murji’ah, Zaidiyah, bahwa adalah wajib berpegang kepada Al-Quran yang biasa kita baca ini “Dan hanya golongan Syiah ekstrem sajalah yang menyalahi sikap ini. Dengan sikapnya itu mereka menjadi kafir lagi musyrik, menurut pendapat semua penganut Islam. Dan pendapat kita sama sekali tidak sama dengan mereka (Syiah Imamiyah). Pendapat kita hanyalah sejalan dengan sesama pemeluk agama kita” [14].

Mengenai kepalsuan Al-Quran yang diyakini oleh syiah Imamiyah, Ibnu Hazam membantah keras dan berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah tidak pernah menyembunyikan satu kata pun atau satu huruf pun dari syariat Ilahi. Saya tidak melihat adanya keistimewaan pada manusia tertentu, baik anak perempuannya atau anak saudaranya yang lelaki atau istrinya atau sahabatnya, untuk mengetahui sesuatu syariat yang disembunyikan oleh Nabi terhadap bangsa kulit putih, atau bangsa kulit hitam atau penggembala kambing. Tidak ada sesuatu pun rahasia, perlambang ataupun kata sandi di luar apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah kepada umat manusia. Sekiranya Nabi menyembunyikan sesuatu yang harus disampaikan kepada manusia, berarti beliau tidak menjalankan tugasnya. Barang siapa beranggapan semacam ini, berarti sungguh ia telah kafir”[15].

Imam Al-Asfaraayaini

Telah diriwayatkan beberapa macam aqidah Syiah, misalnya: Mereka mengkafirkan sahabat, Al Quran telah diubah dari keasliannya dan terdapat tambahan serta pengurangan, mereka menantikan kedatangan imam ghaib mereka yang akan muncul untuk mengajarkan syariat kepada mereka ” beliau berkata: “Semua kelompok Syiah Imamiyah telah sepakat pada keyakinan sebagaimana kami sebutkan di atas.” Kemudian beliau menyatakan tentang hukum mereka sebagaimana dikatakannya: “Dalam keyakinan mereka semacam itu sama sekali bukanlah merupakan ajaran Islam dan hanya berarti suatu kekafiran. Karena di dalam keyakinan semacam itu tak ada lagi sedikit pun ajaran Islam yang tersisa” [16].

Imam Al-Ghazali

Beliau berkata: “Karena golongan Rafidhah (syiah Imamiyah) dalam memahami Islam itu lemah (dangkal), maka mereka melakukan kedurhakaan dengan membuat aqidah al Badaa’. Meriwayatkan dari Ali, bahwa beliau tidak mau menceritakan hal yang ghaib, karena khawatir diketahui oleh Allah, sehingga Allah akan mengubahnya. Mereka pun meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad, bahwa ia berkata: “Allah tidak mengetahui sesuatu kejadian di masa datang sebagaimana hanya pada peristiwa Ismail, yaitu peristiwa penyembelihannya. Aqidah semacam ini benar-benar suatu kekafiran, dan menganggap Allah itu bodoh dan mudah terpengaruh. Hal semacam ini mustahil, karena Allah itu ilmu-Nya Maha meliputi segala sesuatu” [17].  “Seseorang yang dengan terus terang mengkafirkan Abu Bakar dan Umar – semoga Allah meridhai mereka- maka ia telah menentang dan membinasakan ijma’ kaum muslimin. Padahal tentang diri mereka (para sahabat) ini terdapat ayat-ayat yang menjanjikan surga kepada mereka dan pujian bagi mereka serta mengukuhkan atas kebenaran kehidupan agama mereka, keteguhan aqidah mereka dan kelebihan mereka dari manusia-manusia lain. Kemudian kata beliau: “Bilamana riwayat yang begini banyak telah sampai kepadanya, namun ia tetap berkeyakinan bahwa para sahabat itu kafir, maka orang semacam ini adalah kafir. Karena ia telah mendustakan Rasulullah. Sedangkan orang yang mendustakan satu kata saja dari ucapan beliau, maka menurut ijma’ kaum muslimin orang tersebut adalah kafir” [18].

Tidak kalah penting dan bahaya, Umar bin Khaththab dan anaknya Abdullah bin Umar adalah perawi hadits bagi rukun Islam dan rukun Iman Ahli Sunnah, jika sekiranya keduanya dikafirkan oleh Syiah Imamiyah, maka di manakah kesahihan dan amalan Islam yang dipercayai Ahlu Sunnah? Hal  inilah yang membuat dasar penyesatan dan pengkafiran ulama Ahlu Sunnah terhadap golongan Syiah Imamiyah.

Lebih jauh lagi Profesor Dr. Abdul Mun’im Al-Namir (Mantan Menteri Waqaf Mesir) menegaskan pendapatnya tentang syiah di dalam muqaddimah bukunya yang bertajuk: “al-Syiah wa Al-Mahdi” yang berisi dialog beliau dengan Shekh Muhammad Ali Taskhiri (seorang ulama penyebar ide pendekatan antara Sunni dan Syiah).

Beliau berkata: ”Bismillaahir rahmaanir rahim, semoga selawat dan salam tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga dan para sahabat beliau, amma ba’du: Saya telah menjadikan dialog yang terjadi antara saya dengan Shekh Muhammad Ali Taskhiri sebagai muqaddimah cetakan keempat ini. Beliau adalah salah seorang ulama Iran yang sering menjadi utusan pemerintah Iran untuk menghadiri berbagai macam konferensi dan seminar tentang Islam. Beliau adalah ulama yang fasih dan luas ilmunya. Jika beliau berbicara dengan bahasa Arab, seolah-olah beliau adalah orang Arab asli. Dan memang sejak masih muda, beliau telah bertalaqqi di beberapa kota di Irak.

Pertemuan ini terjadi di kota Moscat, ibukota Kesultanan Oman. Tepatnya terjadi di area Universitas Sultan Qobus yang baru, luas dan megah yang terletak kurang lebih sekitar 40 km dari ibukota Moscat. Di sana berlangsung Seminar Fiqih Islam yang ditaja oleh kerajaan Oman dari tanggal 22-26 Sya’ban 1408 H atau bertepatan dengan tanggal 9-13 April 1988 M.  Seminar ini dihadiri banyak para ulama senior, para ahli fiqih Islam dan tokoh pergerakan Islam, misalnya Grand Syaikh Al-Azhar Jadul Haqq Ali Jadul Haqq (w.1996 M).

Di sana, ketika acara dimulai, saya bertemu dengan Syaikh Muhammad Ali Taskhiri. Kami pun bersalaman dan berbincang-bincang. Beliau mengingatkan saya bahwa pertemuan yang pertama adalah terjadi di acara Forum Pemikiran yang diadakan di kota Kosantin di Aljazair pada awal tahun 1980-an.

Di hari keduanya saat rehat seminar tersebut, kami keluar bersama beliau dan terjadilah dialog yang dimulai oleh beliau. Beliau berkata kepada saya, ”Anda telah menzhalimi kami ketika Anda menuduh kami bahwa kami telah berkata bahwa telah terjadi perubahan terhadap Al-Quran dan para sahabat yang telah mengumpulkannya telah membuang (menghilangkan) beberapa surat atau beberapa ayat, yaitu ayat tentang hak Ali sebagai pemimpin setelah Rasulullah SAW wafat.”

Saya jawab pertanyaan beliau ini, “Ya, memang saya telah menulis hal itu berdasarkan kepada kitab-kitab kalian”. Saya pun lalu menyebutkan nama-nama kitab-kitab mereka tersebut, salah satunya kitab “Fashlul Khithaab fii Itsbaati Tahriifi Kitaabi Rabbil Arbab”. Kitab ini ditulis oleh ulama besar Syiah, yaitu shekh Husein Al-Nuuri Al-Thabrasi pada abad ke-13 H. Kitab ini dicetak di Iran pada tahun 1298 H. Saya hanya menukil apa yang tercantum di dalam kitab ini. Bagaimana mungkin saya dianggap telah menzalimi kalian, karena semua yang saya sebutkan di dalam masalah ini adalah bersumber dari kitab-kitab kalian yang telah diakui oleh para ulama kalian. Dan kalian pun memberikan penghormatan yang tinggi kepada penulis kitab ini pada saat dia meninggal dunia pada tahun 1232 H. Beliau ini dikuburkan di Najaf, Iraq, sebuah tempat agung menurut orang-orang Syiah, di dekat kuburan Imam Ali Al-Murtaza”.

Beliau berkata, ”Kitab ini tidak ada apa-apanya. Saya sendiri meletakkan kitab ini di bawah kaki saya (beliau menghentakkan kakinya ke tanah) sambil marah”. Saya berkata kepada beliau, ”Mengapa kalian diam saja pada saat kitab ini menceritakan tentang kalian jika memang seperti itu?, Mengapa pula kalian tidak mengumumkan jika kalian tidak mengakui isi kitab tersebut? Dan mengapa kalian menyebarkan kitab ini ke seluruh penjuru dunia, sehingga saya dan ulama yang lain pun tahu bahwa kitab ini tidak mewakili ajaran mazhab kalian. Apakah ada sebuah keterangan yang dirilis oleh pemimpin tertinggi Syiah pada saat ini (Ayatullah Khumaini) bahwa isi kitab-kitab Syiah adalah tidak benar, seperti kitab Al-Nuur Al-Thabrasi ini. Contoh lainnya tentang kebiasaan mencela para sahabat yang telah mengumpulkan Al-Quran bahwa mereka itu telah mengubahnya. Sebaiknya seluruh tuduhan ini dihapus dari kitab kalian itu pada saat akan dicetak ulang. Apakah kalian merasa berat melaksanakan ini semua?”.

Kalian tidak melaksanakan satu dari tuntutan kami ini. Karena saya tahu jika sebagian dari para ulama kalian telah berlepas diri di dalam pengajian-pengajian mereka dari tuduhan bahwa Al-Quran telah diubah. Akan tetapi pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang telah menuduh bahwa para sahabat telah mengubah-ubah Al-Quran. Mengapa pula kalian tidak membuat pernyataan untuk seluruh rakyat yang membaca kitab ini yang berisi penolakan kalian atas tuduhan ini?

Beliau lalu berkata kepada saya, ”Anda telah membicarakan mengenai ucapan yang mengatakan bahwa kami mempunyai mushaf Fathimah. Padahal kami tidak pernah mengatakan seperti ini”. Saya pun berkata kepada beliau, ”Ya, rujukan utama kalian telah mengatakan bahwa wahyu Allah SWT juga turun kepada Fatimah setelah orang tuanya (Rasulullah SAW) wafat. Dan Ali RA adalah pencatat wahyu tersebut sampai terkumpul dan di kemudian hari disebut dengan Mushaf Fatimah.”

Saya baru tahu akan masalah ini setelah saya memperhatikan khutbah Imam Khumaini yang disiarkan oleh radio Teheran. Beliau telah berkata di dalam khutbah tersebut yang mana khutbah tersebut diadakan pada perkumpulan para wanita pembesar Iran pada acara peringatan lahirnya Fatimah. Imam Khumaini berkata: ”Sesungguhnya saya tidak kuasa untuk bercerita tentang Siti Fatimah. Akan tetapi cukuplah dengan sebuah riwayat yang tercantum di dalam kitab Al-Kaafi”. Beliau pun menceritakan riwayat ini di depan para istri pembesar Iran.

Kitab Al-Kaafi yang ditulis oleh Imam Al-Kulaini adalah kitab Syiah yang sepadan dengan Kitab Al-Bukhari di kalangan Ahlu Sunnah. Hal inilah yang memaksa saya pergi ke kota Najaf untuk bertemu dengan salah seorang ulama besar Syiah. Di sana saya bisa melihat-lihat isi kitab tersebut yang merupakan cetakan Iran yang terdapat di perpustakaan pribadi miliknya.

Saya telah mencantumkan di dalam buku saya tentang juz dan bab yang menerangkan tentang turunnya wahyu kepada Fatimah dan mushafnya secara jelas. Apakah dengan ini saya dianggap telah melukai dan menzalimi kalian gara-gara saya melampirkan seluruh isi buku saya dari sumber rujukan yang paling valid menurut kalian berikut dengan teksnya?

Beliau berkata, ”Kitab-kitab itu adalah kitab murahan dan tidak valid!” Saya bertanya kepada beliau, ”Tapi, mengapa kalian menyebarkan kitab ini (kitab Al-Kaafi) ke seluruh penjuru dunia, sampai ke Amerika. Bahkan kalian telah menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris agar mudah dibaca oleh semua orang yang paham bahasa Inggris di Barat dan di Timur!, saya sendiri mempunyai cetakan terbaru yang sudah diterjemahkan. Apakah dengan ini semua bisa dikatakan jika kitab Al-Kaafi ini adalah kitab hebat menurut kalian? Sebab kalian telah berupaya keras dan mengeluarkan dana yang cukup besar untuk mencetak dan menerjemahkannya sampai mencapai ratusan ribu eksemplar untuk disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia sebagai sarana propaganda mazhab kalian. Apakah kalian merasakan hal ini?”.

Beliau berkata, ”Di dalam kitab-kitab tafsir kalian terdapat banyak kisah-kisah Israiliyat. Apakah hal ini bermakna bahwa kalian (Ahlu Sunnah) juga mengakui keabsahannya?”.

Saya jawab, ”Memang benar, di dalam kitab-kitab tafsir kami banyak riwayat Israiliyat dan hadis-hadis yang tidak sahih. Akan tetapi sebagian para ahli tafsir mengingatkan hal ini dan mereka juga mengakui jika riwayat-riwayat tersebut adalah riwayat dusta. Kami sekarang ini sedang memberantas riwayat-riwayat Israiliyat tersebut. Kami sedang menulis beberapa kitab yang menjelaskan hal tersebut dan memperingatkan orang yang membacanya agar jangan mempercayai riwayat-riwayat dusta tersebut. Sebagian para ulama ada yang berusaha untuk mengoreksi dan membuang riwayat-riwayat Israiliyat, hadis-hadis palsu dan hadis-hadis yang tidak shahih. Dibandingkan dengan kalian, kami lihat kalian terus memperbaharui cetakannya dan anehnya dikemudian hari kalian mengatakan jika kitab tersebut tidak ada apa-apanya? Bahkan kalian juga menerjemahkannya dan mengirimkannya ke berbagai negara!. Mana yang dapat kami percayai? Apakah ucapan yang tidak memiliki dalil apa pun ataukah kenyataan yang merupakan dalil yang sangat kuat?”.

Di hari kedua dari pertemuan di pagi hari, ada seorang dari saudara saya dari kalangan para ulama yang memberitahu saya bahwa Shekh Ali Taskhiri terserang serangan jantung dan telah dibawa ke Rumah Sakit Sultan. Saya menyesal, mungkin saja saya yang menyebabkan serangan jantung ini. Akhirnya, saya secepatnya pergi ke melawatnya di rumah sakit untuk melihat keadaan kesehatannya. Di rumah sakit, saya melihat beliau telah sadar dan sedang berbaring di atas ranjangnya. Saya pun merasa tenang setelah saya tahu bahwa penyebab ini semua adalah luka di usus dua belas jarinya yang semakin parah. Beliau pun telah minum obat. Pada saat kami sedang berbincang-bincang dengan beliau, datanglah Menteri Luar Negeri Iran, yaitu Ali Akbar Wilayati menjenguk beliau. Menteri bersalaman dengan kami. Di rumah sakit saya duduk sebentar dan kemudian saya berpamitan agar keduanya (Menteri dan Sheikh)  dapat berbincang dengan selesa.

Pada hari kedua Dr. Muhammad Al-Ahmadiy Abu Al-Nur mengajak saya untuk menjenguk Shekh kali kedua di rumah sakit. Pada saat tiba di rumah sakit, kami melihat kamar Shekh telah kosong dari para pelawat. Teman saya ini mengajak saya untuk melanjutkan dialog. Saya berkata kepadanya, ”Sekarang tema perbincangan kita tentang tempat suci. Bagaimana yang kalian lakukan di dalam tempat suci yang perbuatan tersebut tidak pernah diterima oleh kaum muslimin?”.

Beliau menjawab, ”Sesungguhnya Imam Khumaini memerlukan sebuah fatwa syariah Islam dari para ulama Ahlu Sunnah. Dan beliau pasti akan menyambutnya!”.

Saya katakan kepada beliau, ”Apakah tema tentang keselamatan kota suci (Mekah) perlu fatwa, padahal sudah ada nash ayat yang jelas yang menguatkan tentang keselamatan kota suci Mekah. Misalnya firman Allah SWT, ”Barang siapa memasukinya (Baitullah) selamat lah dia,” (QS Ali Imran [03]: 97). Setelah Allah SWT memberikan rasa aman dan selamat kepada seluruh makhluk yang berada di tanah suci sampai kepada burung-burung dan pepohonan, dan juga dilarang berbalah pendapat di area tersebut, apakah setelah ini semua kita memerlukan fatwa dari seseorang? Apakah usaha mendatangkan orang-orang yang siap meledakkan dirinya bersama jemaah haji Iran, kemudian mereka melakukan demonstrasi meneriakkan yel-yel nama imam Khumaini, mereka memblokir jalan-jalan dan mengganggu pengguna jalan. Mereka bergerak menuju tanah suci yang pada saat itu sedang dipadati oleh jemaah haji. Jumlah mereka mencapai sepuluh ribu orang yang terlihat ganas. Hasil dari ini semua sudah bisa diketahui. Apakah perilaku ini sesuai dengan jaminan keamanan yang Allah SWT minta dari kita, yaitu kita harus menjaga keamanan kota suci (Mekah)?”.

Wahai saudaraku … sengaja saya menyebutkan kejadian ini kepadamu agar pengetahuanmu terhadap buku saya ini bertambah. Juga agar kita semua tahu akan tabiat dan tingkah laku orang-orang yang kita sering bergaul dengan mereka. Kami semua adalah kaum muslimin dari kalangan bangsa Arab. Hanya Allah SWT yang mampu memberikan petunjuk-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya! [19].

Untuk renungan bagi syiah Imamiyah yang menyesatkan dan mengkafirkan sahabat, kalau seseorang itu dianggap sebagai musuh, apakah akan menamakan anak-anaknya -laki maupun perempuan- seperti nama musuh-musuhnya? Jawabannya tentu tidak. Namun ternyata ada lima imam dari 12 salasilah imam syiah Imamiyah rela menamakan anak-anak mereka dengan nama “Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Aisyah”. Seperti yang disebutkan dalam kitab syiah sendiri yaitu “Kasyfu al-Ghummah fi Ma’rifat al-Aimmah” dikarang oleh shekh Abu Al-Fath Al-Arbili.  Dan secara  ringkasnya, Imam Ali RA menikah dengan beberapa wanita selepas kematian Fatimah Al-Zahrah RA[20], di antara yang menamakan nama putranya dengan nama para sahabat adalah:

- Ali bernikah dengan Ummul Banin bintu Hizam Ibnu Darim. Kemudian memperoleh anak bernama Usman bin Ali, Abbas bin Ali, Abdullah bin Ali dan Jaafar bin Ali.
- Ali bernikah dengan Laila binti Mas’ud Al-Darimiyah dan memperoleh cahaya mata bernama Abu Bakar bin Ali dan Ubaidillah bin Ali.
- Ali bernikah dengan Ummu Habib binti Rabi’ah dan memperoleh cahaya mata bernama Umar bin Ali dan Ruqayyah binti Ali.
- Ali bernikah dengan Al-Suhba’ binti Rabi’a bin Taghlab dan memperoleh cahaya mata bernama Umar bin Ali.

Kemudian dari anak-anak Ali juga menamakan anak-anak mereka seperti berikut:

- Dari 8 anak laki-laki Imam Hasan bin Ali (beliau sebagai imam ke 2/wafat 49 H), beliau namakan seorang putranya “Umar bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib”.
- Dari 17 anak perempuan imam Musa bin Ja’far Al-Kazim (beliau sebagai imam ke 7/wafat 183 H), seorang putrinya diberi nama “Aisyah binti Musa bin Ja’far Al-Kazim”.
- Satu satunya anak perempuan imam Ali bin Musa Al-Ridza (beliau sebagai imam ke 8/wafat 203 H) diberi nama “Aisyah binti Ali bin Musa Al-Ridza”.
- Satu satunya anak perempuan imam Ali bin Muhammad Al-Hadi (beliau sebagai imam ke 10/wafat 254 H) diberi nama “Aisyah binti Ali bin Muhammad Al-Hadi”.

Kesimpulan/Penutup

Setelah tamatnya penulisan ini, penulis ingin menyimpulkan bahwa Syiah tidak semuanya sesat dan tidak semuanya kafir. Sebelumnya telah diterangkan bahwa syiah yang kafir sebagaimana kesepakatan semua ulama (Sunni, Mu’tazilah, syiah Zaidiah dan Imamiyah) adalah syiah Ismailiah Batiniah. Adapun syiah Zaidiah adalah syiah yang paling dekat dengan Sunni, ulama Ahlu Sunnah berbeda tanggapan dan pandangan terhadap syiah Imamiyah atau sering disebut sebagai syiah imam 12. Walau bagaimanapun Syiah lebih awal menyesatkan dan mengkafirkan Sunni, sehingga menjadi perkara yang wajar kalau sebahagian ulama Sunni mengatakan bahwa syiah Imamiyah adalah kafir atau sekurang-kurangnya mereka sesat, ini disebabkan karena syiah Imamiyah Itsna’Asyariah sendiri yang menyesatkan dan mengkafirkan para sahabat Rasulullah SAW, seperti Abu Bakar, Umar dan Usman. Mereka menzahirkan laknat kepada para sahabat  tersebut baik dalam doa saat ziarah maqam imam Husain, atau dalam banyak karya-karya ulama mereka yang dipenuhi dengan cacian dan makian kepada orang-orang yang berada di sekeliling Nabi SAW, dan hanya sedikit sahaja yang mereka tidak kafirkan yaitu: Ali, Ammar, Miqdad dan Salman.

Imam Mahdi Dari Perspektif Ahlu Sunnah Wal Jamaah

Pemikiran Imam Mahdi adalah persoalan yang rumit dan sukar diuraikan jika ianya dilihat dari segi ilmu sosiologi modern.  Sebab ada terdapat pelbagai tanggapan dan tafsiran yang dapat dirumuskan daripada setiap pengakuan yang dibuat oleh para ulama dan sarjana. Sehingga masalah ini menjadi masalah yang paling kontroversi di kalangan umat Islam sejak dahulu hingga kini. Bahkan dalam sejarah perjalanan dunia, terdapat individu tertentu sengaja mengeksploitasi konsep imam Mahdi ini demi kepentingan dan kemaslahatan sendiri, sehingga sikap ini akan menimbulkan masalah dan keresahan serta cabaran bagi ulama Akidah atau pengkaji dan pemerhati isu-isu Akidah Islam dari dahulu hingga sekarang.

Di samping itu persoalan Imam Mahdi adalah masalah am/universal dan melibatkan semua agama-agama di dunia, sama ada agama samawi atau konvensional. Hal ini dikarenakan Imam Mahdi itu adalah pemimpin dunia secara keseluruhan, pemimpin bagi seluruh manusia, bukan sekadar pemimpin umat Islam atau sekelompok manusia saja.

Dari perspektif Islam, pemikiran tentang imam Mahdi adalah merupakan bagian dari permasalahan agama dalam akidah Islam, Ahlu Sunnah wal Jamaah dan Syiah sepakat bahwa imam Mahdi akan muncul di akhir zaman, namun bedanya, Sunni menganggap persoalan imam Mahdi sebagai cabang permasalahan akidah “Furu’ al-Akidah al-Islamiah”, oleh karena itu –dalam lembaran buku ini- tidak heran kalau dikalangan Ahli Sunnah wal Jamaah terdapat pandangan yang menolak keras konsep imam Mahdi, sebab ianya hanya sepakat persoalan cabang dalam akidah Ahli Sunnah wal Jamaah, sehingga tidak perlu dibincangkan secara mendalam dan serius, sementara Syiah menjadikannya sebagai asas Akidah Islam “Usul Akidah Islamiah”. Maka perbincangan ini adalah asa di dalam agama dalam bab “Imamah”.

Dari sini, menurut Syiah orang yang tidak percaya dengan imam Mahdi sama halnya ingkar kepada kewujudan Rasul dan para imam-imam Syiah yang ma’sum, dalam kitab syiah “Ikmal al-Din” disebutkan sebuah  hadis:

“مَنْ أَنْكَرَ الْقَائِمَ مِنْ وَلَدِيْ فَقَدْ أَنْكَرَنيِ”

“Siapa yang ingkar atas al-Qaaim –imam Mahdi- dari keturunanku, maka ia ingkar terhadap kenabianku” [1].

“مِثْلُ مَنْ أَنْكَرَ الْقَائِمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ فيِ غِيْبَتِهِ مِثُلَ إِبْلِيسٍ فيِ امْتِنَاعِهِ فيِ السُّجُوْدِ لآدَم”

“Orang yang mengingkari bahwa al-Qaaim- imam Mahdi ghaib (menghilang), ia sama halnya Iblis yang menolak untuk bersujud di hadapan nabi Adam” [2].

Dari sinilah akidah “Mahdiyyah” dalam tradisi Syiah merupakan sebuah prinsip keyakinan yang wajib didedahkan, diwar-warkan dan dipertahankan bahwa di penghujung zaman nanti pasti akan muncul seorang tokoh berasal dari keturunan Ahlul-Bait yang akan menegakkan kebenaran ajaran syiah, memberantas segala bentuk kecurangan, dan mengadakan pemerataan keadilan. Ia akan memegang kekuasaan tertinggi di dunia Islam dan menjadi ikutan umat manusia. Dengan kata lain tokoh tersebut adalah “penyelamat dunia”.

Definisi Imam Mahdi

Dari sekian banyaknya tanda-tanda peristiwa besar datangnya hari akhirat atau kiamat, salah satunya adalah misteri akan datangnya Imam Mahdi, dan ianya dianggap sebagai tanda berakhirnya perjalanan alam dunia bagi umat manusia.

Kehadiran Imam Mahdi akan membuat murka raja kezaliman yang disebut Dajjal sehingga ia keluar dari persembunyiannya dan berusaha membunuh Imam Mahdi serta pengikutnya. Saat itulah Nabi Isa a.s. turun kembali ke bumi dan bersama-sama Imam Mahdi menghancurkan Dajjal dan pengikutnya.

Imam (إِمَامٌ) dalam bahasa Arab diartikan sebagai pemimpin dalam agama Islam[3]. Dikalangan Sunni, kalimat imam sinonim dengan kalimat Khalīfah (خَلِيْفَةٌ)[4]. Dalam berbagai keadaan kalimat imam juga bisa berarti pemimpin dalam ibadah shalat berjamaah, dan kalimat imam juga bisa digunakan untuk gelaran bagi para ulama, ilmuwan dan intelektual Islam yang terkenal dan hebat. Seperti imam empat mazhab Ahlu Sunnah wa al-Jamaah (اَلأَئِمَّةُ الأَرْبَعَةُ), yaitu: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Al-Mahdi (اَلْمَهْدِي), Mahdi berarti “orang yang diberi petunjuk”, dalam bahasa Arab mahdi masuk dalam kategori isim maf’ul, Imam Mahdi sebenarnya adalah sebuah “nama gelaran” sebagaimana halnya dengan gelaran khalifah, amirul mukminin, dan sebagainya.

Gelaran-gelaran Imam Mahdi

Ahli Sunnah tidak memiliki banyak gelaran bagi imam Mahdi, berbeda dengan syiah, dalam literatur mereka ditemui banyak istilah-istilah yang dilekatkan pada diri imam Mahdi[5], seperti berikut:

- Al-Qaim (اَلْقَائِمُ), bermakna “pelaksana atau penjaga hari kiamat”. Salah satu nama website Syiah Imamiah diberi nama Al-Qoim.
- Al-Ghaib (اَلْغَائِبُ), bermakna “imam orang yang hilang”.
- Sohib al-Zaman (صَاحِبُ الزَّمَانِ), bermakna “pemilik zaman”.
- Sohib al-Adwar (صَاحِبُ الأَدْوَارِ), bermakna “pemilik pusingan dunia”.
- Baqiyatullah (بَقِيَّةُ اللهِ), bermakna “Baqi Allah”. Bahkan ada satu majalah Syiah di Lebanon dinamakan majalah “Baqiyatollah".

Dengan demikian Imam Mahdi dapat diartikan secara bebas bermakna “pemimpin yang telah diberi petunjuk”. Namun secara spesifik, sesuai dengan hadis Nabi saw:

يَخْرُجُ فِي آخِرِ أُمَّتِي الْمَهْدِيُّ

“Al-Mahdi akan keluar di akhir kehidupan umatku” (Jalaluddin al-Suyuti, Jami’ al-Ahadis, no: 26677)

يَكُونُ فِى أُمَّتِى الْمَهْدِىُّ

“Akan ada pada umatku Al Mahdi” (Sunan Ibnu Majah, no: 4073).

إِنَّ فِي أُمَّتِي الْمَهْدِيَّ

“Imam Mahdi akan muncul di tengah-tengah umatku” (Sunan al-Tirmizi, no: 2158).

Ke semua hadis di atas bermakna seorang Imam Mahdi yang merupakan pilihan Allah swt akan diutus untuk menghancurkan semua kezaliman dan menegakkan keadilan di muka bumi sebelum datangnya hari kiamat. Dengan demikian Istilah Imam Mahdi merupakan perkataan yang berasal dari bahasa Arab dan terdiri dari dua kata yaitu “Imam” yang artinya pemimpin dan “Mahdi” yang bermakna seorang yang mendapat petunjuk. Jadi secara bebas imam mahdi dapat diartikan seorang pemimpin yang mendapat petunjuk.

Gelaran ini atau al-Mahdi, pernah ditampalkan oleh Rasulullah saw kepada empat khalifah, yaitu: Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Talib.

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ

“Maka berpegang teguhlah dengan sunnahku (ajaranku) dan sunnah para khulafa al-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk”. (Al-Baihaqi, sunan al-Kubra, no: 20835)

Ibnul Atsir menjelaskan bahwa yang dimaksud al-Mahdi dalam hadis di atas adalah orang yang diberi petunjuk pada kebenaran agama. Gelaran al-Mahdi kadang menjadi nama orang bahkan sudah seringkali digunakan seperti itu. Begitu pula al- Mahdi juga bermakna orang yang dikhabarkan oleh Rasulullah saw dan akan muncul di akhir zaman. Juga al-Mahdi dapat dimaksudkan dengan Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhum. Bahkan al-Mahdi juga boleh bermakna lebih luas dari itu semua, yaitu siapa saja yang mengikuti jalan hidup mereka dalam beragama” [6].

Nampaknya sebutan “al-Mahdi” memang merupakan tingkatan khusus dan istimewa di akhirat kelak, sehingga Rasulullah saw pernah mendoakan mayat Abu Salamah supaya dapat bersama disisi “insan-insan al-Mahdiyyin”, seperti dalam hadis di bawah:

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى أَبِى سَلَمَةَ وَقَدْ شُقَّ بَصَرُهُ فَأَغْمَضَهُ ثُمَّ قَالَ:(إِنَّ الرُّوحَ إِذَا قُبِضَ تَبِعَهُ الْبَصَرُ). فَصَيَّحَ نَاسٌ مِنْ أَهْلِهِ فَقَالَ :(لاَ تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ بِخَيْرٍ فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ يُؤْمِنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ). ثُمَّ قَالَ :(اللَّهُمَّ اغْفِرْ لأَبِى سَلَمَةَ وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فِى الْمَهْدِيِينَ، وَاخْلُفْهُ فِى عَقِبِهِ فِى الْغَابِرِينَ، وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ، اللَّهُمَّ أَفْسِحْ لَهُ فِى قَبْرِهِ وَنَوِّرْ لَهُ فِيهِ).

Rasulullah s.a.w masuk melihat jenazah Abi Salamah, yang matanya terbuka, lalu baginda menutupkannya. Kemudian baginda bersabda: sesungguhnya ruh apabila dicabut akan dituruti oleh mata. Maka menangislah keluarganya. Lalu baginda Nabi saw bersabda: janganlah kamu menyeru atas diri kamu melainkan yang baik baik, sesungguhnya malaikat mengaminkan apa yang kamu katakan. Kemudian baginda berdoa: Ya Allah ampunkanlah Abi Salamah, dan tinggikanlah derajatnya di kalangan orang yang mendapat petunjuk … dan ampunkanlah kami dan dia wahai Tuhan sekalian alam, lapangkanlah kuburnya dan terangkanlah dia di dalamnya (Sunan Abi Daud, no: 2711).

Tatkkala Jarir bin Abdullah bin al-Bajalli susah payah mengendalikan binatang yang dikendarainya, Rasulullah saw mendoakannya, sebagaimana disebutkan dalam hadis di bawah:

عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: مَا حَجَبَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنْذُ أَسْلَمْتُ وَلَا رَآنِي إِلَّا تَبَسَّمَ فِي وَجْهِي وَلَقَدْ شَكَوْتُ إِلَيْهِ أَنِّي لَا أَثْبُتُ عَلَى
الْخَيْلِ فَضَرَبَ بِيَدِهِ فِي صَدْرِي فَقَالَ اللَّهُمَّ ثَبِّتْهُ وَاجْعَلْهُ هَادِيًا مَهْدِيًّا

Dari Jarir r.a berkata: “Rasulullah saw tidak pernah menghalangiku (masuk rumahnya) sejak aku memeluk Islam dan beliau selalu tersenyum saat melihatku”. Dan suatu ketika saya mengadu kepada beliau bahwasanya saya tidak bertahan di atas kuda, maka beliau memegang pundakku dan berdoa untukku: Ya Allah, tetapkanlah dia dan jadikanlah dia yang memberi petunjuk dan yang dapat petunjuk (Bukhari, no: 2797).
Bahkan di antara doa yang selalu diminta dan dipanjatkan oleh Nabi saw, berbunyi seperti berikut:

اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الْإِيمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مَهْدِيِّينَ

Ya Allah, hiasilah kami dengan iman, dan jadikanlah kami sebagai penunjuk (jalan) yang lurus yang memperoleh bimbingan dari-Mu (Musnad Ahmad, no: 18325). Terkadang juga perkataan Imam Mahdi ditambah dengan kalimat “al-Muntadzar”, bermakna utusan yang ditunggu kedatangannya, dan perkataan ini berdasarkan hadis Rasulullah saw:

لَوْلَمْ يَبْقَ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ يَوْمٌ لَطَوَّلَ اللهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ حَتَّى يَبْعَثَ رَجُلاً مِنْ أَهْلِيْ يُوَاطِىءُ اِسْمَهُ اِسْمِيْ وَاِسْمَ أَبِيْهِ اِسْمَ أِبِيْ يَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلاً كَمَا مَلِئَتْ ظُلْمًاوَجْوْرًا

”Andai dunia hanya tersisa satu hari saja, pasti Allah akan memanjangkan hari itu, sampai Dia (Allah) mengutus seorang laki-laki dariku atau dari keluargaku yang namanya sama dengan namaku dan nama ayahnya sama dengan nama ayahku. Ia memenuhi bumi dengan kebijakan dan keadilan, sebagaimana ia (bumi) telah di penuhi dengan kesewenang-wenangan dan kezaliman sebelum itu”. (Abu Dawud, sahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, no. 5180). Bagi Syiah Imamiyah menantikan kedatangan imam Mahdi adalah merupakan satu ibadah yang terbaik (Afdal)[7]. Bahkan pahalanya sama dengan pahala orang yang mati syahid di dua peperangan Rasulullah saw yaitu: Badar dan Uhud, sebagaiaman dikatakan oleh imam Ali Zainal Abidin:

عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْن زَيْنَ الْعَابِدِيْن (عليه السلام) قَالَ: “مَنْ ثَبَتَ عَلَى  مُوَالاَتِنَا فيِ غَيْبَةِ قَائِمِنَا أَعْطَاهُ اللهُ أَجْرَ أَلْفِ شَهِيْدٍ مِثْلُ شَهَدَاءِ بَدْرٍ وَأُحدٍ

Dari Ali bin Al-Husein Zainal Abidin as berkata: “Barang siapa yang tetap teguh pada imam Mahdi yang ghaib, maka Allah akan memberinya seribu pahala orang yang mati syahid, sebagaimana pahala para syuhada perang Badar dan perang Uhud”[8].

Dengan demikian, Rasullullah saw mengisyaratkan bahwa Imam Mahdi pasti akan datang di akhir zaman. Ia akan memimpin umat Islam keluar dari kegelapan dan kezaliman serta kesewenang-wenangan menuju cahaya keadilan dan kejujuran yang menerangi dunia seluruhnya. Ia akan menghantarkan manusia untuk menegakkan kepemimpinan/kekhalifahan Islam sebenar, yaitu mengikuti manhaj, sistem atau metode kepimpinan Nabi saw.

Dalam pandangan Sunni, tiada satupun kalimat ayat al-Quran yang menjelaskan ataupun menyatakan secara jelas ataupun tegas tentang masalah imam mahdi yang kita akan bincangkan dalam buku ini, jutru yang membincangkan masalah imam mahdi adalah hadis-hadis Rasulullah saw. Adapun dalam Al Quran, jutru penjelasan tentang hidayah sangat luas dan mutlak, sesuai dengan nama asma Allah sebagai (اَلْهَادِيْ) pemberi petunjuk, al Quran hanya menjelaskan tentang perkara-perkara mengenai hakikat hidayah, cara mendapatkan hidayah, tingkatan-tingkatan hidayah, orang-orang yang layak mendapatkan hidayah dan sebagainya. Sebagaimana firman Allah swt:

كَيْفَ يَهْدِي اللَّهُ قَوْمًا كَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ وَشَهِدُوا أَنَّ الرَّسُولَ حَقٌّ وَجَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Bagaimana Allah akan memberi petunjuk hidayah kepada sesuatu kaum yang kufur ingkar sesudah mereka beriman, dan juga sesudah mereka menyaksikan bahwa Rasulullah saw itu adalah benar, dan telah datang pula kepada mereka keterangan-keterangan yang jelas nyata. Dan (ingatlah), Allah tidak akan memberikan petunjuk hidayahNya kepada kaum yang zalim”. (Al-Imran, 86).

Firman Allah di atas menunjukkan beberapa hal:

1. Orang yang murtad tidak akan mendapat naungan dan petunjuk Allah. Bahkan mereka akan mendapat la’nat dari Allah, Malaikat dan semua manusia, serta tidak akan mendapat pengurangan atau keringanan siksa api neraka.

2. Murtad termasuk kezaliman yang amat besar dan berat balasannya yaitu neraka, sebab murtad bukan hanya meragukan kebenaran Islam, tapi juga telah mempermainkan agama. Mereka juga telah melecehkan petunjuk Rasulullah saw.

3. Murtad kali pertama dan kali kedua ada kemungkinan untuk diterima taubatnya. Dengan cara bersegera taubat, memperbaiki diri, meningkatkan dan mempertebal kembali keimanannya dengan disiplin melaksanakan syari’ah. Namun kalau murtad untuk ketiga kali tidak akan diterima taubatnya.

اَللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَاغَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (al-Nuur: 35).

Firman Allah di atas menjelaskan tentang cahaya Allah swt yang amat terang di hadapan manusia, namun tidak semua orang dapat merasakannya dan memandangnya. Sebab bagi orang yang hatinya masih dipertuankan oleh dunia/nafsu semata, yang memandang bahwa kemuliaan hanya semata pada nilai materi yang dimiliki, rumah yang indah, cantik dan besar, mobil yang mewah dan elegan, pakaian yang mahal dan branded, tidak mungkin dapat menangkap cahaya Allah tersebut. Hanya hati yang bersih saja yang mampu mencapai ketenangan jiwa.

يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus”. (Al-Maidah: 16).
Maksud ayat ini, bahwa hidayah merupakan nur “cahaya” dalam hati, betapa bahagianya seseorang yang dapat merasakan dan meraih kenikmatan tersebut. Hidup akan terasa tenang, damai, tenteram, dan sejahtera. Semua itu adalah karunia Allah swt semata dan untuk meraih itu semua diperlukan usaha yang ikhlas mencari dan mengejarnya dalam setiap aktivitas kehidupan. Janji Allah, akan membukakan pintu-pintu hidayahnya bagi mereka yang sememangnya mengikuti keredaan Allah swt.

Tingkatan Hidayah:

Al-Fairuz Abadi menjelaskan bahwa hidayah yang diberikan Allah  untuk manusia ada empat tingkatan:

1. Hidayah yang diberikan oleh Allah swt kepada seluruh makhluk mukallaf (jin dan manusia), seperti akal pikiran manusia, kecerdasan intelektual, dan pengetahuan tentang hal-hal yang bersifat asas dan darurat. Ini sebagaimana firman Allah swt:

قَالَ رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى

“Musa berkata: Tuhan kami yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.” (Thaha: 50)

2. Hidayah yang dianugerahkan Allah swt kepada para Anbiya untuk dijelaskan dan disampaikan kepada manusia dan jin, sebagaimana firman Allah swt:

وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا

“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami.” (al-Anbiya: 73).

3. Hidayah berupa taufik untuk tunduk dan mengikuti kebenaran. Hidayah ini dikhaskan bagi hamba yang beriman dan menerima syariat Allah swt. Sebagaimana firman Allah swt:

وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ

“Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (al-Taghabun: 11).

4. Hidayah untuk masuk ke dalam surga pada hari kiamat nanti. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah swt:

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ

“Segala puji bagi Allah yang telah memberi hidayah kami ke (Surga) ini, dan kami tidak akan mendapat hidayah (ke Surga) kalau sekiranya Allah tidak menunjukkan kami” (al-A’raaf: 43).

Sebagai catatan dalam tingkatan hidayah, bahwa keempat tingkatan atau peringkat hidayah tersebut diraih secara bertahap. Sehingga seorang hamba Allah swt yang belum mencapai peringkat kedua tidak akan mampu naik pada pada peringkat hidayah ketiga. Demikian halnya untuk mencapai hidayah pada peringkat keempat, ianya mesti melalui peringkat sebelumnya atau yang ketiga.

Memang diakui bahwa hidayah Allah swt amat susah mencapainya, dan tidak mudah turun kepada makhluk ciptaanNya, sehingga dalam sejarah, Nabi Ibrahim as sendiri tidak dapat mengajak ayahnya untuk menerima hidayah. Nabi Nuh as tidak mampu mengarahkan anaknya ke jalan yang lurus. Nabi Luth dimusuhi oleh istrinya sendiri. Nabi Muhammad saw yang telah berusaha sekuat tenaga agar pamannya Abu Thalib mau menerima hidayah akhirnya pun harus menerima kenyataan bahwa pamannya meninggal di atas kekafiran. Sungguh di antara firman Allah swt yang harus selalu diingat oleh seorang penyeru hidayah adalah ayat berikut:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (al-Qashash: 56)

لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya”. (al-Baqarah: 272)

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Sungguh engkau (Muhammad) adalah pemberi petunjuk ke jalan yang lurus” (Al-Syura: 52)

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ

Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. dan Barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. (al-An’am: 125)

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (al-Maidah: 67)

إِنْ تَحْرِصْ عَلَى هُدَاهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ يُضِلُّ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ

“Jika kamu sangat mengharapkan agar mereka dapat petunjuk, Maka Sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya, dan sekali-kali mereka tiada mempunyai penolong”. (Al-Nakhl: 37)

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”. (Ibrahim: 4)

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan”. (Al-Nakhl: 93)

وَكَذَلِكَ أَنْزَلْنَاهُ آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ وَأَنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يُرِي

“dan Demikianlah Kami telah menurunkan Al Quran yang merupakan ayat-ayat yang nyata, dan bahwasanya Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki”. (Al-Hajj: 16)

Dengan demikian, hidayah itu di tangan Allah, Dia memberi hidayah pada siapa yang dikehendaki-Nya dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya. Lihatlah nabi Nuh, walaupun dia seorang nabi, namun dia tidak mampu memberi hidayah pada anaknya. Begitu juga dengan nabi Ibrahim, ia tidak dapat menyelamatkan Ayahnya dari kemusyrikan. Tak terkecuali nabi Muhammad saw. Dia tidak dapat memberi hidayah taufiq pada sesiapa yang ia mau, bahkan pada orang yang sangat dicintai dan mencintainya yaitu Abu Tholib.

Pada dasarnya, setiap manusia berpotensi mendapatkan Hidayah Allah swt  melalui proses doa, ibadah yang kuat dan tekun serta penuh keikhlasan.  Mungkin pernah terbersit dalam hati kita, mengapa kita wajib membaca lima kali dalam sehari ketika shalat:

“اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ ”

Ala kulli hal, manusia memerlukan “hidayah” petunjuk dan bimbingan Allah di setiap waktu, sebab di sebalik itu, manusia lemah dan amat sedikit ilmu dan pengetahuan. Itulah alasan tepat mengapa manusia digalakkan selalu memohon petunjuk-Nya dalam shalat, agar Allah swt mengajari dan membimbing hambaNya kepada perkara-perkara yang tidak ia tidak maklum.

Rabu, 25 Januari 2017

Arti Dan Kedahsyatan Hasbunallah Wa Ni'mal Wakil

Kalimat dzikir yang sangat mendalam ini mempunyai makna yang sangat bagus. Arti Kalimat Hasbunallah wa ni'mal wakil ni'mal maula wa ni'mal nashir, adalah

"Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung, dan sebaik-baik penolong kami."

Suatu kalimat yang agung, mengandung makna-makna yang tinggi, indah kandungannya, memberi pengaruh yang kuat. Al-Hasiib adalah Dzat Yang menghitung nafas-nafasmu, yang dengan karunia-Nya Ia menjauhkan keburukan darimu, Yang diharapkan kebaikannya, dan cukup dengan karunia-Nya, dengan anugerah-Nya Ia menghilangkan keburukan.

Al-Hasiib adalah Dzat yang jika engkau mengangkat hajatmu kepada-Nya maka Iapun memenuhinya, jika ia menghukum dengan suatu keputusan maka ia menetapkannya dan menjalankannya.

وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا

“Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat perhitungan.” (QS. Al-Ahzaab: 36).

Maknanya adalah yang mengetahui bagian-bagian dan ukuran-ukuran yang para hamba mengetahuinya semisal ukuran-ukuran tersebut dengan cara menghitung, adapun Allah mengetahuinya tanpa menghitung.

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. At-Tholaq: 3).

Yaitu Allah akan mencukupkan urusan agama dan dunianya, Yang menghilangkan kesedihan dan kegelisahannya, dan seluruh kecukupan diperoleh maka tidaklah diperoleh kecuali dengan Allah, atau dengan sebagian makhluk-Nya, dan seluruh kecukupan yang diperoleh dengan (sebab) makhluk-Nya maka sesungguhnya diperoleh dengan-Nya.

وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

“Dan Allah adalah sebaik-baik sandaran.” (QS. Ali ‘Imron: 163).

Yaitu, sebaik-baik tempat bersandar kepadanya dalam memperoleh kenikmatan dan untuk menolak kemudhorotan dan bencana.

Al-Wakiil adalah Yang mengurus seluruh alam, dalam penciptaan, pengaturan, pemberian petunjuk dan taqdirnya. Al-Wakiil adalah yang dengan kebaikan-Nya mengatur segela urusan hamba-Nya, maka Dia tidak akan meninggalkan hamba-Nya, tidak membiarkannya, tidak menyerahkan hamba-Nya kepada yang lain, dan diantaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلاَ تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ

“Ya Robku, hanya kepada rahmatMu-lah ku berharap, maka janganlah Engkau serahkan diriku kepada diriku meski hanya sekejap mata.”

Yaitu janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku dan memalingkan aku kepada diriku, karena barang siapa yang bertawakkal kepada dirinya maka ia telah binasa.

“Hasbunallah wani’mal wakiil” (Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah sebaik-baik Sandaran) yaitu Allah cukup bagi orang yang bertawakkal kepada-Nya, yang berlindung kepada-Nya, Dialah yang menghilangkan ketakutan dari seorang yang sedang takut, Dia melindungi orang yang meminta perlindungan, Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Barangsiapa yang berloyal kepada-Nya, meminta pertolongan-Nya, bertawakal kepada-Nya, serta menyerahkan segala urusannya kepada-Nya, maka Allah akan melindunginya dengan penjagaan-Nya dan naungan-Nya. Barangsiapa yang takut kepada-Nya dan bertakwal kepada-Nya maka Allah akan menjadikannya aman dari segala yang ia takutkan dan kawatirkan. Serta Allah akan mendatangkan baginya seluruh kemanfaatan yang ia butuhkan.

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (٢) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. At-Tholaq: 2-3).

Maka janganlah merasa lambat akan datangnya pertolongan Allah, rezeki-Nya dan kesembuhan dari-Nya, karena

إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا (٣)
“Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. At-Tholaq: 3).

Maksudnya tidak akan dipercepat dan tidak pula terlambat.

Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَسْبُكَ اللَّهُ وَمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (٦٤)
“Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.” (QS. Al-Anfaal: 64).

Yaitu Allah akan melindungimu dan melindungi para pengikutmu.

أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ
“Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya.” (QS. Az-Zumar: 36).

Dan rahasia datangnya perlindungan Allah adalah mewujudkan peribadatan, maka semakin bertambah penghambaan (peribadatan) seorang hamba kepada Allah maka semakin bertambah pula perlindungan Allah ‘Azza wa Jalla. Maka tambahlah penghambaanmu niscaya Allah ‘Azza wa Jalla menambah penjagaan dan perlindunganNya bagimu.

“Hasbullah wa ni’mal wakiil” adalah tempat perlindungan seorang hamba tatkala dalam kondisi krisis yang parah, dalam kondisi yang sangat genting. Perkataan ini lebih kuat daripada kekuatan materi dan sebab-sebab duniawi. Perkataan ini adalah tempat bertumpu seorang muslim tatkala hartanya direbut, tatkala ia tak mampu untuk meraih haknya, tatkala sedikit pendukungnya, perkataan ini adalah penghiburnya tatkala musibah menerpa, bentengnya tatkala genting, yaitu tatkala ia mengucapkan perkataan ini dengan keyakinan yang kuat, karena ia meyakini bahwasanya “Laa haula wa laa quwwat illa billah” (Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah).

Maka jika seorang hamba ditimpa kesulitan, diliputi oleh musibah lalu ia berkata “Hasbiyallahu wa ni’mal wakiil” (cukuplah Allah penolongku dan sebaik-baik sandaran) maka hatinya akan terkosongkan dari segala sesuatu kecuali Allah semata. Maka hal ini akan menjadikan seorang yang tertimpa musibah dan ujjian akan merasa dalam relung hatinya adanya keyakinan bahwasanya segala perkara di tangan Allah.

(Maha suci Allah pemilik segala kekuasaan, maha suci Allah pemilik kesombongan, maha suci Allah yang Maha hidup dan tidak akan mati). Maka akan ringan baginya kesedihan bagaimanapun beratnya, akan ringan penderitaan bagaimanapun puncaknya, karenanya penyeru dari keluarga Fir’aun berkata :

وَأُفَوِّضُ أَمْرِي إِلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ
“Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Mukmin: 44).

Nabi Ya’qub ‘alaihis salam berkata,

إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ
“Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.” (QS. Yusuf : 86).

“Hasbunallahu wani’mal wakiil” adalah doa permintaan, obat bagi segala yang menggelisahkan seorang muslim baik perkara dunia maupun akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من قال في كل يوم حين ي وحين يمسي : حسبي الله لا إله إلا هو ؛ عليه توكلت ، وهو رب العرش العظيم ؛ سبع مرات ؛ كفاه الله ماأهمه من أمر الدنيا والآخرة

“Barangsiapa yang setiap hari tatkala pagi dan petang mengucapkan “Hasbiyallahu laa ilaaha illah Huwa ‘alaihi tawkkaltu wa huwa Robbul ‘Arsyil ‘Adhiim” (artinya : Cukuplah Allah bagiku tiada sesembahan kecuali Dia, kepadaNya-lah aku bertawakkal, dan Dia adalah Penguasa ‘Arsy yang agung) sebanyak 7 kali, maka Allah akan memenuhi apa yang menggelisahkannya dari perkara dunia dan akhirat.”

“Hasbiyallahu wa ni’mal wakiil” diucapkan oleh Ibrahim ‘alaihis salaam tatkala dilemparkan di api, maka jadilah api tersebut dingin dan membawa keselamatan. Diucapkan pula oleh Rasul kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala mereka berkata kepadanya :

إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ

“Sesungguhnya orang-orang (yaitu kafir Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka.” (QS. Ali Imron: 173).

Justru semakin menambah keimanan mereka (Nabi dan para sahabat),

فَانْقَلَبُوا بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ لَمْ يَمْسَسْهُمْ سُوءٌ وَاتَّبَعُوا رِضْوَانَ اللَّهِ وَاللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَظِيمٍ


“Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Ali Imron: 174).

Tatkala mereka menyerahkan urusan mereka kepada Allah dan menyandarkan hati mereka kepadaNya, maka Allah memberikan kepada mereka balasan berupa empat perkara, (1) kenikmatan, (2) karunia, (3) dihindarkan dari keburukan, (4) dan mengikuti keridhoan Allah, maka mereka ridho kepada Allah dan Allah pun ridho kepada mereka.

Yang dimaksud dengan menyerahkan urusan kepada Allah yaitu setelah berusaha dan berikhiyar, maka tidaklah mereka mencari kesembuhan kecuali dari-Nya, tidaklah mereka mencari kecukupan kecuali dari-Nya, tidaklah mereka kemuliaan kecuali darinya, maka seluruh perkara bergantung kepada Allah, mengharap dari-Nya.

Dan inilah doa yang dengan doa tersebut Allah menjaga kehormatan Aisyah –semoga Allah meridoinya-, tatkala ia naik tunggangannya ia berkata, “Hasbiyallahu wa ni’mal wakiil” (cukuplah Allah bagiku dan sebaik-baik Sandaran). Lalu turulah ayat-ayat yang menjelaskan sucinya Aisyah dari tuduhan keji.

“Hasbunallahu wani’mal wakiil” adalah doanya orang-orang yang kuat, dan bukan doanya orang-orang yang lemah, doanya orang-orang yang kuat hati mereka, tidak terpengaruh oleh dugaan-dugaan, tidak diganggu oleh kejadian-kejadian, tidak terkontaminasi oleh kelemahan dan ketakutan, karena mereka mengetahui bahwasanya Allah telah menjamin orang yang bertawakal kepadanya dengan jaminan penjagaan yang sempurna. Maka ia yakin kepada Allah, tenang percaya dengan janji Allah, maka sirnalah kesedihannya, hilanglah kegelisahannya, kesulitan pun berganti menjadi kemudahan, kesedihan menjadi kegembiraan, dan ketakutan menjadi ketenteraman.

“Hasbunallahu wani’mal wakiil” adalah senjata seorang dai yang menyeru kepada jalan Allah. Seorang mukmin yang benar tegar tidak tergoyahkan oleh goncangan-goncangan, ia tetap melangkah, memurnikan tawakalnya, dan baginya ganjaran yang besar. Allah berfirman :

فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ

“Jika mereka berpaling (dari keimanan), Maka Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung”. (QS. At-Taubah: 129).

Mereka yang menyampaikan agama Allah, mereka mengetahui bahwasanya Allah adalah penolong mereka, maka merekapun takut kepada Allah dan tidak peduli dengan orang-orang yang menghalangi, mereka yakin bahwasanya mereka di atas kebenaran, bahwasanya agama mereka benar, mereka menempuh jalannya para nabi dengan penuh kelembutan dan hikmah.

“Hasbunallah wani’mal wakiil” adalah doa rido terhadap taqdir Allah. Allah berfirman,

وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ (٥٨)وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوا مَا آتَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُوَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ سَيُؤْتِينَا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا إِلَى اللَّهِ رَاغِبُونَ (٥٩)

“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah. Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: “Cukuplah Allah bagi Kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah,” (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” (QS. At-Taubah: 58-59).

Seandainya seorang muslim menerima keputusan Allah, rido dengan hikmah-Nya maka lebih baik dan agung baginya. Ini merupakan adab jiwa, adab lisan, dan adab iman. Ridho dengan pembagian Allah, rido dengan sikap pasrah dan menerima, bukan ridho terpaksa. Maka cukupkanlah diri dengan Allah, niscaya Allah akan mencukupkan untuk hambaNya. Dan mencukupkan diri dengan Allah merupakan sikap seorang muslim tatkala miskin dan tatkala memberi, tatkala menolak dan tatkala mengambil, dalam kondisi senang dan susah.

“Hasbiyallahu wa ni’mal wakiil”, merupakan wasiat Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya tatkala dalam kondisi berat, beliau bersabda,

كَيْفَ أُنْعَمُ وَصَاحِبُ الْقَرْنِ قَدِ الْتَقَمَ الْقَرْنَ وَاسْتَمَعَ الإِذْنَ مَتَى يُؤْمَرُ بِالنَّفْخِ فَيَنْفُخُ فَكَأَنَّ ذَلِكَ ثَقُلَ عَلَى أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَفَقَالَ لَهُمْ قُوْلُو
ا حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ عَلَى اللهِ تَوَكَّلْنَا

“Bagaimana aku tenteram sementara malaikat Israfil telah menempel pada sangkakala dan menanti izin kapan ia diperintahkan untuk meniup, maka diapun meniup.”

Maka hal ini memberatkan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi berkata kepada mereka :”Ucapkanlah : “Hasbunallahu wani’mal wakiil, ‘alallahi tawakalnaa” (cukuplah Allah bagi kami dan Dia sebaik-baik bersandar, hanya kepada-Nyalah kami menyerahkan urusan kami).

Barangsiapa yang Allah cukup baginya maka pikirannya tidak tersibukan dengan makar (rencana jahat) yang disiapkan oleh para pemakar, tidak menggelisahkannya perkumpulan orang-orang yang selalu menanti-nanti keburukan menimpa kaum muslimin, tidak juga rencana jahat ahli kufur dan orang sesat dan penipu atau orang yang menampakkan perkara yang bertentangan dengan batinnya. Karenanya Allah menenangkan Nabi-Nya dan menurunkan firman-Nya kepada Nabi,

وَإِنْ يُرِيدُوا أَنْ يَخْدَعُوكَ فَإِنَّ حَسْبَكَ اللَّهُ


“Dan jika mereka bermaksud menipumu, maka Sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu).” (QS. Al-Anfal: 62).

Yazid bin Hakiim pernah berkata,

ماَ هِبْتُ أحداً قط هَيْبَتِي رجلاً ظلمتُه وأنا أعلم أنه لا ناصر له إلا الله، ويقول : حسبي الله، الله بيني وبينك


“Tidaklah aku takut kepada seorangpun sebagaimana ketakutanku kepada seseorang yang aku menzoliminya, dan aku tahu bahwasanya tidak ada penolong baginya kecuali Allah. Ia berkata, “Hasbiyallahu” (cukuplah Allah penolongku), ia berkata :”Antara aku dan engkau ada Allah”.

“Hasbiyallahu wa ni’mal wakiil” membuahkan kepercayaan kepada Allah subhaanahu, dan bersandar kepada-Nya, merasa Allah selalu bersamanya dalam setiap waktu dan setiap kondisi.

Jika seorang hamba telah mengetahui bahwasanya Allah yang mencukupkan rezekinya, mata pencahariannya, penjagaan dan perhatinan, pertolongan dan kejayaan, maka ia hanya akan mencukupkan dengan pertolongan Allah dari pertolongan selainNya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنِ اسْتَكْفَى كَفَاهُ اللهُ

“Barangsiapa yang mencari kecukupan (dari Allah) maka Allah mencukupkannya.”

“Hasbiyallahu wani’mal wakiil” membuahkan penyerahan seorang hamba dirinya kepada Allah, berbaik sangka kepadaNya subhaanahu, karena Allah tersifatkan dengan kekuatan yang sempurna, ilmu dan hikmah yang sempurna, dan Allah tidaklah mentakdirkan bagi hamba kecuali yang membawa kemaslahatan bagi sang hamba baik di dunia maupun akhirat.

Bukti Adanya ALLAH Subhana Wata'ala

Artinya iman menurut bahasa ialah percaya atau membenarkan dengan hati. Iman kepada Allah adalah percaya dengan yakin dalam hati adanya Allah, ditunjukan dengan ucapan dan dilaksanakan dengan amal perbuatan. Adanya benda dapat ditunjukan dengan panca indra manusia Dapat dilihat, diraba, didengar, dan sebagainya. Namun wujud Allah swt tidak dapat diraba, tidak dapat dilihat dan tidak dapat didengar langsung dengan panca indra manusia.

Pengkuat iman harus didasarkan kepada ma'rifat, yaitu mengenal Allah Tuhan yang telah menciptakan alam semesta. Caranya dengan memperhatikan makhluk ciptaan-Nya dan mengamati segala peristiwa alam, yang kesemuanya menunjukan bahwa ada yang Maha Mengatur dan Maha Pencipta, yang berarti menunjukan adanya Allah swt.

Contohnya manusia dapat melihat adanya bumi dengan segala isinya, benda angkasa seperti matahari, bulan dan bintang. Benda benda itu tidak mungkin terjadi dengan sendirinya, semua itu diyakini ada yang menciptakannya, Yaitu Allah  Zat Yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Keyakinan itulah yang dinamakan iman adalah meyakini dengan kesungguhan hati bahwa Allah swt itu ada dengan segala sifat sifat kesempurnaan-Nya..

Untuk itu, Allah telah memberikan akal pikiran kepada manusia yang digunakan sebagai alat untuk berfikir memakfiratkan Allah yang MahaKuasa, Mahasuci dan Maha Esa yang tiada sekutu bagi-Nya.. Dengan memakfiratkannya maka akan tumbuh keimanan dan keislaman yang menumbuhkan cinta dan taat kepada Allah. Manusia diperintahkan untuk merenung memikirkan alam semesta serta kejadiannya, sehingga akan sampai kepada keyakinan bahwa alam semesta ini tidak mungkin ada dengan sendirinya dan tidak mungkin benda-benda di alam ini mengatur dirinya sendiri, pasti ada penciptanya.

Setelah memperhatikan alam semesta timbul kekaguman atas kehebatan alam ini, seterusnya mengagumi penciptanya dan secara yakin mengakui bahwa pasti sang pencipta itu Maha Kuasa, Maha Berkehendak, dan Maha SegalaNya dan tidak akan mungkin ada yang menandingi hasil ciptaan-Nya.. Dri kekaguman dan pengakuan atas kemahakuasaan-Nya timbul pujian yang tulus, memuji kebesaran-Nya, yang berarti telah tumbuh iman di dalam diri..

Sifat Mustahil Dan Sifat Jaiz Bagi Allah

Sifat Mustahil allah adalah sifat-sifat kekurangan atau ketidaksempurnaan yang tidak mungkin ada pada Allah. sifat sifat mustahil merupakan kebalikan dari sfat-sifat wajib bagi Allah.

Sifat-sifat mustahil, yaitu:
1.  Adam artinya tiada. Mustahil Allah tidak ada, sifat ini lawan dari sifat wujud.
2.  Hudus artinya baru. Mustahil zat Allah itu yang baru, wajib qidam.
3.  Fana artinya lenyap/rusak. Mustahil Allah lenyap atau tidak kekal, wajib baqa.
4.  Mumatsalatu lil hawadisi artinya serupa dengan yang baru. mustahil Allah serupa dengan yang baru, wajib bersifat mukhalafatu lil hawadisi.
5.  Ihtiyaju artinya berkehendak kepada yang lain. Mustahil allah membutuhkan kepada orang lain, Allah wajib bersifat qiyamuhu binafsihi.
6.  Ta'addud artinya berbilang. Mustahi Allah lebih dari satu, tetapi wajib Wahdaniyah.
7.  Ajzu artinya Lemah. Mustahil Allah lemahm tetapi wajib Allah bersifat qudrat.
8.  Karahah artinya terpaksa. Mustahil allah terpaksa dalam mengadakan atau meniadakan sesuatu, tetapi wajib bagi Allah iradat.
9.  Jahlu artinya bodoh. Mustahil Allah itu bodoh, tetapi wajib Allah bersifat Ilmu.
10. Mautun artinya Mati. Musthil Allah Mati, tetapi wajib baginya bersifat hayat.
11. Sammu artinya tuli. Mustahil Allah tuli, tetapi wajib baginya bersifat sama'.
12. A'ma artinya buta. Mustahil Allah buta, tetapi wajib bersifat basar.
13. Bukmu artinya bisu. Mustahil Allah bisu, tetapi wajib bersifat kalam atau berkata.

Sifat Jaiz bagi Allah
Yaitu sifat bagi Allah bebas berbuat, artinya perbuatan Allah terhadap makhluk-Nya itu boleh diperbuat-Nya boleh juga tidak. tuhan menciptakan alam ini bukan suatu kepastian sebab apabila merupakan kepastian maka wajib adanya. Sedangkan apabila mustahil maka tidak mungkin terjadi, padahal alam ini mudah diciptakan. Kesimpulannya ialah Allah tidak wajib untuk membuatnya dan tidak mustahil kalau tidak membuatnya.

Jenis Jenis Perbuatan Yang Harus Dihindari Menjelang Akhir Zaman

Dari Abu Hurairah ra dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Benar-benar akan datang kepada manusia suatu masa, pada saat itu orang tidak lagi mempedulikan dari mana ia mendapatkan harta kekayaan, apakah dari jalan yang halal ataukah jalan yang haram.

Bencana Alam, musibah, keserakahan manusia, gaya hidup tamak dan rakus, semuanya merupakan salah satu pemicu munculnya ketidakseimbangan, baik pada alam maupun secara sosial. Dari sudut pandang sunnatullah, semua itu merupakan bentuk ujian yang Allah berikan kepada setiap manusia. Namun, dari sudut pandang human’s behaviour (perilaku manusia), maka semua musibah itu adalah akibat tingkah laku mereka. Semua bencana itu akan berimbas pada problem kemanusiaan. Ekonomi merosot, persediaan pangan terancam, lahan pekerjaan menjadi sempit, sementara kebutuhan manusia terus berjalan dan cenderung melonjak, baik karena faktor pertambahan penduduk maupun berubah gaya hidup manusia yang cenderung materialistik.

Dalam kondisi seperti itu, sering kali manusia menjadi gelap mata manakala kebutuhan mereka tidak terpenuhi. Perut yang lapar dan tuntuan hidup orang-orang yang ditanggungnya (anak dan istri), mau tidak mau akan memaksa mereka untuk menempuh jalan yang mungkin saja berujung pada sikap menghalalkan segala cara; yang terpenting perut bisa diganjal, anak dan istri tidak lagi menangis kelaparan dan kebutuhannya terpenuhi.

Inilah kondisi di mana hari ini kita hidup. Faktor kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin tidak dipungkiri menjadi pemicu lahirnya keinginan manusia untuk mencari keadilan dengan cara-cara haram. Orang-orang kaya yang hobi pamer kekayaan dan sering menjual gaya hidupnya kepada orang-orang miskin, ‘telah menambah dorongan mereka untuk melakukan apapun asal mereka bisa menikmati seperti yang selama ini mereka tonton. Maka, betapa tepatnya kondisi saat ini dengan apa yang dinubuwatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam riwayat di atas.

Rezki Allah itu sangat luas

Pameo klasik yang mengatakan bahwa ‘mencari yang haram saja sulit, apalagi yang halal’ jelas merupakan sebuah alasan yang klise dan absurd, meski realitanya demikian. Sesungguhnya mata pencaharian itu sangat banyak ragamnya. Selama ia merupakan sesuatu yang halal, baik, dan tidak melanggar ketentuan syariat, maka ia adalah pekerjaan yang diberkahi.

Seorang muslim boleh melakukannya. Apabila pekerjaan tersebut berupa sebuah kemaksiatan, kemungkaran, kezaliman, kecurangan, penipuan, atau pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan umum syariat, maka ia adalah pekerjaan yang haram, meskipun menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah yang banyak. Seorang muslim wajib menjauhi dan meninggalkannya.

Hindari perbuatan perbuatan ini:
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memperingatkan umatnya untuk mewaspadai pekerjaan-pekerjaan yang haram ini. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan salah satu tanda rusaknya akhlak umat manusia dengan ketidakpedulian mereka terhadap cara mencari harta kekayaan. Di antara mata pencaharian yang dilarang adalah:

1. Pekerjaan yang berupa kesyirikan dan sihir, seperti perdukunan, paranormal, ‘orang pintar’, peramal nasib, dan hal-hal yang sejenis dan semakna dengannya.

2. Pekerjaan yang berupa sarana-sarana menuju kesyirikan, seperti menjadi juru kunci makam, membuat patung, melukis gambar makhluk yang bernyawa, dan hal-hal yang sejenis dan semakna dengannya.

3. Memperjual belikan hal-hal yang diharamkan oleh syariat, seperti bangkai, babi, darah, anjing, patung, lukisan makhluk yang bernyawa, minuman keras, narkotika, dan lain sebagainya. Dari Abu Mas’ud al-Anshari ra bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang harta dari harga penjualan anjing, upah wanita pezinaan, dan upah seorang dukun. 2)

Dari Abu Juhaifah ra ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang harta hasil penjualan darah, penjualan anjing, upah budak perempuan yang dipekerjakan untuk berzina (upah mucikari). Beliau melaknat perempuan yang membuat tato, perempuan yang meminta ditato, orang yang memakan harta riba, orang yang memberikan riba, dan orang yang membuat patung.” 3)

Dari Jabir bin Abdillah ra bahwasanya ia telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda di Mekah pada tahun penaklukkan Mekah: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan penjualan khamer, bangkai, babi, dan patung.” Maka ada seseorang bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda tentang menjual lemak bangkai, karena ia bisa digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit, dan orang-orang biasa mempergunakannya untuk minyak lampu penerangan?” Maka beliau menjawab: “Tidak boleh menjualnya, ia tetap haram.”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lantas bersabda: “Semoga Allah memerangi kaum Yahudi. Ketika Allah mengharamkan atas mereka lemak bangkai, mereka mencairkannya lalu menjualnya dan memakan harganya.”4) Dari ‘Aisyah radiyalaahu ‘anhuma ia berkata: “Ketika diturunkan ayat-ayat di akhir-akhir surat Al-Baqarah tentang riba (ayat 275 dst) , Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar ke masjid dan membacakannya kepada masyarakat. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian mengharamkan perdagangan khamer, minuman keras. 5)

4. Memakan harta riba, ”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan tinggalkanlah riba yang masih ada pada diri kalian, jika kalian benar-benar beriman. Jika kalian tidak mau melakukannya, maka terimalah pengumuman perang dari Allah dan Rasul-Nya. ” (QS Al-Baqarah [2] :278-279).

5. Menimbun bahan-bahan perdagangan di saat harganya murah dan dibutuhkan oleh masyarakat dengan tujuan meraih keuntungan yang berlipat ganda pada saat harganya melambung tinggi. Dari Ma’ mar bin Abdullah al-Anshari ra dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Barang siapa menimbun, ia telah berbuat salah.” Dalam lafal yang lain: Tidak ada orang yang melakukan penimbunan selain orang yang berbuat salah.“ 6)

Dari Umar bin Khathab ra, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa menimbun bahan makanan yang dibutuhkan oleh kaum muslimin, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menimpakan penyakit lepra dan kebangkrutan kepadanya." 7)

6. Perjudian, ”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamer (minuman keras), perjudian, berkurban untuk berhala-berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan, maka jauhilah oleh kalian perbuatan-perbuatan tersebut agar kalian mendapatkan keberuntungan. Sesungguhnya setan bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran meminum khamr dan melakukan perjudian dan menghalang-halangi {melalaikan} kalian dari dzikir kepada Allah dan dari shalat. Maka mengapa kalian tidak mau berhenti? (QS Al-Maidah [5]: 90-91).

7. Memakan harta anak yatim secara dzalim, ”Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS An-Nisa’ [4): 10).. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian. (QS An-Nisa’ [4]: 29).

8. Mencuri, mencopet, menjambret, dan merampok.
Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, maka potonglah (pergelangan) tangan-tangan mereka sebagai hukuman dari Allah atas kejahatan mereka. (QS Al-Maidah [5]: 38).

9. Mengurangi timbangan dan takaran.
Kecelakaan bagi orang-orang yang melakukan kecurangan dalam timbangan, yaitu kalau menakar milik orang lain untuk dirinya, ia meminta disempurnakan. Namun, apabila mereka menakar barang dagangan mereka untuk orang lain, ia merugikan orang lain (dengan mengurangi takaran). (QS Al-Muthaffifin: 1-3).

10. Korupsi dan penipuan terhadap rakyat.
Dari Ma’qil bin Yasar ra ia berkata: Saya mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda: “Tidak ada seorang hamba pun yang diberi amanat oleh Allah untuk menjadi pemimpin sebuah masyarakat lalu ia tidak memimpin mereka dengan ketulusan (kejujuran), kecuali ia tidak akan mendapatkan bau surga.” Dalam lafal Muslim: “… kecuali Allah mengharamkan surga atasnya.“

11. Menunda-nunda pembayaran gaji buruh dan karyawan atau mengurangi hak-hak mereka.
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman ‘Ada tiga golongan yang Aku menjadi musuh mereka; orang yang memberikan sumpah setia dengan menyebut nama-Ku lalu ia mengkhianati, orang yang menjual orang merdeka lalu ia memakan hasil penjualannya, dan orang yang mempekerjakan seorang buruh lalu si buruh menuntaskan pekerjaannya sementara ia tidak mau membayarkan upahnya.”