Kamis, 30 Juni 2016

Keistimewaan, Hikmah, & Keutamaan "Zakat"




Zakat memiliki banyak keistimewaan, hikmah, dan manfaat, baik bagi muzaki, mustahiq, maupun bagi masyarakat secara luas. Ini merupakan rahmat dan karunia Allah bagi hamba-Nya yang taat atas perintah zakat ini. Konsekwensinya, apabila kita lalai menunaikan kewajiban zakat, akan terdapat kerusakan, sebagai kebalikan dari keuntungan menunaikan zakat, baik bagi tiap individu maupun kelompok dalam tatanan sistem keluarga, masyarakat, maupun negara. Berikut ini keistimewaan, hikmah, dan manfaat zakat:

A. Keistimewaan Zakat

1. Zakat merupakan rukun Islam ketiga setelah shalat, terletak di tengah-tengah antara lima rukun Islam yang lain, didahului dengan syahadah dan shalat, lalu diikuti dengan puasa dan menuaikan haji bagi mereka yang berkemampuan, sebagai rukun terakhir.

2. Apabila diteliti, kita mendapati bahwa zakat berbeda dari rukun-rukun Islam yang lain. Kesemua rukun Islam merupakan amalan ta’abudiyah kepada Allah. Akan tetapi, kita lihat, zakat tidak hanya berhubungan dengan Allah (habluminallah), tetapi juga berhubungan dengan manusia (habluminannaas) secara langsung.

3. Zakat merupakan rukun istimewa yang Allah turunkan dan tetapkan sebagai rukun Islam yang menyentuh secara langsung tentang penghidupan atau ekonomi umat Islam. Inilah satu-satunya amalan ibadah yang Allah wajibkan dan tetapkan sebagai rukun Islam.

4. Zakat memiliki kontribusi dan peran besar dalam dakwah dan jihad yang mutlak membutuhkan harta. Urgensi keterkaitan antara dakwah dan harta, tercermin secara implisit di dalam Al-Qur`an, tatkala menyebutkan batas pengorbanan seorang muslim kepada Islam, umumnya kata “amwal” (harta) selalu diiringi dengan kata “anfus” (jiwa).

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, jiwa dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka….” (QS At-Taubah[9]: 111).

Dari sini, tampaknya tidak berlebihan bila dikatakan bahwa zakat merupakan sebuah kewajiban yang memiliki efek peran integral, meliputi pembinaan pribadi, keluarga, masyarakat, negara dan terwujudnya khilafah sebagai sasaran akhir dakwah Islam.


B. Hikmah Zakat

1.Sebagai perwujudan iman kepada Allah SWT, mensyukuri nikmat-Nya, menumbuhkan akhlak mulia dengan memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi, menghilangkan sifat kikir dan rakus, menumbuhkan ketenangan hidup, sekaligus mengembangkan harta yang dimiliki.

2. Menolong, membantu dan membina kaum dhu’afa (orang yang lemah secara ekonomi) maupun mustahiq lainnya ke arah kehidupannya yang lebih baik dan lebih sejahtera.

3. Sebagai sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang dibutuhkan oleh ummat Islam.

4. Untuk mewujudkan keseimbangan dalam kepemilikan dan distribusi harta, sehingga diharapkan akan lahir masyarakat makmur dan saling mencintai (marhammah) di atas prinsip ukhuwah Islamiyyah dan takaful ijtima’i.

5. Menyebarkan dan memasyarakatkan etika bisnis yang baik dan benar.

6. Menghilangkan kebencian, iri, dan dengki dari orang-orang sekitarnya kepada yang hidup berkecukupan, apalagi kaya raya serta hidup dalam kemewahan. Sementara, mereka tidak memiliki apa-apa, sedang tidak ada uluran tangan dari orang kaya kepadanya.

7. Dapat menyucikan diri dari dosa, memurnikan jiwa (tazkiyatun nafs), menumbuhkan akhlak mulia, murah hati, peka terhadap rasa kemanusiaan, dan mengikis sifat bakhil atau kikir serta serakah. Dengan begitu, suasana ketenangan batin karena terbebas dari tuntutan Allah SWT dan kewajiban kemasyarakatan, akan selalu melingkupi hati.

8. Menjadi unsur penting dalam mewujudkan keseimbangan dalam distribusi harta (social distribution), dan keseimbangan tanggung jawab individu dalam masyarakat.

9. Zakat adalah ibadah mâliyah yang mempunyai dimensi dan fungsi sosial ekonomi atau pemerataan karunia Allah SWT dan merupakan perwujudan solidaritas sosial, rasa kemanusiaan, pembuktian persaudaraan Islam, pengikat persatuan umat dan bangsa, sebagai pengikat batin antara golongan kaya dengan golongan miskin dan sebagai penimbun jurang yang menjadi pemisah antara golongan yang kuat dengan yang lemah.

10. Mewujudkan tatanan masyarakat yang sejahtera, di mana hubungan seseorang dengan yang lainnya menjadi rukun, damai, dan harmonis yang akhirnya dapat menciptakan situasi yang aman, tenteram lahir batin.

11. Menunjang terwujudnya sistem kemasyarakatan Islam yang berdiri atas prinsip-prinsip: umatan wahidah (umat yang bersatu), musâwah (umat yang memiliki persamaan derajat dan kewajiban), ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam), dan takâful ijtima’i (sama-sama bertanggung jawab).


C. Keutamaan Zakat di dalam Al-Qur`an

Di tengah-tengah berbagai krisis ekonomi dan sosial yang sedang melanda suatu bangsa. Apabila kita melihat secara lebih seksama dan sungguh-sungguh beberapa jalan keluar yang dikemukakan ajaran Islam, yang kita yakini kebenarannya dan ketepatannya, sebagaimana firman Allah SWT, di antaranya: “Kebenaran itu adalah dari Tuhan-mu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS Al-Baqarah [2]: 147)

“Sesungguhnya Al-Qur`an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS Al-Israa’ [17]: 9)

Di antara kebenaran yang diajarkan Al-Qur`an, salah satunya adalah zakat. Apabila zakat dilaksanakan dengan penanganan dan penataan yang baik dan benar, akan diperoleh hasil yang signifikan.

Di dalam Al-Qur`an menyatakan bahwa kesediaan berzakat di pandang sebagai indikator utama kedudukan seseorang dalam Islam Islam (QS. At-Taubah [9]: 5, 11), juga sebagai ciri orang yang mendapatkan kebahagiaan (QS Al-Mu’minuun [23]:1-4), dan, akan mendapatkan rahmat dan pertolongan Allah SWT (QS At-Taubah [9]: 71), sebagai orang yang memperhatikan hak fakir miskin dan para mustahiq (QS At-Taubah [9]: 60), dipandang sebagai orang yang membersihkan, menyuburkan, dan mengembangkan hartanya serta menyucikan jiwanya (QS At-Taubah [9]: 103), ciri utama orang yang bertakwa (QS. Al-Baqarah [2]: 2–3), ciri mukmin yang mengharapkan balasan yang abadi dari Allah SWT (QS Faathir [35]: 29), dan masih banyak lagi keutamaan orang-orang yang menafkahkan rezekinya di jalan Allah, yaitu sebagaimana terdapat di dalam ayat-ayat berikut: QS Al-Baqarah [2]: 110, 177, 215, 245, 261, 265, 274, 276, 277, QS Ali-‘Imran[3]: 92, 133-134, QS An-Nisa[4]: 38, 77, 162, QS Al-Maaidah[5]: 12, 55, QS Al-An’âm[6]: 141, QS Al-A’râf [7]: 156, QS Al-Anfal[8]: 2-3, QS At-Taubah[9]: 18, 58, 75, 79, 99, 104, 111, QS Ar-Ra’d[13]: 22, QS Ibrahim[14]: 31, QS Al-Isra`[17]: 26, QS Maryam[19]: 31, 55, QS Al-Anbiyaa'[21]: 73, QS Al-Hajj[22]: 34–35, 41, 78, QS An-Nuur[24]: 36–37, 56, QS Al-Furqaan[25]: 67, QS An-Naml[27]: 1-3, QS Ar-Ruum[30]: 39, QS Luqman[31]: 1–4, QS As-Sajdah[32]: 15–16, QS Al-Ahzâb[33]: 33, dan lain-lain.


D. Keutamaan dan Manfaat Sedekah

Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, zakat juga bisa bermakna sedekah. Di sini akan disebutkan beberapa keutamaan sedekah, yaitu di antaranya sebagai berikut:

1. Mendapat Naungan Allah pada Hari Kiamat

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, “Ada tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu pemimpin yang adil, …, Seseorang yang mengeluarkan sedekah secara sembunyi-sembunyi, sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya, dan seorang yang mengingat Allah di tempat yang sunyi dan kedua matanya mencucurkan air mata.” (HR Bukhari dan Muslim)

2. Sedekah Dapat Menghilangkan Kesulitan

Dari Abi Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang berusaha melepaskan atau melapangkan suatu kesusahan pada seorang mukmin, maka Allah akan melapangkan baginya dari suatu kesusahan di akhirat. Dan barangsiapa berusaha untuk meringankan kesukaran orang miskin, maka Allah akan meringankan kesusahannya di dunia maupun di akhirat. Dan barangsiapa yang berusaha menutupi kejelekan orang Islam, maka Allah akan menutupi kejelekannya di dunia maupun di akhirat. Allah akan selalu membantu hamba-Nya selagi hamba-Nya menolong saudaranya.”

3. Sedekah Sebagai Obat

Rasulullah saw bersabda, “Peliharalah harta bendamu dengan cara mengeluarkan zakat. Dan obatilah penyakitmu dengan sedekah. Dan hadapilah cobaan yang datang bertubi-tubi, dengan doa dan merendahkan diri kepada Allah.” (HR Abu Daud)

4. Sedekah Sebagai Pelindung dari Api Neraka

Diriwayatkan dari Adi bin Hatim ra bahwa ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Jagalah diri kalian dari api neraka walaupun dengan menafkahkan sebuah kurma.” (HR Bukhari dan Muslim)

5. Sedekah Dapat Memadamkan Murka Allah dan Menjauhkan  Seseorang dari Su’ul Khatimah

Maksud dari su’ul khatimah adalah kematian yang jelek, yaitu kondisi kematian yang tidak disukai manusia. ath-Thibi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kematian jelek adalah su’ul khatimah dan penderitaan yang akan dialami seseorang di akhirat karena pada saat itu ia akan mendapat siksaan dari allah.

6. Sedekah Dapat Mempererat Persaudaraan

Islam adalah agama kasih sayang, menyerukan kepada umatnya untuk berbuat saling mengasihi, toleransi dan menganjurkan untuk memberikan bantuan dan pertolongan kepada orang lain. Yang kaya menyantuni yang miskin, yang kuat melindungi yang lemah, yang sehat menjenguk yang sakit serta mendoakannya, anak kecil menghormati yang tua, yang tua bersikap sopan terhadap yang kecil. Insya allah kalau orang Islam menjalankan hal tersebut, persaudaraan antarmereka pun akan semakin kuat.


7. Sedekah Dapat Menambah Umur Seseorang

Diriwayatkan dari Amr bin Auf berkata, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya sedekah seorang muslim dapat menambah umurnya, dapat mencegah kematian yang su’ul khatimah, Allah akan menghilangkan sifat sombong, kefakiran dan sifat berbangga diri darinya.” (HR Thabrani)

8. Sedekah Sebagai Amal yang Mengalir Sampai Wafat

Ada sebuah hadits yang mengatakan, “Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan kedua orang tuanya.” (HR At-Tirmidzi)

9. Sedekah Membuat Harta Berkah dan Bertambah

Sesuai firman Allah dalam surat Saba` dalam ayat 39, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendakinya di antara hamba-hambanya dan menyempitkan rezeki bagi (siapa yang dikehendakinya). Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi Rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS Saba` [34]:39)

10. Sedekah Dapat Menghapuskan Dosa Besar

Mu’adz bin Jabal ra berkata, “Saya dalam perjalanan bersama Rasulullah saw, lalu ia menyebutkan hadits Rasulullah saw. Sampai beliau menyebutkan hadits kepadaku, maksudnya bahwa Rasulullah saw bersabda, ‘Maukah kamu saya tunjukkan pintu-pintu kebajikan?’ Saya menjawab, ‘Iya, wahai Rasul.’ Beliau melanjutkan, ‘Puasa sebagai perisai, dan sedekah dapat melebur kesalahan sebagaimana air memadamkan api.’” (HR Tirmidzi)

11. Sedekah Dapat Menghilangkan Siksa Kubur

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya sedekah dapat memadamkan panasnya kubur bagi orang yang memberikan sedekah, dan sesungguhnya orang mukmin akan bernaung pada hari kiamat nanti di bawah naungan sedekahnya.” (HR Tabrani)

12. Sedekah Dapat Menolak Bencana

Bagaimana memahami pernyataan bahwa sedekah itu bisa menolak dan menghindarkan diri dari bencana? Bencana adalah peristiwa yang tidak diinginkan kedatangannya karena menimbulkan kerusakan. Bencana terbagi menjadi dua, yaitu bencana alam dan bencana kemanusiaan. Bencana alam ini datang dari allah semata karena merupakan sunnatullah. Bencana yang seperti ini tidak dapat ditolak dan tidak dapat dibendung dengan doa.

Selasa, 28 Juni 2016

Amalan Wanita Haid di Malam "Lailatul Qadar"





Lailatul Qadar atau Lailat Al-Qadar (bahasa Arab: لَيْلَةِ الْقَدْرِ, malam ketetapan) adalah satu malam penting yang terjadi pada bulan Ramadan, yang dalam Al Qur'an digambarkan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Dan juga diperingati sebagai malam diturunkannya Al Qur'an.


Untuk wanita haid yang ingin medapatkan malam lailatul qadar masih bisa melakukan amalan ibadah, di 10 hari terakhir Ramadhan selain amalan yang dilarang dalam syariat.


"Juwaibir pernah bertanya pada Adh-Dhahak, “Bagaimana pendapatmu tentang wanita nifas, haid, musafir, dan orang yang tidur; apakah mereka bisa mendapatkan bagian dari lailatul qadar?” Adh-Dhahak pun menjawab, “Iya, mereka tetap bisa mendapatkan bagian. Setiap orang yang Allah terima amalannya akan mendapatkan bagian lailatul qadar.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 341)

Keterangan ini menunjukkan bahwa wanita haid, nifas dan musafir tetap bisa mendapatkan bagian lailatul qadar. Hanya saja, wanita haid dan nifas tidak boleh melaksanakan shalat. Untuk bisa mendapatkan banyak pahala ketika lailatul qadar, wanita haid atau nifas masih memiliki banyak kesempatan ibadah.


Masih banyak amalan ibadah yang bisa dilakukan wanita haid. Diantaranya,

1. Membaca Al-Quran tanpa menyentuh lembaran mushaf (menurut sebagian pendapat).

2. Boleh menyentuh ponsel atau tablet yang ada konten Al-Qurannya. Karena benda semacam ini tidak dihukumi Al-Quran. Sehingga, bagi wanita haid yang ingin tetap menjaga rutinitas membaca Al-Quran, sementara dia tidak memiliki hafalan, bisa menggunakan bantuan alat, komputer, atau tablet atau semacamnya.

3. Berdzikir dan berdoa. Baik yang terkait waktu tertentu, misalnya doa setelah adzan, doa seusai makan, doa memakai baju atau doa hendak masuk WC, dll.

4. Membaca dzikir mutlak sebanyak mungkin, seperti memperbanyak tasbih (subhanallah), tahlil (la ilaha illallah), tahmid (alhamdulillah), dan zikir lainnya. Ulama sepakat wanita haid atau orang junub boleh membaca dzikir. (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 25881)

5. Belajar ilmu agama, seperti membaca membaca buku-buku islam. Sekalipun di sana ada kutipan ayat Al-Quran, namun para ulama sepakat itu tidak dihukumi sebagaimana Al-Quran, sehingga boleh disentuh.

6. Mendengarkan ceramah, bacaan Al-Quran atau semacamnya.

7. Bersedekah, infak, atau amal sosial keagamaan lainnya.

8. Menyampaikan naaehat, sekalipun harus mengutip ayat Al-Quran. Karena dalam kondisi ini, dia sedang berdalil dan bukan membaca Al-Qur’an.

9. Mendengar tilawah Al-Quran dari kaset atau file audio.

10. Banyak beristighfar setiap hari/malam.

11. Beramal salih, seperti menyiapkan makanan untuk orang yang bersahur membantu keluarga atau orang-orang yang perlu bantuan, bersedekah, ikut serta dalam kegiatan amal, dan lain-lain.

12. Membaca zikir ketika lailatul qadar, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat dari Aisyah radhiallahu ‘anha, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, jika aku menjumpai satu malam yang itu merupakan lailatul qadar, apa yang aku ucapkan?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ucapkanlah,

‘اللَّـهُـمَّ إنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُـحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي’

"Ya Allah, sesungguhnya Engkau Dzat yang Maha Pemaaf dan Pemurah maka maafkanlah diriku." (Hadis sahih; diriwayatkan At-Turmudzi dan Ibnu majah)

13. Istri mempersiapkan keperluan suami untuk I'tikaf, istri mendukung penuh serta memberikan dukungan moril kepada suami.

Akan mendapat pahala i’tikaf yang sama dengan suami.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ جَهَّزَ غَازِياً فِى سَبِيلِ اللَّهِ فَقَدْ غَزَا ، وَمَنْ خَلَفَ غَازِياً فِى سَبِيلِ اللَّهِ بِخَيْرٍ فَقَدْ غَزَا

“Barang siapa mempersiapkan (membekali) orang yang berperang, maka sungguh ia telah berperang. Barang siapa yang menanggung keluarga orang yang berperang, maka sungguh ia telah berperang.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Dan masih banyak amal ibadah lainnya yang bisa menjadi sumber pahala bagi wanita haid di 10 hari terakhir Ramadhan. Karena itu, tidak ada alasan untuk bersedih atau tidak terima dengan kondisi haid yang dia alami.

Wanita haid boleh melakukan semua bentuk ibadah, kecuali shalat, puasa, tawaf di ka’bah, dan i’tikaf di masjid. Menghidupkan lailatul qadar tidak hanya dengan shalat, namun mencakup semua bentuk ibadah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, ‘Makna ‘menghidupkan malam lailatul qadar’ adalah begadang di malam tersebut dengan melakukan ketaatan.’ An-Nawawi mengatakan, “Makna ‘menghidupkan lailatul qadar’ adalah menghabiskan waktu malam tersebut dengan bergadang untuk shalat dan amal ibadah lainnya.'”

Dengan demikian meskipun wanita berhalangan, mereka masih mampu untuk mendapatkan malam lailatul qadar.

Minggu, 26 Juni 2016

Malaikat Maut Pernah "MENANGIS" pada saat Mencabut Nyawa Seorang Wanita




Kisah yang mengharukan ini dicantumkan dalam Tadzkirah oleh Imam Qurthubi.

“Aku pernah menangis disaat mencabut nyawa seorang wanita,” kata Malaikat Maut. “Saat itu ia baru saja melahirkan di padang pasir. Aku menangis saat mencabut nyawanya karena mendengar bayi tersebut menangis dan tidak ada seorang pun ada di sana.”

Tanpa sepengetahuan Malaikat Maut, karena ia hanya ditugaskan untuk mencabut nyawa, Allah Subhanahu wa Ta’ala lantas menyelamatkan bayi itu dengan caranya hingga kemudian ia tumbuh besar dan menjadi seorang ulama yang dicintaiNya.

Dalam riwayat lainnya diceritakan kisah yang berbeda. Malaikat Maut ditugaskan mencabut nyawa seorang wanita yang tenggelam di sungai. Yang membuatnya menangis, wanita itu memiliki dua anak yang masih kecil. Kedua anak itu tidak ditakdirkan meninggal sehingga mereka selamat sampai ke tepian, bahkan Malaikat Maut ikut membantunya menepi.


Menyaksikan dua anak yang masih kecil tersebut, Malaikat Maut menangis karena ia harus mencabut nyawa ibunya. Mereka akan menjadi anak-anak sebatang kara.

Tahun demi tahun berlalu, dua anak itu akhirnya tumbuh dewasa. Dan dengan izin Allah, kedua anak itu sama-sama menjadi raja di dua daerah yang berbeda.

Kita tidak pernah tahu kapan Malaikat Maut akan datang mencabut nyawa. Satu yang pasti, tak akan ada yang mampu memajukan dan menunda kematian sesaatpun ketika Allah sudah menetapkan waktunya.

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ

"Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya." (QS. Al A’raf: 34)

قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي ضَرًّا وَلَا نَفْعًا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ لِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ إِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ فَلَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ

Katakanlah: “Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah”. Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan(nya). (QS. Yunus: 49)

وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

"Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan." (QS. Al Munafiqun: 11)


Bahkan meskipun Malaikat Maut iba pun, hal itu takkan menunda kematian yang telah dijadwalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’la.

Namun, kita juga tak boleh terlalu takut dengan masa depan anak-anak dan keturunan kita. Mereka hidup, tumbuh dan besar bukanlah karena kita tetapi atas kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seperti kisah di atas, bahkan ditinggal oleh orangtuanya sekalipun, Allah yang akan menjaga mereka.

Yang justru perlu kita persiapkan dan lebih kita perhatikan adalah bekal kita menghadapi kematian. Siapkah kita menghadapi alam barzakh. Siapkah kita menghadapi hari kebangkita. Siapkah kita menghadapi yaumul hisab saat seluruh amal kita dibuka di hadapan seluruh makhluk. Sudahkah kita memikirkan, seandainya Malaikat Maut datang secara tiba-tiba kepada kita, di mana tempat tinggal kita nantinya, surga atau neraka?

Jumat, 24 Juni 2016

Benarkah ada Tanda-tanda Kematian?





Kematian adalah sesuatu yang tiada seorang pun tahu kapan ia akan datang, terkadang ia jauh terasa, padahal ia dekat dalam kenyataannya, dan bahkan kadang-kadang mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Pernahkah kita meminta supaya kita dimatikan dengan penutup yang baik 'husnul khatimah'? Yang paling dekat dengan manusia adalah “Al-maut” kematian, walau bagaimanapun semua orang Islam akan mendapat tanda kematian. Saat menjelang kematian merupakan saat kesempatan terakhir bagi setan untuk menjerumuskan. Menurut kisah itu, ada beberapa tanda kematian yang dirasakan Imam Al-Ghazali, 100 hari sebelum kematian tanda ini muncul setelah waktu Ashar, mulailah dengan hal hal yang baik dan jangan pernah menyakiti hati orang agar kematian kita baik atau khusnul khotimah, ada banyak bahasan tentang tanda-tanda kematian menurut imam al ghazali.

Tanda-tanda Manusia Menuju Kematian

Indahnya mati dalam keadaan husnul khotimah Salah satu tanda seorang Muslim akan masuk ke surga adalah mereka yang meninggal dalam keadaan khusnul khotimah, Dan yang mengetahui kematian seseorang khusnul khotimah atau su`ul khotimah secara hakiki hanyalah Allah Swt, namun Allah Swt menginformasikan tanda-tandanya, dan ada juga Tanda Kematian Yang Baik atau Khusnul Khotimah. Khusnul Khatimah secara bahasa bisa diartikan dengan akhir yang baik (happy ending). Dalam ilmu medis terdapat beberapa tanda yang muncul ketika seseorang sedang menghadapi kematian dan dinyatakan meninggal. Bagaimana peran perawat dalam menangani pasien Secara tradisional, tanda-tanda klinis kematian dapat dilihat Seseorang dalam keadaan sekarat, secara fisik tidak mampu menelan apapun.

Tanda-tanda Menghampiri Kematian

1. 100 hari sebelum kematian

100 hari sebelum mati tanda-tandany terjadi pada waktu Ashar, kita akan merasa kedinginan dan menggigil dari ujung rambut sampai kaki, getaran yang sangat kuat, serta terasa lain dari yang biasanya,

Bagi seseorang yang menyadari hal ini akan terasa indah, namun bagi orang yang tidak menyadari akan tanda kematian 100 hari menjelang ajal ini, maka tidak akan pengaruh apa-apa., 

2. 40 hari sebelum kematian

Pada waktu 40 hari menjelang kematian, tanda-tandanya adalah pada waktu Ashar, jantung akan berdenyut - denyut lebih kencang. Daun yang bertuliskan nama kita di lauh mahfudz akan gugur. Dan malaikat maut akan mengambil daun kita kemudian mulai mengikuti perjalanan kita sepanjang hari.

3. 7 hari sebelum kematian

Pada 7 hari sebelum ajal, kita akan diuji dengan rasa sakit, dan biasanya seseorang yang sedang sakit tidak selera makan. Tetapi ini berbeda, karena seseorang akan menjadi sangat berselera makan, dan maunya makan ini dan itu.

4. 3 hari sebelum kematian

3 hari menjelang ajal kita akan merasa denyutan ditengan dahi. Bila tanda ini sudah dirasa, dan kita sadar bahwa itu merupakan tanda kematian, maka lebih baik kita berpuasa, agar perut kita ini tidak terdapat banyak kotoran sehingga orang-orang akan lebih mudah ketika memandikan kita nanti.

5. 1 hari sebelum kematian


1 hari sebelum kematian tanda-tandanya adalah, pada waktu Ashar, kita akan merasa 1 denyutan di ubun-ubun, yang mana ini menandakan bahwa ini adalah waktu Ashar terakhir, dan besok sudah tidak menemui waktu Ashar lagi.

Bagi yang mati khusnul khotimah maka dibagian pusar akan terasa sejuk, kemudian ke pinggang lalu ketenggorokan, maka dalam kondisi sakaratul maut ini hendaklah kita mengucapkan 2 kalimat syahadat.


Kematian itu pasti ada. Ia ibarat “pintu”, setiap orang pasti akan memasukinya. Ia juga laksana “gelas”, setiap yang bernyawa pasti akan mencicipinya’. Hakikat ini telahdinyatakan di dalam Kitabullah, “Tiap-tiap jiwa (yang bernyawa) akan merasakan kematian.” (Qs. Ali ‘Imrân[3]: 185). Ya, kematian itu pasti datang. Ia bak pencuri, datang tanpa kaki dan mengambil nyawa manusia tanpa tangan. Dan, ia datang tidak pernah ‘ketuk pintu’ dan mengucapkan salam. Dia datang tiba-tiba. Namun, dia pasti datang. Imam ‘Ali karramallâhu wajhah pernah bertutur tentang hakikat kematian ini. “Jika hari kematianku telah tiba,bagaimana aku bisa lari dari kematianitu, hari dimana telah ditakdirkan untuktidak bisa atau bisa. Hari yangditakdirkan itu tidak aku takuti, karena yang telah ditakdirkan mati, tidaklah selamat dari kepastiannya.” 


Itulah kematian, tidak ada tempat untuk kita bersembunyi. Tidak seorangpun mampu melarikan diri dari kematian. Bahkan kematian itu yang akan menemui kita, kapan dan dimanapun. “Katakanlah (wahaiMuhammad) bahwa kematian yangkalian lari dari padanya, dia akanmenemui kalian” (Qs. Al-Jumu‘ah[62]: 8). Kita pun tidak dapatbersembunyi darinya: “Di mana sajakalian berada, kematian itu akanmendapatkan kalian, kendatipun kalian bersembunyi di balik benteng yangsangat tinggi lagi kukuh…” (Qs. Al-Nisâ’ [4]: 78). Pesan ‘Ali ibn Abi Thalib… Kematian bukan untuk ditakuti. Karena takut atau tidak takut, kematian akan datang. Yang penting adalah persiapan untuk menghadapi waktu datangnya kematian. Maka, ada dua hal penting berkenaan dengan kematian ini: [1]Banyak mengingatnya. Jangan lalaidalam hal ini. Kematian harus memilikifile spesial dalam qalbu kita.“Perbanyklah mengingat kematian, sebab seorang hamba yang banyak mengingatnya, maka Allah akan menghidupkan hatinya dan akan menghilangkan baginya rasa sakit kematian itu.” (HR. Al-Dailami); dan [2]Bersiap-siap dalam menyambutnya. Kita harus mempersiapkan amal sebanyak-banyak untuk kematian.

Rabu, 22 Juni 2016

30 Manusia Yang Pertama Dalam Islam




1. Nabi Sulaiman AS. : Orang yang pertama menulis Bismillah
2. Nabi Ismail AS. : Orang yang pertama minum air zamzam
3. Nabi Ibrahim AS. : Orang yang pertama berkhatan
4. Nabi Ibrahim AS. : Orang yang pertama diberikan pakaian pada hari qiamat
5. Nabi Adam AS. : Orang yang pertama dipanggil oleh Allah pada hari Kiamat
6. Sayyidatina Hajar (Ibu Nabi Ismail AS). : Orang yang pertama mengerjakan Sa'i antara Safa dan Marwah
7. Nabi Muhammad SAW. : Orang yang pertama dibangkitkan pada hari Kiamat
8. Abu Bakar As Siddiq RA. : Orang yang pertama menjadi khalifah Islam
9. Umar bin Al-Khattab RA. : Orang yang pertama menggunakan tarikh hijrah
10. Al-Hasan bin Ali RA. : Orang yang pertama meletakkah jawatan khalifah dalam Islam
11. Thuwaibah RA. : Orang yang pertama menyusukan Nabi SAW
12. Al-Harith bin Abi Halah RA. : Orang yang pertama syahid dalam Islam dari kalangan lelaki
13. Sumayyah binti Khabbat RA. : Orang yang pertama syahid dalam Islam dari kalangan wanita
14. Abdullah bin Amru bin Al-Ash RA. : Orang yang pertama menulis hadis di dalam kitab/lembaran
15. Saad bin Abi Waqqas RA. : Orang yang pertama memanah dalam perjuangan fisabilillah


16. Bilal bin Rabah RA. : Orang yang pertama menjadi muazzin dan melaungkan Adzan
17. Ali bin Abi Tholib RA. : Orang yang pertama bersembahyang dengan Rasulullah SAW
18. Tamim Ad-dary RA. : Orang yang pertama membuat minbar masjid Nabi SAW
19. Az-Zubair bin Al-Awwam RA. : Orang yang pertama menghunuskan pedang dalam perjuangan fisabilillah
20. Ibban bin Othman bin Affan RA. : Orang yang pertama menulis sirah Nabi SAW
21. Khadijah binti Khuwailid RA. : Orang yang pertama beriman dengan Nabi SAW
22. Imam Syafei RH. : Orang yang pertama mengasaskan usul Fiqh
23. Ali bin Abi Tholib RA. : Orang yang pertama membina penjara dalam Islam
24. Muawiyah bin Abi Sufyan RA. : Orang yang pertama menjadi raja dalam Islam
25. Harun Ar-Rasyid RH. : Orang yang pertama membuat perpustakaan awam
26. Umar Al-Khattab RA. : Orang yang pertama mengadakan baitul mal
27. Ali bn Abi Tholib RA. : Orang yang pertama menghafal Al-Qur'an selepas Rasulullah SAW
28. Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur RH. : Orang yang pertama membina menara di Masjidil Haram Mekah
29. Mus'ab bin Umair RA. : Orang yang pertama digelar Al-Muqry
30. Nabi Muhammad SAW. : Orang yang pertama masuk ke dalam syurga

Jima' di Siang Hari pada Bulan Ramadhan, Apakah Istri Kena "Kafarat"?




Bulan Ramadhan adalah bulan suci dan mulia. Seluruh kaum muslimin diwajibkan menjaga kemuliaannya dengan menunaikan kewajiban dan menjauhi larangan yang sudah ditentukan.
Adapun berhubungan intim yang dilakukan oleh sepasang suami-istri di satu sisi merupakan hal yang lumrah dan fitrah di lakukan, bahkan berpahala bagi keduanya. Hanya saja, khusus di bulan Ramadhan, hal yang satu ini dilarang untuk dilakukan di siang hari selama melaksanakan puasa. Larangan ini seiring waktu dengan dilarangnya makan dan minum serta hal-hal lain yang membatalkan puasa, yakni sejak terbitnya fajar shadiq (masuknya waktu shubuh) hingga terbenamnya matahari (masuknya waktu maghrib).

Ketika larangan ini dilanggar, maka ada sanksi yang menjadi konsekwensinya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ مَا لَكَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ وَ فِيْ رِوَايَةٍ أَصَبْتُ أَهْلِيْ فِيْ رَمَضَانَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا فَقَالَ فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لَا قَالَ فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ- وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ- قَالَ أَيْنَ السَّائِلُ فَقَالَ أَنَا قَالَ خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ فَقَالَ الرَّجُلُ عَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا -يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ -أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ


"Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata, ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata: “Wahai, Rasulullah, celaka !” Beliau menjawab,”Ada apa denganmu?” Dia berkata,”Aku berhubungan dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.” (Dalam riwayat lain berbunyi : aku berhubungan dengan istriku di bulan Ramadhan). 


Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,”Apakah kamu mempunyai budak untuk dimerdekakan?” Dia menjawab,”Tidak!” Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata lagi,”Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Dia menjawab,”Tidak.” Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya lagi : “Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?” Dia menjawab,”Tidak.” Lalu Rasulullah diam sebentar.


Dalam keadaan seperti itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diberi satu ‘irq berisi kurma –Al irq adalah alat takaran- (maka) Beliau berkata: “Mana orang yang bertanya tadi?” Dia menjawab,”Saya orangnya.” Beliau berkata lagi: “Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!” Kemudian orang tersebut berkata: “Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku”. 

Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian (Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam) berkata: “Berilah makan keluargamu!”

(HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits di atas diketahui bahwa Rasulullah memerintahkan si pemuda yang berbuat kesalahan karena telah menggauli istrinya di siang hari bulan Ramadhan itu untuk melakukan satu dari tiga hal:
1. Memerdekakan budak,
2. Berpuasa dua bulan berturut-turut
3. Memberi makan enam puluh orang miskin.


Ketentuan memberi makan 60 orang miskin itu adalah memberi masing-masing 1 mud. Hal itu dapat diketahui dari hadits di atas bahwa beliau memberi 1 al-irq pada pemuda itu untuk dibagikan pada 60 fakir miskin. Al-Irq adalah sebuah wadah bahan makanan yang dapat menampung 15 sha' yang takarannya sama dengan 60 mud. 


Menyikapi hadits Rasulullah di atas para Ulama Fiqih sepakat bahwa berjima' di siang hari bulan Ramadhan memiliki konsekwensi membatalkan puasa, sekaligus dikenai kaffarah atau denda untuk melaksanakan satu dari tiga hal di atas. 

Ketiga pilihan di atas tidaklah tersusun secara opsional, melainkan kewajiban yang harus dilakukan secara berurutan. Artinya, kaffarat nomor satu harus dilakukan terlebih dulu. Jika berhalangan, baru memilih opsi dua. Begitu juga, ketika opsi dua sudah dicoba namun ternyata lagi-lagi gagal, maka opsi ketiga boleh menjadi pilihan.

Hanya saja, Para ulama berbeda pendapat mengenai "SIAPA" yang wajib melaksanakan kaffarat itu. Apakah si suami saja, ataukah si istri saja, ataukah justru kedua-duanya kena kaffarat yang sama? Berikut pandangan mereka:





1. Suami & Istri, Keduanya dikenai Kaffarat.

Pendapat yang pertama ini didukung oleh para ulama dari madzhab Al-Hanafiyyah dan Al-Malikiyyah. Mereka mengatakan bahwa kaffarat jima' di siang hari bulan Ramadhan diwajibkan atas suami dan istri yang melakukannya, dengan syarat bahwa si istri juga menginginkankan tanpa ada paksaan dari pihak suami.

Pendapat ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Ibnul Humam dalam kitab yang beliau tulis yakni Fathul Qadir jilid 2 halaman 188, begitu juga Al-Kasani dalam Kitabnya Badai' As-Shanai' jilid 2 halaman 681. Keduanya adalah ulama 'pentolan' yang sangat dihormati dari madzhab Al-Hanafiyyah. Mereka mengatakan bahwa kaffarat diwajibkan atas suami dan juga istri, jika memang si istri juga menginginkan perbuatan itu tanpa adanya paksaan atau tekanan.

Pendapat ini juga didukung oleh ulama dari madzhab Al-Malikiyyah, Diantaranya Ibnu Abdil Barr dan Al-Qarafi:

Ibnu Abdil Barr (wafat 463 H.) menuliskan dalam kitabnya Al-Kafi fi Fiqhi Ahli Al-Madinah, jilid 1 halaman 342, bahwa jika seorang suami mengajak istrinya untuk berjima' di siang hari bulan ramadhan, kemudian istrinya taat dan tidak menolak, maka diwajibkan atas keduanya untuk melaksanakan kaffarat. Tidak sah jika kaffarah hanya di bayar satu kali untuk menebus perbuatan salah satu dari mereka.

Akan tetapi, beliau melanjutkan dalam penjelasannya, bahwa jika suami mengajak istrinya untuk bejima' di siang hari Ramadhan, lalu ia menolak, kemudian si suami memaksanya untuk melakukan jima', maka wajib atas suaminya membayar kaffarah untuk dua orang, yakni untuk menebus kesalahan yang dilakukan oleh dirinya sendiri dan oleh istrinya yang dia paksa itu.




Al-Qarafi, ulama dari madzhab yang sama dengan Ibnu Abdil Barr (Al-Malikiyyah) menuliskan dalam kitabnya Adz-Dzakhiroh, jilid 2 halaman 517, bahwa kaffarat itu ada dua macam. Yakni kaffarat shughra (kecil) dan kaffarah kubro (besar). Yang termasuk dalam kaffarah kubro adalah membatalkan puasa Ramadhan dengan sengaja tanpa adanya udzur syar'i, baik dengan makan dan minum ataupun dengan berjima' di siang hari. Al-Qarafi menjelaskan bahwa jika puasa Ramadhan dibatalkan dengan sebab melakukan jima', maka kaffarat kubro diwajibkan atas suami dan juga istrinya, jika memang si istri juga menginginkan terjadinya jima' tanpa ada penolakan ataupun paksaan.


Pendapat ini juga didukung oleh  sebagian kecil dari kalangan madzhab As-Syafi'iyyah. salah satunya Zakariyya Al-Anshori, sebagaimana yang ditulis yang kitabnya Asnal Mathalib Syarh Raudh At-Thalib, jilid 1 halaman 425. Beliau mengatakan bahwa istri juga dikenai kaffarat jika melakukan jima' di siang hari karena keinginannya sendiri, tanpa paksaan.


2. Kewajiban Kaffarat Hanya Atas Suami Saja



Selain dari ulama di atas, beberapa ulama lain berpendapat bahwa jika sepasang suami istri melakukan hubungan badan di siang hari bulan Ramadhan, maka yang wajib untuk melaksanakan kaffarat hanya suami saja. Sedangkan istrinya tidak dikenai kewajiban kaffarat.


Pendapat ini didukung oleh mayoritas ulama dari madzhab As-Syafi'iyyah. Antara lain Ibnu Hajar Al-Haitami (wafat 974 H.) dan Imam An-Nawawi (wafat 676 H.). Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj Fi Syarh Al-Minhaj, jilid 3  halaman 450, Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan: 



"Kewajiban kafarat hanya untuk sang suami saja. Karena nabi Muhammad SAW tidak memerintahkan kewajiban kafarat kepada istri dari seorang suami yang berjima’, walaupun ia (si istri) punya andil yang menyebabkan terjadinya jima'.


Sedangkan Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab jilid 6, halaman 334 memaparkan sebagai berikut:



"Mengenai siapa yang dikenai kaffarat itu ada tiga pendapat:  dan yang paling benar dalam madzhab ini (As-Syafi'iyyah) adalah pendapat yang mengatakan bahwa kaffarat itu diwajibkan atas suami, yakni membayar denda atas dirinya sendiri, tanpa ada kewajiban apapun bagi si suami atas tindakan yang dilakukan istrinya. Begitu pula si istri, ia tidak dikenai kaffarat apapun atas tindakan (jima') yang dilakukannya".


Imam madzhab ini, yakni Al-Imam As-Syafi'i dalam satu riwayat mengatakan:

لَا تَجِبُ عَلَيْهَا لِأَنَّهَا مُتَعَلِّقَةٌ بِالْجِمَاعِ وَهُوَ فِعْلُهُ وَإِنَّمَا هِيَ مَحَلُّ الْفِعْلِ



"istri tidak wajib melakukan kaffarat, sebab ia merupakan objek dimana jima' itu dilakukan, Sedangkan pelaku sebenarnya adalah suami"


Pendapat senada juga dinyatakan oleh sebagian besar ulama dari madzhab Al-Hanabilah, antara lain Al-Mardawi (wafat 885 H.) dalam kitabnya Al-Inshof jilid 3 hal 313. Beliau mengatakan:



"Tidak wajib bagi sang istri untuk membayar kafarat jima’. Ini adalah pendapat resmi madzhab Al-Hanabilah. Dan ini juga pendapat sebagian besar ulama dari madzhab ini."


Ibnu Hazm, seorang ulama Fiqih dari madzhab Adz-zahiriyyah juga mengatakan bahwa kewajiban kaffarah hanya diwajibkan atas suami saja, sedangkan istri tidak dikenai kewajiban itu. Dalam kitabnya Al-Muhalla Bil 'Atsar Jilid 4 halaman 327, beliau mengatakan:


"Istri itu disetubuhi. Yang disetubuhi tidak sama dengan yang menyetubuhi. Maka kewajiban kafarat itu gugur atas sang istri"


Demikian pendapat-pendapat para ulama Fiqih dari berbagai mazdhab yang ada. Ulama dari madzhab Al-Hanafiyyah dan Al-Malikiyyah mengatakan bahwa jika suami-istri melakukan hubungan badan di siang hari bulan Ramadhan, maka keduanya dikenai kewajiban kaffarat. Baik itu atas si suami, maupun si istri. Dengan syarat bahwa si istri juga menginginkannya. Artinya, saat suami mengajaknya berhubungan, si istri tidak menolak dan suamipun tidak memaksanya. Akan tetapi, jika istri menolak, kemudian suami memaksanya, sehingga jima' bena-benar terjadi, maka si suami dikenai kewajiban kaffarat dua kali lipat. Satu untuk menebus kesalahannya, satu lagi untuk menebus karena telah  membuat istrinya membatalkan puasa dengan berjima'.


Sedangkan para ulama dari madzhab As-Syafi'iiyah dan juga Al-Hanabilah berbeda pandangan. Mereka mengatakan bahwa jika terjadi jima' di siang hari bulan Ramadhan, maka kewajiban kaffarat hanya dibebankan atas suami. Sebab, bagaimanapun jima' tidak akan terjadi jika suami tidak menginginkannya. Pendapat ini juga didukung oleh pendapat ulama dari madzhab Ad-Dzahiriyyah.