Senin, 30 Mei 2016

Pengertian Tentang Niat, Do’a, Syarat, Manfaat, Rukun dan Tata Cara "WUDHU" Sesuai Ajaran Islam




Wudhu merupakan salah satu syarat yang dilakukan sebelum mengerjakan Shalat. Jika wudhunya benar dan diterima, tentu kemungkinan besar shalatnya pun akan diterima. Namun, jika wudhunya tidak benar dan tidak diterima, sebagus apapun shalat maka tetap shalatnya tidak sah dan tidak akan diterima. Hal ini seperti sabda Rasulullah “Bersuci atau berwudhu adalah sebagian dari iman (HR. Muslim)” dan “Tidak diterima shalatmu tanpa bersuci atau wudhu (HR. Muslim)”.

Pengertian Wudhu

Adapun pengertian wudhu sendiri adalah membasuh atau mencuci seluruh anggota badan yang sudah ditetapkan dengan air sebelum melakukan Shalat. Sedangkan menurut Hanafiyah pengertian Wudhu adalah mensucikan diri menggunakan air untuk dibasuh ke empat bagian tubuh antara lain wajah, kedua tangan, kepala dan kedua telapak kaki. Ke empat bagian tubuh ini wajib dibasuh atau disucikan dengan air. Sedangkan ada pula 7 bagian tubuh lainnya yang wajib dibasuh atau disucikan antara lain mulut, hidung, muka, tangan rambut, telinga dan kedua kaki.

Manfaat dan Keutamaan Wudhu

Ada banyak sekali manfaat serta keutamaan berwudhu yang sudah dijelaskan oleh Rasulullah seperti: “Sungguh umatku kelak akan datang pada hari kiamat daam keadaan muka dan kedua tangannya kemilau bercahaya karena bekas berwudhu“. dan “Barang siapa yang berwudhu secara sempurna, maka dosa-dosanya akan gugur atau hilang di jasadnya hingga keluar juga dari bawah kuku-kukunya“.

Jika melihat sabda Rasulullah diatas, sudah dapat dipastikan bahwa amatlah penting wudhu itu. Oleh karena itu kita sebagai umatnya harus bisa melakukan wudhu dengan baik dan benar yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah dan ajaran islam.

Bacaan Niat Wudhu Sesuai Ajaran Islam

Sebelum melakukan wudhu, yang pertama kali harus dilakukan adalah membaca niatnya. Karena niat merupakan syarat wajib untuk berwudhu. Nah, sudah tau bagaimana bacaan niat wudhu itu? Kalau belum, yuk simak penjelasannya di bawah ini.


Syarat Sah Wudhu

Yang dimaksud dengan syarat sah wuhu itu adalah jika tidak melakukan hal ini, maka wudhunya tidak akan sah. Berikut syarat sah wudhu.
  1. Beragama Islam.
  2. Munayyiz, maksudnya adalah bisa membedakan mana yang benar dan yang salah. Munayyiz biasanya datang saat seseorang sudah menginjak usia 7 tahun. AKan tetapi, di bawah usia 7 tahun juga sudah bisa diajarkan berwudhu. Hal ini agar anak menjadi lebih terbiasa.
  3. Berwudhu harus menggunakan air suci lagi menyucikan. Air yang dimasksud antara lain: air hujanm air sungai, air dari sumber mata air, air sumur, air laut, air embun dan air salju.
  4. Tidak ada yang menahan sampai airnya ke anggota wudhu, seperti cat atau kotoran yang menempal.
  5. Khusus untuk perempuan tidak dalam keadaan nifas atau haidh.

    Rukun Wudhu

    Yang dimaksud dengan rukun wudhu yakni suatu bagian dari sebuah amalan yang apabila ditinggalkan atau tidak dilakukan maka amalan tersebut tidak sah. Sebutan nama lain dari rukun adalah fardhu. Adapun rukun atau fardhu wudhu terbai menjadi enam, antara lain sebagai berikut:

    1. Niat wudhu ketika sedang membasuh muka

    Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah yang berbunyi: “Bahwasanya setiap perbuatan itu berdasarkan niatnya“. Niat ini dilakukan saat pertama kali membasuh muka. Niat ini boleh diucapkan menggunakan Bahasa Arab atau tidak mengucapkan sekalipun juga boleh.

    2. Membasuh Muka

    Hal ini berdasarkan salah satu firman Allah yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika kalian hendak melakukan shalat maka basuhlah muka, kedua tanganmu hingga siku, sapulah sebagian dari kepalamu dan basuhlah kedua kakimu sampai kedua mata kaki“. (QS. Almaidah: 6)

    Lantas batas mana saja yang dikatakan muka dalam ayat terrsebut?
    Adapun yang termasuk bagian dari muka, yakni dari awal tumbuhnya rambut (pertemuan rambut dan dahi) sampai dagu. Kemudian dari awal telinga kanan sampai ke telinga sebelah kiri, termasuk didalamnya jambang dan kulit pemisah antara telinga dan jambang. Jika jenggot atau jambang tipis, maka wajib digosok0-gosok supaya air wudhu sampai merata ke seluruh bagian. Namun jika terlalu tebal, maka cukup dibasuh yang atasnya saja tidak usah sampai digosok-gosok hingga ke akarnya.

    3. Membasuh kedua tangan sampai siku.

    Kebanyakan orang jarang memperhatikan air wudhu apakah sampai siku atau tidak. Oleh karena itu, pastikan air menyentuh seluruh bagian siku secara merata. Lebih bagus jika dilebihkan sedikit ke atas untuk berjaga-jaga memastikan semua siku semua terkena air.

    4. Menyapu sebagian dari kepala

    Yang dimaksud di sini adalah kulit kepala maupun rambut yang masih terdapat di area kepala. Sapulah area kepala dengan membasahi tangan secara merata.

    5. Membasuh kedua kaki sampai mata kaki.

    6. Tertib

    Maksudnya adalah tertib sesuai urutan dari awal hingga akhir. Dimulai dari niat, kemudian memasuh kedua tangan sampai siku, menyapu sebagian kepala dan terakhir membasuh kedua kaki sampai mata kaki. Semua rukun wudhu ini tentu sesuai apa yang dilakukan oleh Rasulullah.

    Cara Berwudhu yang Baik dan Benar

    1. Awali dengan membaca Bismillah sambil mencuci kedua tangan hingga bersih.
    2. Membersihkan mulu atau berkumur sebanyak 3 kali. Usahakan air kumurnya dibuang ke arah kiri.
    3. Langkah selanjutnya adalah menghirup air ke dalam hidung sambil membersihkannya.
    4. Membasuh muka dari awal ujung rambut hingga ujung dagu, jangan sampai ada satu bagian muka yang terlewatkan sedikitpun.
    5. Membasuh atau mengusap kedua tangan sampai siku hingga bersih dan merata sebanyak 3 kali.
    6. Jika beres kedua tangan, kemudian mengusap sebagian rambut kepala sebanyak satu kali atau tiga kali.
    7. Mengusap atau membasuh kedua telinga kanan dan telinga kiri sebanyak satu kali atau tiga kali.
    8. Langkah terakhir adalah membasuh atau mencuci kedua telapak kaki dari ujung kaki hingga mata kaki sebanyak satu atau tiga kali.

    Sunnah Wudhu

    Sunnah wudhu maskdunya adalah segala sesuatu atau hal yang jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak mendpat dosa. Namun lebih baik, kita selaku umat rasulullah selayaknya mencontoh sunnah-sunnah yang sudah beliau contohkan.
    Berikut ini sunnah wudhu ada 11, antara lain:
    1. Membaca bismillah ketika akan berwudhu.
    2. Membasuh kedua tangan sampai pergelangan.
    3. Kumur-kumur (madhmadhah).
    4. Menyela-nyela atau menggosok-gosok jenggot yang tebal.
    5. Membersihkan hidung dengan cara memasukkan air kedalam hidung (Istinysaq). Selanjutnya mengeluarkannya kembali (Istinyar).
    6. Menyapu atau mengusap seluruh kepala.
    7. Menyapu atau mengusap kedua telinga.
    8. Menyela-nyela atau menggosok-gosok jari-jari tangan dan kaki.
    9. Bersuci sebanyak tiga kali.
    10. Mualat, maksudnya tidak melakukan jeda antara mengerjakan satu rukun dengan rukun yang lainnya..
    11. Berdoa dan bershalawat sesudah berwudhu.

    Penyebab-penyebab yang Membatalkan Wudhu

    1. Kencing
    2. Bunag Air Besar
    3. Kentut
    4. Keluar Mani
    5. Keluar Wadi
    6. Keluar Madzi
    7. Senggama atau Jima’

    Membaca Doa Sesudah Wudhu

    Jika kamu telesah selesai wudhu, jangan lupa untuk membaca Do’a setelah berwudhu. Membaca Do’a ini hukumnya adalah sunnah. Adapun bacaan doa setelah wudhu bisa kamu lihat dibawah ini.


    Setelah selesai membaca do’a itu, kemudian segeralah untuk melakukan shalat. Bagaimanpun, wudhu merupakan salah satu syarat wajib shalat. Oleh karena itu sekali lagi kami ingatkan. Belajar wudhu lah dari sekarang agar shalat kita juga bisa diterima oleh Allas swt.

      Kamis, 26 Mei 2016

      Sifat "QANA'AH" yang Harus Dimiliki Dalam Kehidupan Suami-Istri




      Dalam kehidupan Suami-Istri, sikap Qana'ah atau saling menerima apa adanya, juga dalam hal masalah kebendaan (duniawi) sangat dibutuhkan.

      Terutama bagi seorang istri tanpa adanya sifat qana'ah maka bisa dibayangkan bagaimana susahnya seorang suami. Setiap tiba dirumah maka yang terdengar adalah keluhan-keluhan, belum punya ini belum punya itu, ingin beli perhiasan, pakaian baru, sepatu baru, jilbab baru, perkakas rumah tangga, furniture, dan lain-lainnya.

      Alhamdulillah bila sang suami memiliki banyak harta apabila tidak maka yang terjadi adalah pertengkaran dan perselisihan melihat kedudukan suami dengan sebelah mata karena gaji yang kecil. Terkadang keluar keluhan bila si Fulan bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar mengapa engkau tidak? sehingga impian membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah warrahmah semakin jauh. Hati menjadi resah dan gundah lalu hilanglah rasa syukur, baik kepada suami maupun kepada Allah.

      Bila hal ini sudah menimpa pada seorang istri maka waspadalah ya ukhti, sesungguhnya engkau telah membebani suamimu diluar kemampuannya. Engkau telah membuatnya terlalu sibuk dengan dunia untuk memenuhi segala keinginanmu.

      Berapa banyak kaum suami yang meninggalkan majelis ilmu syar’i demi mengejar uang lemburan? sebelum menikah rajin datang ke tempat majelis ilmu setelah menikah jarang terlihat lagi, mungkin tadinya datang setiap minggu sekarang frekuensinya menjadi sebulan dua kali atau sekali bahkan mungkin tidak datang lagi!!! Atau berapa banyak kaum suami yang rela menempuh jalan yang diharamkan Allah Ta’ala demi membahagiakan sang istri tercinta. Yang terakhir ini banyak ditempuh oleh para suami yang minim sekali ilmu agamanya sehingga demi ”senyuman sang istri” rela ia menempuh jalan yang dimurkai-Nya. Wal’iyyadzu billah.

      Para istri, engkau adalah sebaik-baik perhiasan diatas muka bumi ini. Maka jadilah wanita dan istri yang shalihah, itu semua bisa dicapai bila engkau mampu mengendalikan hawa nafsumu, bergaul hanya dengan kawan-kawan yang shalihah dan berilmu, dan tutuplah matamu bila engkau melihat sesuatu yang tidak mungkin bisa engkau raih, lihatlah kebawah masih banyak yang lebih menderita dan lebih miskin hidupnya dibandingkan engkau. Maka akan kau temui dirimu menjadi orang yang mudah mensyukuri nikmat-Nya. Sifat qana’ah ibarat mutiara yang terpendam di bawah laut, barangsiapa yang bisa mengambilnya dan memilikinya maka beruntunglah ia.

      Seorang istri yang memiliki sifat qana’ah ini maka dapat membawa ketentraman dan kedamaian dalam rumah tangganya. Suami merasa sejuk berdampingan denganmu, rasanya akan enggan ia menjauh darimu. Betapa bahagianya para suami yang memiliki istri yang qana’ah, para istri bisa memiliki sifat ini bila ia mau berusaha sekuat tenaga dan berdo’a kepada Allah semata.


      Manusia seringkali merasa lupa atas segala nikmat yang telah dilimpahkan oleh Allah SWT. Kebanyakan dari manusia tersebut melupakan dan bahkan selalu merasa kurang atas segala apa yang telah ia miliki, sehingga dirinya pun seringkali diliputi perasaan iri dan dengki atas nikmat yang didapatkan oleh orang lain tersebut. Hal ini tentunya adalah merupakan kecenderungan manusia yang selalu tidak akan merasa puas dengan apa yang dimilikinya.

      Padahal, jika kita mau mensyukuri apa yang ada pada diri kita , terlebih lagi jika kita bisa memahami bahwa seluruh yang ada di dunia ini itu hanyalah titipan dan cobaan Allah SWT semata, maka niscaya kita pun akan bisa untuk lebih bersikap bijak dalam hal berfikir dan otomatis hati ini akan terasa tenang dalam menghadapi berbagai gejolak kehidupan.

      Qanaah ini seharus-nya menjadi sifat dasar bagi setiap umat muslim, sebab sifat Qanaah tersebut mampu menjadi pengendali agar tidak surut dalam mengambil keputusan dan tidak terlalu maju (menggebu-gebu) dalam keserakahan. Qanaah ini bukan berarti hidup bermalas-malasan, dan tidak mau berikhtiar (berusaha) sebaik-baiknya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Justru, orang yang mempunyai sifat Qanaah ini akan selalu giat berusaha dan bekerja. Namun, apabila hasilnya itu tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya, maka dengan besar hati ia pun akan tetap rela menerima hasil tersebut dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT. Nah… Sikap yang demikian ini yang akan mampu mendatangkan rasa penuh ikhlas dalam kehidupannya dan niscaya dengan sifat Qanaah ini kita akan jauh dari sifat Tamak.

      Qanaah menurut bahasa artinya adalah “merasa cukup”. Adapun menurut istilah, Qanaah berarti merasa cukup atas apa yang telah dikaruniakan Allah SWT kepada kita sehingga kita pun mampu menjauhkan diri dari berbagai sifat tamak tersebut. Dalam artian sifat Qanaah ini diperoleh berdasarkan pemahaman bahwasanya segala rezeki yang kita dapatkan ini adalah sudah menjadi ketentuan Allah SWT.

      Baginda Rasulullah SAW, bersabda:

      “Jadilah kalian orang yang Wara’, (maka) dengan demikian kalian akan menjadi orang yang lebih (dalam) beribadah. Jadilah kalian orang yang bersikap Qanaah, maka dengan demikian kalian (akan) menjadi manusia yang lebih banyak bersyukur kepada sesama manusia” (HR. Al-Baihaqi).



      Berikut ini adalah Cara Menggapai Sifat Qanaah:

      1. Dengan Memperkuat Keimanan Kita Kepada Allah SWT.

      Dengan memperkuat dan mempertebal keimanan kita pada Allah SWT, maka kita otomatis akan mampu mengurangi rasa tamak pada dunia dan seisinya ini. Tingkat keimanan seseorang pada Allah SWT akan berbanding lurus dengan sikap Qanaahnya (semakin tinggi tingkat keimanan seseorang tersebut, maka semakin memuncak pula tangga Qanaahnya tersebut).

      2. Dengan Merenungi Ayat-Ayat Al-Qur’an

      Hal ini sangat penting untuk menambah tingkat Qanaah, terutama mengkaji dan merenungi ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan masalah rezeki dan usaha, sebagaimana Firman Allah SWT:

      مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

      “Apa saja yang Allah SWT anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada (seorang pun) yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan-Nya maka tidak ada (seorang pun) yang sanggup untuk melepaskannya setelah itu. Dan Dialah (Allah SWT) Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana” (QS. Fatir: 2).

      3. Meyakini Bahwa Setiap Rezeki Sudah Ada Alamatnya

      Sebagai seorang Muslim, kita seharusnya yakin bahwa rezeki kita sudah tertulis sejak diri kita berada dalam kandungan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, bahwa Baginda Rasulullah SAW bersabda:

      ”Kemudian Allah SWT mengutus kepadanya (janin) seorang malaikat, lalu ia diperintahkan menulis empat kalimat (ketetapan). Maka, ditulislah : “Rezekinya”, “Ajalnya”, “Amalnya”, “Celaka dan Bahagianya”.“ (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad)

      4. Sering Memohon Untuk Diberikan Sifat Qanaah kepada Allah SWT

      Baginda Rasulullah SAW adalah manusia paling Qanaah, Beliau adalah manusia yang paling Ridha dengan apa yang ada, dan Beliau yang paling banyak Zuhudnya. Beliau juga seorang yang paling kuat iman dan keyakinannya. Akan tetapi demikian, Beliau masih meminta kepada Allah SWT supaya Beliau diberikan sifat Qanaah, sebagaimana beliau berdoa:

      “Ya.. Allah.., berikanlah aku sikap Qanaah terhadap apa yang Engkau rezekikan kepadaku, berikanlah pemberian itu dan gantilah dari sehala yang luput (hilang) dariku dengan yang lebih baik” (HR. Al-Hakim, Beliau menshahihkannya dan disetujui oleh Adz-Dzahabi).


      5. Mengetahui Hikmah Perbedaan Rezeki

      Diantara hikmah perbedaan rezeki pada manusia adalah supaya terjadi dinamika kehidupan manusia di muka bumi. Antara si kaya dan si miskin akan terjadi saling tukar manfaat, tumbuh aktivitas perekonomian, dan berinteraksi saling membantu. Allah SWT berfirman:

      “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu…? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Q.S. Az-Zuhkruf : [32]).

      6. Menyadari Bahwa Rezeki Tidak Diukur Dengan Kepandaian

      Kita haruslah menyadari betul bahwasanya rezeki seseorang itu tidak hanya tergantung pada kecerdasan akal semata. Dan rezeki itu juga bukan hanya bergantung pada banyaknya aktivitas dan keleluasan ilmu saja, ya… meskipun hal itu merupakan salah satu penyebabnya. Akan tetapi, Kesadaran mengenai hal ini tentunya akan menjadikan seseorang tersebut bersikap Qanaah, terutama ketika melihat orang yang lebih bodoh, ketika melihat yang lebih rendah pendidikannya dan bahkan tidak mempunyai pengalaman sedikitpun, namun mampu mendapatkan rezeki lebih banyak darinya. Sikap ini tidak akan memunculkan kedengkian.

      7. Melihat Ke Bawah Dalam Hal Dunia

      Dalam urusan dunia, hendaknya kita melihat kepada yang lebih rendah, tidak melihat kepada yang lebih tinggi. Sebagaimana Baginda Rasulullah SAW bersabda:

      “Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kamu dan janganlah (kamu) melihat kepada orang yang lebih tinggi darimu. Hal yang demikian lebih layak agar kalian itu tidak meremehkan nikmat Allah SWT” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

      8. Membaca Kehidupan Para Salaf

      Maksudnya adalah kita melihat bagaimana keadaan mereka dalam menyikapi kehidupan dunia ini, bagaimana menyikapi kezuhudan dan sikap Qanaah mereka terhadap apa yang mereka peroleh meskipun hanya sedikit. Diantara mereka ada yang memperoleh harta melimpah, Namun mereka justru memberikannya kepada yang lain dan yang lebih membutuhkan.

      9. Menyadari Beratnya Tanggung Jawab Harta

      jika harta ini tidak diperoleh dan dibelanjakan dengan cara baik menurut syariat Islam, maka harta ini akan mengakibatkan keburukan dan mengakibatkan bencana bagi si pemiliknya. Ketika seorang hamba ditanya tentang umur, badan, dan ilmunya, maka ia hanya akan ditanya dengan satu pertanyaan, yakni : Untuk apa?. Adapun mengenai Harta, maka ia akan ditanya dua kali, yakni: Dari mana memperolehnya dan kemana membelanjakannya?.

      Saudaraku, Hal ini telah menunjukkan betapa beratnya hisab orang yang diberi amanah harta yang banyak tersebut, sehingga dia harus dihisab lebih lama dibandingkan orang yang lebih sedikit hartanya.

      10. Orang Fakir dan Kaya Sama Saja Di Sisi Allah SWT

      Tak ada perbedaan antara orang yang kaya dan miskin. Sebab, orang kaya tidak mungkin memanfaatkan seluruh kekayaannya dalam satu waktu. Dia tidak makan kecuali sebanyak yang dimakan orang kafir. Bahkan jika Allah berkehendak bisa jadi orang fakir makan lebih banyak. Andaikan orang kaya memiliki seratus potong baju, dia juga hanya akan memakai sepotong saja, sama dengan yang dipakai oleh orang Fakir.

      Semoga kita menjadi orang yang diberikan oleh Allah sifat Qanaah tersebut. Aamiin!


      Selasa, 24 Mei 2016

      Apakah ALLAH Memiliki Wajah?




      Allah ta’ala berfirman:

      لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ


      “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuura: 11)


      Syaikh Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan di dalam kitab tafsirnya, “[Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya] maknanya tidak ada yang menyerupai Allah ta’ala dan tidak ada satu makhluk pun yang mirip dengan-Nya, baik dalam Zat, nama, sifat maupun perbuatan-perbuatan-Nya. Hal ini karena seluruh nama-Nya adalah husna (paling indah), sifat-sifatNya adalah sifat kesempurnaan dan keagungan……”


      Beliau melanjutkan, “[dan Dia Maha Mendengar] maknanya Dia Maha Mendengar segala macam suara dengan bahasa yang beraneka ragam dengan berbagai macam kebutuhan yang diajukan. [Dia Maha Melihat] maknanya Allah bisa melihat bekas rayapan semut hitam di dalam kegelapan malam di atas batu yang hitam……”


      Beliau melanjutkan, “Ayat ini dan ayat yang semisalnya merupakan dalil Ahlu Sunnah wal Jamaah untuk menetapkan sifat-sifat Allah dan meniadakan keserupaan sifat Allah dengan sifat makhluk. Di dalam ayat ini terdapat bantahan bagi kaum musyabbihah (kelompok yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk -ed) yaitu dalam firman-Nya:


      لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

      “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.”


      Juga bantahan bagi kaum mu’aththilah (kelompok yang menolak penetapan sifat Allah -ed) dalam firman-Nya.


      وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ


      “Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”



      Tidak Ada Sesuatu Pun yang Serupa Dengannya


      Saudaraku, ayat ini adalah ayat yang sangat penting yang dijadikan para ulama sebagai pedoman dalam hal keimanan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah. Perlu kita ketahui bersama bahwa dalam mengimani nama-nama dan sifat Allah, kita harus bersikap sebagaimana sikap seorang muslim yang baik. Imam Syafi’i mengatakan, “Aku beriman kepada Allah dan segala berita yang datang dari Allah sesuai dengan maksud Allah. Aku beriman kepada Rasulullah dan berita yang datang dari Rasulullah sesuai dengan maksud Rasulullah.” (lihat Lum’atul I’tiqad, Imam Ibnu Qudamah). Oleh sebab itu yang kita jadikan pegangan dalam memahami ayat ataupun hadits adalah petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya. Bukankah Allah ta’ala telah menerangkan bahwa al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Allah juga menerangkan bahwa Nabi Muhammad benar-benar menunjukkan kepada jalan yang lurus. Oleh karena itu marilah kita cermati ayat di atas dengan seksama.


      Pada penggalan ayat yang pertama Allah menyatakan (لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ). Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. (المِثْل) dalam bahasa Arab bermakna Asy-Syibhu wan Nadhiir (serupa dan sepadan) (lihat Mu’jamul Wasiith, cet Maktabah Islamiyah, hal. 854). Maka arti dari ayat ini adalah tidak ada sesuatu pun yang serupa dan sepadan dengan Allah. Pada penggalan ayat yang kedua Allah menyatakan (وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِي) Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (السَّمِيعُ) berasal dari kata (سَمِعَ) yang artinya mendengar. Sedangkan (البَصِيرُ) berasal dari kata (بَصَرَ ) yang artinya melihat. Nah, perhatikanlah terjemahan ayat ini dengan baik dan simaklah soal jawab berikut ini.

      1. Bukankah di dalam ayat ini Allah menyatakan tidak ada sesuatu pun yang serupa dan sepadan dengan-Nya? Anda tentu akan menjawab iya
      2. Bukankah di dalam ayat ini Allah menyatakan bahwa Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat? Anda tentu akan menjawab iya
      3. Nah, sekarang apakah kemampuan mendengar yang dimiliki Allah sama dengan kemampuan mendengar yang dimiliki makhluk? Tentu Anda akan menjawab tidak
      4. Apakah kemampuan melihat yang dimiliki Allah sama dengan kemampuan melihat yang dimiliki makhluk? Tentu Anda akan menjawab tidak
      5. Apakah makhluk memiliki sifat mendengar dan melihat? Anda tentu menjawab iya.
      6. Apakah sifat mendengar dan melihat yang ada pada makhluk serupa dengan sifat mendengar dan melihat yang ada pada Allah ? Anda tentu menjawab tidak.
      7. Apakah letak kesamaan antara sifat Allah dan sifat makhluk itu? Jawabnya adalah sama namanya, akan tetapi hakikatnya berbeda.
      8. Nah, dari sini, maka kalau Allah menyebutkan di dalam ayat atau hadits bahwa Allah memiliki sebuah sifat tertentu yang nama sifat tersebut sama dengan nama sifat yang ada pada makhluk, apakah kita akan mengatakan bahwa sifat Allah itu sama dengan sifat makhluk? Tentunya tidak. Karena sama nama belum tentu hakikatnya sama. Manusia punya kaki, gajah punya kaki. Akan tetapi hakikat kaki gajah berbeda dengan kaki manusia. Sesama makhluk saja bisa terjadi sama nama dengan hakikat yang berbeda. Maka antara makhluk dengan Allah tentu jauh lebih berbeda. Makhluk disifati dengan berbagai kekurangan sedangkan Allah disifati dengan berbagai kesempurnaan. Apakah sama Zat yang sempurna dengan yang penuh kekurangan? Tentu tidak! Maka demikian pula dalam menyikapi sifat wajah. Allah telah menyebutkan di dalam Al Quran maupun As Sunnah bahwa Dia memiliki wajah maka kita katakan pula bahwa wajah Allah tidak sama dengan wajah makhluk, meskipun sama namanya yaitu wajah. Lalu apa susahnya (mengakui bahwa Allah memiliki wajah -ed)?

      Dalil dari Al-Qur’an


      Kalau kita mencermati ayat-ayat al-Qur’an maka niscaya akan kita temukan sekian banyak ayat yang menyebutkan tentang wajah Allah. Di antaranya adalah:


      “… Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari wajah Allah.” (QS. Al-Baqarah: 272)


      “Dan orang-orang yang sabar karena mencari wajah Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik)” (QS. Ar-Ra’d: 22)


      “Maka berikanlah kepada Kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari wajah Allah; dan mereka Itulah orang-orang beruntung.” (QS. Ar-Ruum: 38)


      “Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mengharapkan wajah Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Ruum: 39)


      “Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman: 27)

      “Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari wajah Tuhannya yang Maha tinggi.” (QS. Al-Lail: 20)


      Dalil dari As-Sunnah


      Kalau kita membuka hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka niscaya akan kita dapatkan sekian banyak hadits yang menyebutkan tentang keberadaan wajah Allah, diantaranya adalah: HR. Bukhari : 54, 407, 431, 113, 1197, 1213, 2917, 3153, 3608, 3623, 3643, 3741, 3773, 3990, 3991, 4057, 4982, 5236, 5599, 5635, 5817, 5861, 5896, 5943, 5967, 6236, 6425, HR. Muslim : 828, 1052, 1562, 1759, 1760, 3076, 5297 (karena hadits yang berbicara tentang hal ini terlalu banyak maka kami mencukupkan diri untuk menyebutkan nomor haditsnya saja, itupun yang ada dalam Shahih Bukhari dan Muslim saja belum ditambah dengan referensi dari kitab-kitab yang lainnya)


      Penjelasan Ulama


      Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan: “Wajah (Allah) merupakan sifat yang terbukti keberadaannya berdasarkan dalil Al-Kitab, As-Sunnah dan kesepakatan ulama salaf.” Kemudian beliau menyebutkan ayat ke-27 dalam surat Ar-Rahman… (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 48) Beliau menjelaskan di dalam kitabnya yang lain: “Nash-nash yang menetapkan wajah dari Al-Kitab dan As-Sunnah tidak terhitung banyaknya, semuanya menolak ta’wil kaum mu’aththilah yang menafsirkan wajah dengan arah, pahala atau dzat.

      Sedangkan keyakinan yang dipegang oleh para pengikut al-haq yaitu menetapkan bahwasanya wajah adalah sifat dan bukan dzat. Dan penetapan sifat tersebut tidaklah melahirkan konsekuensi dzat Allah ta’ala tersusun dari berbagai anggota tubuh (seperti makhluk -pent) sebagaimana yang dikatakan oleh kaum Mujassimah. Akan tetapi sifat itu benar-benar sifat Allah yang sesuai dengan keagungan-Nya. Wajah-Nya tidak menyerupai wajah apapun. Dan wajah apapun tidak ada yang menyerupai wajah-Nya…” (lihat Syarah ‘Aqidah Wasithiyah)


      Apakah Kata Wajah Itu Bermakna Hakiki?


      Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya hukum asal suatu kata di dalam ayat maupun hadits harus dimaknai dengan makna hakiki. Tidak boleh menyimpangkan makna hakiki kepada makna lainnya kecuali apabila ada dalilnya yang tepat. Demikian pula hukum asal kata dalam ayat atau hadits adalah dimaknai sebagaimana adanya (zhahir nash). Tidak boleh menta’wilnya kecuali apabila ada dalilnya yang tepat. (silakan baca kitab-kitab Ushul Fiqih) Oleh sebab itu kita katakan bahwa kata wajah adalah bermakna wajah yang sebenarnya, bukan majas dan bukan makna yang lainnya.


      Kalau muncul pertanyaan:


      “Bukankah kalau kita menetapkan Allah punya wajah berarti kita telah menyerupakan Allah dengan makhluk? Bukankah Allah berfirman laisa kamitsilihi syai’un ?!”



      Apakah dalam pandangan kalian, Allah melihat dan mendengar? Kalau kalian menjawab iya. Karena Allah sendiri menyatakan wahuwas samii’ul bashiir.



      Apakah sifat mendengar dan melihat yang Allah miliki sama dengan makhluk? Maka kalian akan menjawab: Tidak.



      Kenapa kok tidak sama, padahal sama namanya yaitu mendengar dan melihat? Maka mungkin kalian akan menjawab: Karena sifat mendengar dan melihat yang ada pada makhluk terbatas adapun sifat mendengar dan melihat yang ada pada Allah sempurna ?

      Maka kami tanyakan:


      Kenapa sifat tersebut sempurna ? 


      Maka kalian akan menjawab: Karena dimiliki oleh Dzat yang Maha sempurna Pencipta dan Penguasa alam semesta.



      Maka kalian pun harus bersikap yang sama dalam menerima sifat wajah yang sudah ditetapkan oleh Allah di dalam al-Qur’an dan Sunnah.


      Allah punya wajah. Makhluk punya wajah. Akan tetapi wajah Allah tidak sama dengan wajah makhluk. Karena wajah Allah itu sempurna. Lalu apa susahnya kita meyakininya ? Kalau kalian tidak bersikap seperti ini maka itu artinya kalian tidak konsisten.


      Oleh sebab itu orang yang menyimpangkan makna kata wajah kepada makna yang lainnya kami bantah dengan beberapa alasan:


      Pertama:


      Penafsiran seperti itu bertentangan dengan zhahir nash


      Kedua:


      Penafsiran seperti itu tidak didukung oleh dalil yang sah lagi tegas


      Ketiga:


      Penafsiran seperti itu bertentangan dengan kesepakatan ulama salaf


      (lihat bantahan lainnya dalam Fathu Rabbil Bariyah, hal. 57-58)


      Lalu bagaimana dengan ayat ‘Kullu syai’in haalikun illa wajhah’?


      Arti dari ayat tersebut adalah: Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya. (QS. Al-Qashash:88 ) Nah, kalau memang kata wajah itu bermakna wajah yang sebenarnya lalu apakah ini artinya pada hari kiamat kelak segala sesuatu selain wajah Allah termasuk di dalamnya tangan Allah juga akan hancur, ah masa Allah tidak bisa menjaga tangan-Nya sendiri dari kehancuran ?! Maka kami jawab:



      Jawaban Pertama:


      Ini adalah mahfum mukholafah, mafhum ini berlaku jika tidak bertentangan dengan dalil yang lain. Berdasarkan kaidah ushul fiqih yang ada kita tidak boleh menyimpangkan makna kata wajah kepada makna lainnya. Inilah hukum asalnya. Selain itu tidak ada dalil sah lagi tegas yang mendukungnya. Selain itu penafsiran semacam itu juga bertentangan dengan metode penafsiran ulama salaf.


      Jawaban Kedua:


      Kalau kalian beralasan bahwa apabila kita memaknai wajah Allah sebagai wajah sebenarnya kemudian jika makna itu diterapkan pada ayat di atas maka itu artinya tangan Allah juga ikut hancur maka sungguh ini adalah pemahaman yang sangat keliru !!!


      Cobalah perhatikan ayat yang lain:

      Allah ta’ala berfirman yang artinya: “Allah adalah pencipta segala sesuatu”


      Saya bertanya: Apakah Allah juga menciptakan diri-Nya sendiri? Tentu tidak !! Bukankah kata ‘segala sesuatu’ itu juga mencakup Allah, lalu mengapa kalian keluarkan Allah dari makna ayat ini ?!

      Lihat ayat yang lain:


      Allah ta’ala berfirman yang artinya: “Dan Kami ciptakan segala yang hidup dari air.”


      Saya bertanya: Apakah malaikat dan jin juga termasuk yang diciptakan dari air? Tentu saja tidak!! Lalu mengapa kalian tidak memasukkannya padahal jin dan malaikat juga termasuk cakupan istilah ‘segala sesuatu’ ?!


      Lihat ayat yang lain:


      Allah ta’ala berfirman tentang bencana angin yang dikirimkan kepada kaum ‘Aad, “Angin itu menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Rabbnya.”


      Saya bertanya: Apakah langit dan bumi juga ikut hancur ? Tentu saja tidak !! Bukankah langit dan bumi juga termasuk cakupan kata ‘segala sesuatu’ ? Lalu mengapa kalian mengeluarkannya dari kata yang umum ini ?!!


      Oleh sebab itu maka kami katakan pernyataan segala sesuatu akan hancur kecuali wajah Allah bukanlah berarti tangan Allah juga ikut hancur, karena hal itu bertentangan dengan dalil naqli maupun aqli.


      Jawaban Ketiga:


      Taruhlah makna kata wajah dalam ayat kullu syai’in haalikun illa wajhah adalah bukan wajah yang sebenarnya lalu bagaimana kita akan memaknai hadits-hadits berikut ini:


      Hadits pertama:


      Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Wa as’aluka ladzdzatan nazhari ila wajhika wasy syauqa ila liqaa’ika.” Artinya: “Dan aku memohon kenikmatan memandang wajah-Mu serta kerinduan untuk menemui-Mu.” (HR. An-Nasa’I dalam Ash-Shughra (1305), disahihkan Al-Albani dalam Takhrij As-Sunnah: 424, lihat Fathu Robbil Bariyah, hal. 57) Apakah kata wajah ini akan dimaknai pahala, atau dzat atau yang lainnya ?!!


      Hadits kedua:


      Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkan ayat lilladziina ahsanul husna wa ziyaadah (orang-orang yang berbuat baik maka mereka akan mendapatkan tambahan) Beliau menjelaskan bahwa makna tambahan dalam ayat tersebut adalah memandang wajah Allah (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 8/223 Maktabah Syamilah) Apakah kata wajah ini akan dimaknai pahala, atau dzat atau yang lainnya ?!!


      Wallahu a’lam bisshawaab

      Sabtu, 21 Mei 2016

      Pengertian, Amalan, & 'Keutamaan "Malam Nisfu Sya'ban"







      Ada beberapa bulan dalam islam, yang didalamnya terdapat keberkahan dan keagungan, salah satunya adalah bulan "Sya'ban". Dan dalam bulan sya'ban tersebut ada satu malam istimewa yang masih menjadi ikhtilaf atau perbedaan pendapat dari zaman tabi'in sampai sekarang, yang mana jika kita menghidupkan malam tersebut dengan beribadah maka Allah pasti akan mengampuni dosa-dosa kita kecuali dosa syirik dan membunuh. Malam ini biasa disebut dengan malam Nisfu Sya'ban.

      Perlu kita ketahui, Bahwa dalam bahasa arab, Nisfu artinya pertengahan. Dan Syaban adalah nama bulan dalam kalender hijriyah, Jadi, Nisfu Sya’ban berarti pertengahan bulan sya’ban.

      Jika kita merujuk pada kalender Hijri, maka malam itu jatuh pada tanggal 14 Sya’ban karena pergantian tanggal sesuai penanggalan Hilaliyah atau yang menggunakan patokan rembulan adalah saat Matahari terbenam atau malam tiba. Dan malam nisfu sya'ban di tahun 2015 ini jatuh pada hari ini, Senin Malam Selasa, 1 Juni 2015.

      Dalam sejarah islam, ada yang berpendapat bahwa pada saat itu terjadi pemindahan kiblat kaum muslimin dari baitul maqdis kearah masjidil haram.






      Keistimewaan Malam Nisfu Sya’ban

      Ada hadits yang menyatakan keutamaan malam nisfu Sya’ban yang mengatakan bahwa di malam tersebut akan ada banyak pengampunan terhadap dosa.

      Di antaranya adalah hadits riwayat Mu’adz bin Jabal, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,


      يَطَّلِعُ اللَّهُ إِلَى جَمِيعِ خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

      “Allah mendatangi seluruh makhluk-Nya pada malam Nisfu Sya’ban. Dan Dia akan mengampuni seluruh makhluk kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.”

      Al-Mundziri dalam At-Targhib setelah menyebutkan hadits ini, beliau mengatakan, “Dikeluarkan oleh At-Thabrani dalam Al Awsath dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya dan juga oleh Al-Baihaqi. Ibnu Majah pun mengeluarkan hadits dengan lafazh yang sama dari hadits Abu Musa Al-Asy’ari. Al-Bazzar dan Al-Baihaqi mengeluarkan yang semisal dari Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang tidak mengapa.”

      Demikian perkataan Al Mundziri. Penulis Tuhfatul Ahwadzi, Al Mubarakfuri mengatakan, “Pada sanad hadits Abu Musa Al-Asy’ari yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah terdapat Lahi’ah dan ia adalah perawi yang dinilai dha’if.”

      Hadits lainnya lagi adalah hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


      يَطَّلِعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ إِلَّا اِثْنَيْنِ مُشَاحِنٍ وَقَاتِلِ نَفْسٍ

      “Allah ‘azza wa jalla mendatangi makhluk-Nya pada malam nisfu Sya’ban, Allah mengampuni hamba-hamba-Nya kecuali dua orang yaitu orang yang bermusuhan dan orang yang membunuh jiwa.”

      Al Mundziri mengatakan, “Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang layyin (ada perowi yang diberi penilaian negatif atau di-jarh, namun haditsnya masih dicatat).” Berarti hadits ini bermasalah.

      Setelah Al Mubarakfuri meninjau riwayat-riwayat di atas, beliau mengatakan, “Hadits-hadits tersebut dilihat dari banyak jalannya bisa sebagai hujjah bagi orang yang mengklaim bahwa tidak ada satu pun hadits shahih yang menerangkan keutamaan malam Nisfu Sya’ban. Wallahu Ta’ala a’lam.”

      Ibnu Rajab mengatakan, “Ada beberapa hadits yang menjelaskan tentang keutamaan malam nisfu Sya’ban. Para ulama berselisih pendapat mengenai statusnya. Kebanyakan ulama mendhaifkan hadits-hadits tersebut. Ibnu Hibban menshahihkan sebagian hadits tersebut dan beliau masukkan dalam kitab shahihnya.” (Lathaif Al-Ma’arif).

      Intinya, penilaian kebanyakan ulama (baca: jumhur ulama), keutamaan malam Nisfu Sya’ban dinilai dha’if. Namun sebagian ulama menshohihkannya. Akan tetapi perbedaan ini bukan merupakan sesuatu hal yang amalah menjadikan umat terpecah belah.

      Tidak akan ada penyelesaiannya, karena masing-masing pihak berangkat dengan ijtihad dan dalil masing-masing. Sebagian Ulama menganggapnya sebagai sunnah dan sebagian Ulama menganggapnya sebagai bi’dah hasanah mamduhah (bid’ah yang secara syar’i dikategorikan baik dan terpuji) dan sebagian lain menganggap sebagai amalan bid’ah yang tidak pernah dijalankan oleh Nabi SAW.





      Amalan di Bulan Sya'ban

      Bagaimana cara merayakan malam Nisfu Sya’ban? Apakah ada amalan-amalan khusus? Menurut sebagian besar Ulama, antara lain adalah dengan memperbanyak ibadah dan shalat malam dan dengan puasa. Baik malam nishfu syaban maupun malam-malam lainnya yang masih dalam bulan syaban.

      Di kalangan kaum muslimin di Indonesia malam Nisfu sya’ban ini selalu menjadi malam yang istimewa diantara malam-malam di bulan Sya’ban. Berkenaan dengan malam Nisfu (pertengahan) Sya’ban ada beberapa hal yang patut diketahui bersama, karena malam Nisfu Sya’ban ini sejak lama menjadi perdebatan di kalangan Ulama dan para ahli hadist dan menjadi 'mahallul-khilaf' nyaris sepajang zaman.

      Mengenai menghidupkan malam nisfu sya’ban yang menurut sebagian ulama adalah adalah sunnah Rasul SAW diambil dari dalil-dalil berikut :

      Hadist Pertama

      Rasulullah saw bersabda,: “Allah mengawasi dan memandang hamba hamba Nya di malam nisfu sya’ban, lalu mengampuni dosa dosa mereka semuanya kecuali musyrik dan orang yg pemarah pada sesama muslimin” (Shahih Ibn Hibban).


      Hadist Kedua

      Berkata Aisyah ra : “disuatu malam aku kehilangan Rasul saw, dan kutemukan beliau saw sedang di pekuburan Baqi’, beliau mengangkat kepalanya kearah langit, seraya bersabda : “Sungguh Allah turun ke langit bumi di malam nisfu sya’ban dan mengampuni dosa dosa hamba Nya sebanyak lebih dari jumlah bulu anjing dan domba” (Musnad Imam Ahmad hadits no.24825).