Selasa, 11 April 2017

SEBAB MANUSIA MEMANG INGIN HIDUP BAHAGIA

Semua manusia yang hidup di dunia ini pasti menginginkan bisa hidup dengan bahagia. Namun, kebanyakan dari Kita lupa dengan makna kebahagiaan yang sebenarnya. Padahal, Allah menurunkan Islam agar semua manusia yang beriman dapat merasakan kebahagiaan dan ketentraman dengan selalu berada di atas jalan Islam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Kami tidak mengutus Engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiya: 107)

Allah menegaskan dalam ayat itu bahwa Islam adalah rahmat bagi semesta alam, tentu orang-orang yang beriman lebih pantas mendapatkan kebahagiaan dibandingkan makhlukNya yang lain.

Iman dan amal shalih memberikan pengaruh yang baik kepada kehidupan manusia. Ada korelasi yang kuat antara keimanan dan kebahagiaan. Pada surat Al Fatihah,  setelah Allah memerintahkan kita untuk meminta petunjuk agar kita selalu berada di jalan yang lurus, Allah menjelaskan bahwa jalan yang lurus itu:

اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ

“Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.” (QS. Al Fatihah: 6)

Maksudnya, mereka itu para nabi, para shiddiq, syuhada, dan orang-orang shalih. Sebab sejatinya, jalan yang lurus itu memang penuh dengan kenikmatan, penuh dengan kesejukan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Kita memerhatikan perjalanan hidup dan kisah para nabi dan shahabat, Kita akan berdecak kagum dengannya.

Iman adalah harta yang paling berharga dan termahal bagi seorang muslim. Semua kita pasti mendambakan memiliki iman yang baik yang menjadi sumber kebahagiaan dan ketentraman. Sebagaimana gambaran iman para sahabat yang telah Allah abadikan dalam Al Qur-an,

وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُوْلَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ


“Tetapi Allah menjadikan kamu sekalian (wahai para sahabat) cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah (seperti perhiasan) dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan perbuatan maksiat. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (QS. Al Hujurat: 7)

Hal itu senada dengan perkatan Ibnu Taimiyah juga. “Di dunia ada surga, yang tidak masuk ke dalamnya, tidak bisa masuk ke dalam surga di akhirat.” Yang dimaksud surga dunia adalah kenikmatan dalam iman dan amal shalih.

Hanya iman dan amal shalih yang mampu mengantarkan manusia ke puncak kebahagiaan tertinggi. Hanya iman dan amal shalih jugalah yang mampu mengantarkan manusia pada kenikmatan sejati dan abadi di akhirat kelak, sebagaimana yang Allah tegaskan,

مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ


“Siapa saja yang mengerjakan kebaikan baik laki-laki maupun perempuan dan dalam keadaan mukmin, maka akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari yang mereka kerjakan.” (Q.S An Nahl: 97)

Terlalu banyak contoh dan kisah nyata yang membuat kita semakin semangat untuk turut merasakan manisnya iman. Seperti kisah semangat Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat tahajud hingga kaki beliau bengkak. Rasulullah hanyalah manusia biasa. Beliau juga merasakan sakit yang sama seperti kita. Tentu bengkak tersebut terasa sakit dan tidak mengenakkan. Namun, karena iman yang benar telah merasuk ke dalam hati Rasulullah, maka semua rasa sakit tersebut tidak berarti—dikalahkan oleh kebahagiaan dan kenikmatan yang Rasulullah rasakan.

Banyak di antara kita yang mengaku beriman dan telah mengerjakan amal shalih,  namun mereka tidak merasakan kebahagiaan dengan iman dan amal shalih mereka. Justru, di antara kita banyak yang merasa berat dan terbebani oleh syariat yang telah diturunkan. Ibnu Taimiyah telah mengomentari hal ini dengan berkata,

“Jika engkau tidak merasakan manisnya (iman) dan kelapangan (di dalam hati) ketika beramal shalih, maka curigailah imanmu. Sebab sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala adalah asy syakur (maha mesyukuri atau membalas perbuatan baik hamba-hambaNya dengan balasan yang sempurna). Artinya, Dia pasti memberikan balasan bagi seorang hamba yang mengerjakan amal shalih di dunia dengan balasan yang berupa manisnya iman yang dirasakan di dalam hati, keteguhan dan kelapangan dada serta kesejukan dalam jiwa, maka ketika hamba tersebut tidak merasakan hal ini, berarti amalnya (imannya) telahbercampur (keburukan sehingga rusak).”

Para ulama telah menjelaskan kaidah-kaidah penting agar seseorang bisa merasakan manis dan lezatnya iman. Ibnul Qayyim mengatakan, “Kelezatan mengikuti yang dicintai.” Pernyataan ini tidak bisa dipungkiri kebenarannya. Kita bisa saksikan bagaimana asyik dan bahagianya seorang sahabat ketika bertemu dengan orang yang sangat dicintainya. Kita bisa saksikan bahagianya seorang ibu ketika melihat dan berkumpul dengan anak yang dicintainya.

Ya, itu karena berawal dari cinta. Artinya, seseorang bisa merasakan manisnya iman dan amal shalih jika dia bisa mencintai iman dan amal shalih. Artinya, ia juga harus bisa mencintai yang maha  memberikan dan menganugrahkan iman dan amal shalih tersebut, yaitu Allah. Ibnul Qayyim tidak sembarangan dalam membuat kaidah tersebut. Ada hadits Rasulullah yang sharih menguatkan perkataan beliau. Hadits itu dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ta’ala ‘anhu yang di dalamnya Rasulullah bersabda,

“Ada tiga sifat yang siapa saja memilikinya, maka ia akan merasakan manisnya keimanan: [1] menjadikan Allah dan rasulNya lebih dicintai dari selain keduanya, [2] mencintai orang lain semata-mata karena Allah, dan [3] merasa benci (enggan) untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah sebagaimana ia enggan untuk dilemparkan ke dalam api Neraka.”

“Ya Allah, hiasilah (diri) kami dengan perhiasan indahnya keimanan serta jadikanlah kami sebagai orang-orang yang selalu mendapat petunjuk dariMu dan memberi petunjuk kepada orang lain.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar