Selasa, 18 April 2017

Beberapa Perkara Yang Dapat Mengeluarkan Seorang Muslim Dari Agamanya

Dalam satu risalah ringkas yang berjudul Nawaqidhul Islam, Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullahu ta’ala menyebutkan,

Ketahuilah, pembatal-pembatal keislaman itu ada sepuluh :

Pertama, syirik dalam beribadah kepada Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia akan mengampuni dosa di bawah syirik bagi siapa yang dikehendakiNya.” (QS. An Nisa’: 116)

Dan Allah juga berfirman,
إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

“Sesungguhnya yang menyekutukan Allah, maka Allah pasti akan mengharamkan Surga untuknya dan tempatnya nanti adalah di Neraka. Dan tidaklah ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu.” (QS. Al Ma-idah: 72)

Di antaranya adalah menyembelih untuk selain Allah, seperti seseorang yang menyembelih untuk jin atau kuburan.

Kedua, siapa saja yang menjadikan antara dirinya dan Allah perantara-perantara tempat ia berdoa dan meminta syafaat serta bertawakkal kepada perantara-perantara itu, maka ia kafir secara ijma’.

Ketiga, siapa saja yang tidak mengafirkan orang-orang musyrik, sangsi dengan kekafiran mereka atau membenarkan mazhab mereka, maka ia kafir.

Keempat, siapa saja yang meyakini bahwa selain petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih sempurna dari petunjuk nabi atau ada hukum yang lebih baik dari hukum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam—seperti lebih mengutamakan hukum-hukum para thaghut daripada hukum beliau, maka ia telah kafir.

Kelima, siapa saja yang membenci sesuatu yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam—meskipun ia mengamalkannya, maka ia pasti kafir.

Keenam, siapa saja yang mengolok-olok sesuatu dari agama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, balasan Allah, azab Allah, maka ia kafir. Dan dalilnya adalah firman Allah ta’ala,

لاَ تَعْتَذِرُواْ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

“Tidak usah kalian cari-cari alasan, karena kalian telah kafir sesudah beriman.” (QS. At Taubah: 66)

Ketujuh, sihir. Dan termasuk darinya adalah sihir yang memisahkan dua orang yang mencntai dan sihir yang mengeratkan dua orang yang saling membenci. Siapa saja yang mengerjakannya atau ridho dengan hal itu, maka ia telah kafir. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala,

وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولاَ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ

“dan keduanya [Harut dan Marut] tidak mengajarkan [sesuatu] kepada siapa pun hingga mereka berdua mengatakan, ‘Sesungguhnya kami hanyalah fitnah [cobaan]. Karena itu, janganlah engkau kafir’.” (QS. Al Baqarah: 102)

Kedelapan, membela dan menolong orang-orang musyrik dalam memerangi kaum muslimin. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala,

وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Siapa saja di antara kalian yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya ia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Ma-idah: 51)

Kesembilan, siapa saja yang meyakini bahwa sebagian orang dibolehkan tidak terikat dengan syariat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Nabi Khadir ‘alaihis salam yang tidak terikat dengan syariat Nabi Musa ‘alaihis salam, maka ia adalah kafir.

Kesepuluh, berpaling dari agama Allah ta’ala—tidak mempelajarinya dan tidak beramal dengannya. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala,

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنتَقِمُونَ

“Dan siapakah yang lebih zalim dari seseorang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabbnya, lalu ia berpaling darinya? Sungguh, Kami akan membalas orang-orang yang berdosa.” (QS. As Sajdah: 22)

Terkait pembatal-pembatal keislaman tersebut, tidak ada beda antara [melakukannya dengan] bercanda, bersungguh-sungguh atau [karena] takut. Kecuali, [karena] dipaksa. Masing-masing pembatal tersebut adalah yang paling besar bahayanya dan paling banyak terjadi.

Karena itu, sudah seharusnya bagi seorang muslim untuk berhati-hati dan takut terjadi pada dirinya. Kita berlindung kepada Allah dari apa-apa yang membuatNya murka dan azabNya yang sangat pedih.

و صلّى اللهُ على خير خلقه محمد و آله وصحبه وسلّم .

Pembeda Antara Orang Mukmin Dan Orang Munafik

Datang ayat-ayat yang banyak dan hadits-hadits yang terkenal tentang anjuran untuk berdakwah, penjelasan tentang kewajibannya, dan pahala bagi orang yang berdakwah. Ayat-ayat Al Qur-an tentang berdakwah lebih banyak dari ayat-ayat tentang shaum dan haji yang keduanya ini adalah dua rukun dari rukun-rukun Islam yang lima. Karena itu, berdakwah termasuk kewajiban yang paling agung dalam syariat yang suci ini dan pokok dari pokok-pokok agama. Dengan berdakwah, aturan syariat menjadi sempurna dan urusan agama menjadi tinggi serta Allah subhanahu wa ta’ala jadikan  amar ma’ruf nahi mungkar sebagai pembeda antara orang-orang mukmin dan orang-orang munafik, sebagaimana Allah ta’ala berfirman,

الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُم مِّن بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ

“Orang-orang munafik yang laki-laki dan yang perempuan sebagian mereka penolong sebagian yang lain. Mereka mengajak kepada kemungkaran dan melarang dari kebaikan.” (QS. At Taubah: 67)

Kemudian, Allah berfirman,

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ

“Laki-laki dan perempuan-perempuan yang mukmin sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka mengajak kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran.” (QS. At Taubah: 71)

Maka, Allah menunjukkan bahwa sifat-sifat yang paling khusus dari orang mukmin adalah amar ma’ruf nahi mungkar dan pokok perkaranya adalah berdakwah.

Amar ma’ruf nahi mungkar telah menjadi kewajiban di tengah umat-umat terdahulu, sebagaimana yang Allah ta’ala berfirman,

لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوا وَّكَانُواْ يَعْتَدُونَ كَانُواْ لاَ يَتَنَاهَوْنَ عَن مُّنكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُواْ يَفْعَلُونَ

“Telah dilaknat orang-orang kafir dari kalangan Bani Isra-il lewat lisan Dawud dan Isa bin Maryam. Ini karena mereka bermaksiat dan adalah mereka yang sering melampaui batas. Mereka itu tidak saling melarang dari kemungkaran yang mereka perbuat. Betul-betul jahat apa yang telah mereka lakukan itu.” (QS. Al Ma-idah: 79)

Maksudnya, sebagian mereka tidak melarang sebagian yang lain dari melakukan dosa-dosa dan keharaman-keharaman. Lalu, Allah cela mereka atas hal tersebut untuk memperingatkan [kita] dari melakukan perbuatan mereka itu. Karena itu, Allah berfirman,

لَبِئْسَ مَا كَانُواْ يَفْعَلُونَ
“Betul-betul jahat apa yang telah mereka lakukan itu.”

Allah gunakan penegasan dengan menggunakan huruf “lam untuk bersumpah” sebagai bentuk perendahan atas sifat mereka itu dan peringatan dari keburukan perbuatan mereka.

Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala tentang sifat nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ
“Ia menyuruh mereka berbuat kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran serta menghalalkan untuk mereka apa-apa yang baik dan mengharamkan atas mereka apa-apa yang buruk” (QS. Al A’raf: 157) adalah keterangan tentang sempurnanya risalah beliau. Sebab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang melalui lisannya Allah perintahkan segala yang baik, Allah larang segala kemungkaran, Allah halalkan segala yang baik, dan Allah haramkan segala yang jelek.

Demikian pula Allah sifatkan umat Islam dengan apa yang disifatkan oleh nabi mereka ketika Allah berfirman,

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ
“Kalian adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan kepada manusia. Kalian menyuruh berbuat kebaikan, melarang berbuat kemungkaran, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Kalian adalah sebaik-baik manusia untuk manusia. Kalian datangkan orang-orang tertawan dan terikat sampai atas sebab kalian mereka masuk Surga.”

Tanda-Tanda Kebahagiaan Dan Tanda-Tanda Kesengsaraan Pada Seorang Muslim

Termasuk tanda-tanda kebahagiaan dan keberhasilan adalah ketika seorang hamba bertambah ilmunya bertambah pula tawadhu‘ dan kasih-sayangnya, ketika ia bertambah amalnya bertambah pula rasa takutnya kepada Allah dan kehati-hatiannya, ketika ia bertambah umurnya berkurang pula rakusnya [kepada dunia], ketika ia bertambah hartanya bertambah pula kedermawanan dan pemberiannya, dan ketika ia bertambah kekuasaan dan kedudukannya bertambah pula kedekatannya dengan manusia dan kesediaannya menolong orang-orang serta tawadhu‘-nya kepada mereka.

Termasuk tanda-tanda kesengsaraan adalah ketika seseorang bertambah ilmunya bertambah pula ketakaburan dan kesombongannya; ketika ia bertambah amalnya bertambah pula keangkuhannya, sikap meremehkan manusia dan selalu menganggap baik dirinya; ketika ia bertambah umurnya bertambah pula ketamakannya [kepada dunia]; ketika ia bertambah hartanya bertambah pula kerakusan dan keengganannya untuk berbagi harta; dan ketika ia bertambah kekuasaan dan kedudukannya bertambah pula ketakaburan dan kesombongannya.

Itulah cobaan dan ujian dari Allah yang dengan semua itu Allah uji hamba-hambaNya, sehingga sejumlah orang berbahagia dengannya dan sebagian lain merana karenanya. Demikian pula kemuliaan-kemuliaan yang menjadi cobaan dan ujian, seperti kekuasaan, kerajaan, dan harta-benda. Tentang nabiNya, Sulaiman ‘alaihis salam, ketika beliau melihat singgasana Ratu Balqis di istana beliau, Allah ta’ala berfirman,

ُهَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُر

“Ini [semua] keutamaan dari Rabbku untuk mengujiku, ‘Apakah aku bersyukur ataukah aku kufur?’.” (QS. An Naml: 40)

Karena itu, kenikmatan-kenikmatan adalah cobaan dan ujian dari Allah. Terlihat dengannya syukur orang yang bersyukur dan kekufuran orang yang kufur, sebagaimana ujian-ujian adalah musibah-musibah dari Allah subhanahu wa ta’ala. Dialah yang menguji dengan berbagai kenikmatan, sebagaimana menguji dengan berbagai musibah. Allah ta’ala berfirman,

فَأَمَّا الْأِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ . كَلا

“Adapun manusia, jika Rabbnya mengujinya dengan memuliakan dan memberinya kenikmatan, maka ia akan mengatakan, ‘Rabbku telah memuliakanku’. Adapun jika mengujinya dengan menyempitkan rejekinya, maka ia mengatakan, ‘Rabbku telah menghinakanku’. Sekali-kali tidak.” (QS. Al Fajr: 15-17)

Maksudnya, tidak setiap yang Aku lapangkan rejekinya, Aku muliakan, dan Aku beri kenikmatan itu adalah bentuk pemuliaan dariKu untuknya. Dan juga tidak setiap yang Aku sempitkan rejekinya dan Aku coba ia itu adalah bentuk penghinaan dariKu.

Hendaknya Seorang Muslim Itu Menjaga Setiap Ucapannya di Lisan Maupun Di Tulisan

Dalam tulisan ringkas berjudul Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al ‘Abbad Al Badr hafizhahullahu ta’ala membawakan kepada kita sejumlah dalil tentang menjaga ucapan, baik secara lisan ataupun tulisan. Beliau berkata,

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً .
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar. Niscaya Allah akan memperbaiki untuk kalian amalan-amalan kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Siapa saja menaati Allah dan rasulNya, maka sungguh ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al Ahzab: 70-71)

Allah ‘azza wa jalla juga berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

“Wahai orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka. Sebab sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah kalian mencari-cari keburukan orang dan jangan pula menggunjing satu sama lain. Apakah salah seorang di antara kalian suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, pastilah kalian merasa jijik melakukannya. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah itu maha penerima tobat lagi maha penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)

Allah ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ . إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ . مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ .

“Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. Yaitu, ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya. Seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 16-18)

Allah ta’ala juga berfirman,

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَاناً وَإِثْماً مُّبِيناً


“Dan orang-orang yang menyakiti kaum mukminin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka itu telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 58)

Dalam Shahih Muslim (hadits nomor 2589), dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ


“Kalian tahu apa itu ghibah?”. Para sahabat menjawab, “Allah dan rasulNya yang lebih tahu.” Beliau bersabda, “Engkau menyebutkan tentang saudaramu dengan apa yang ia tidak sukai.” Ada yang bertanya, “Bagaimana jika itu [memang] ada pada saudaraku?”. Beliau menjawab, “Jika itu ada pada saudaramu, maka engkau telah meng-ghibah-nya. Jika tidak ada, maka engkau telah memfitnahnya.”

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً

“Dan janganlah engkau mengikuti apa yang engkau tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan dimintai pertanggung-jawabannya.” (QS. Al Isra’: 36)

Dan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau pernah mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا، وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلَاثًا، فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا، وَلَا تَفَرَّقُوا، وَيَكْرَهُ لَكُمْ، قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السؤال، وإضاعة المال


‘Sesungguhnya, Allah ridho untuk kalian tiga perkara dan membenci tiga perkara. Allah ridho kalian menyembahNya dan tidak menyekutukanNya dengan apapun, kalian semua berpegang dengan tali Allah, dan kalian tidak bepecah-belah. Allah membenci atas kalian qila wa qala [katanya dan katanya], banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta’.” [HR. Muslim nomor 1715]

Tiga perkara yang tidak disukai Allah itu juga datang dalam hadits Al Mughirah bin Syu’bah riwayat Imam Al Bukhari (hadits nomor 2408) dan Imam Muslim.

Juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ


“Setiap anak Adam telah ditulis baginya bagian dari zina. Ia pasti melakukannya tanpa bisa menghindarinya. Maka, zina mata adalah memandang. Zina telinga adalah mendengar. Zina lisan adalah berbicara. Zina tangan adalah meraba. Zina kaki adalah melangkah. Sementara jiwa berharap dan berhasrat. Kemaluanlah yang membenarkan atau mendustakannya.”  [HR. Al Bukhari nomor 6612 dan Muslim nomor 2657, lafaz hadits ini milik Imam Muslim]

Dalam Shahihnya (hadits nomor 10), Imam Al Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,

المسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Muslim itu adalah yang selamat kaum muslimin dari lisan dan tangannya.”

Imam Muslim meriwayatkan hadits itu dalam Shahihnya (hadits 64) dan lafaznya,

“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Muslim mana yang paling baik?’. Rasulullah menjawab,

مَنْ سَلِمَ المسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Siapa saja yang selamat kaum muslimin dari lisan dan tangannya.”

Imam Muslim juga meriwayakannya dari Jabir (hadits nomor 65) dengan lafaz hadits Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash yang diriwayatkan Imam Al Bukhari.

Dalam penjelasan terhadap hadits tersebut, Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan,

“Dan hadits ini hukumnya umum pada lisan, tidak pada tangan. Sebab lisan dapat memungkinkan ia mengucapkan yang terdahulu, yang sekarang, dan yang akan datang. Berbeda dengan tangan. Ya, mungkin bagi lisan untuk berserikat [dalam] maksiat dengan tangan. Contohnya dalam tulisan. Dalam hal tersebut, pengaruhnya betul-betul besar.”Terkait makna seperti itu, seorang penyair mengatakan, "Aku menulis dan meyakini pada hari kutulis itu bahwa tanganku dapat lenyap sedangkan tulisan tanganku kekal". Jika aku tahu kebaikan, niscaya akan dibalas dengan semisalnya. Dan jika aku tahu keburukan, bagiku ganjarannya.

Muslim Yang Baik Itu Bersikap Lemah-Lembut Dan Santun

Dalam Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al ‘Abbad Al Badr hafizhahullahu ta’ala menyebutkan beberapa nash penting tentang harusnya seorang muslim memiliki sifat lembut dan santun. Beliau mengatakan,

Allah menyifati nabiNya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, memiliki akhlak yang agung. Allah berfirman,

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan sesungguhnya engkau betul-betul di atas akhlak yang agung.” (QS. Al Qalam: 4)

Allah menyifati beliau dengan kesantunan dan kelembutan. Allah berfirman,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
“Maka, dengan rahmat dari Allah-lah engkau bersikap lembut kepada mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, niscaya mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159)

Dan Allah ta’ala juga menyifati beliau dengan kasih dan sayang terhadap kaum mukminin. Allah berfirman,

لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
“Sungguh, telah datang kepada kalian seorang rasul dari kalangan kalian sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan [keimanan] untuk kalian, amat pengasih lagi penyayang terhadap kaum mukminin.” (QS. At Taubah: 128)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh dan mendorong untuk berlemah-lembut, Beliau bersabda,

يَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا ، وَبَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا
“Permudah dan jangan persulit. Berikan kabar gembira dan jangan membuat lari manusia.”

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari (hadits nomor 69) dan Imam Muslim (hadits nomor 1734) dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Imam Muslim meriwayatkan juga (hadits nomor 1732) dari Abu Musa [Al Asy’ari] radhiyallahu ‘anhu dan lafalnya,

وَبَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا ، يَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا

“Berikan kabar gembira dan jangan buat manusia lari. Permudah dan jangan persulit.”

Dan dalam Shahih Al Bukhari (hadits nomor 220), Imam Al Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat beliau dalam kisah seorang Arab badui yang kencing di masjid,

دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ
“Biarkan ia. Siram kencingnya itu dengan setimba air atau seember air. Sebab, sesungguhnya, kalian itu diutus untuk memudahkan. Bukan untuk menyulitkan.”

Imam Al Bukhari meriwayatkan (hadits nomor 6927) dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ
“Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah itu maha lembut dan mencintai kelembutan di semua perkara.”

Dan Imam Muslim juga meriwayatkan hadits tersebut (hadits nomor 2593) dengan lafal,

يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لاَ يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ
“Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah itu maha lembut dan mencintai kelembutan. Dan Allah memberikan ke dalam kelembutan apa yang tidak diberikan ke dalam sikap kasar serta apa yang tidak diberikan kepada selainnya.”

Imam Muslim dalam Shahih Muslim (hadits nomor 2594) meriwayatkan hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha. Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إِنَّ الرِّفْقَ لا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلا زَانَهُ ، وَلا نُزِعَ مِنْ شَيْءٍ إِلا شَانَهُ
“Sesungguhnya, kelembutan itu tidaklah terdapat pada sesuatu, kecuali akan menghiasinya. Dan tidaklah dicabut dari sesuatu, kecuali akan memperburuknya.”

Imam Muslim juga meriwayatkan (hadits nomor 2592) dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu. Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مَنْ يُحْرَمِ الرِّفْقَ يُحْرَمِ الْخَيْرَ
“Siapa saja yang dijauhkan dari kelemah-lembutan, maka ia dijauhkan pula dari kebaikan.”

Dan sungguh Allah telah memerintahkan dua orang nabi yang mulia, Musa dan Harun ‘alaihima as salam, untuk mendakwahi Fir’aun dengan santun dan lembut. Allah ta’ala berfirman,

اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ . فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

“Pergilah kalian berdua ke Fir’aun. Sesungguhnya, ia telah melampaui batas. Dan ucapkanlah kepadanya ucapan yang lembut. Mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 43-44)

Allah juga telah menyifati para sahabat Rasulullah yang mulia dengan sifat saling menyayangi di antara mereka. Allah ta’ala berfirman,

مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاء عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu utusan Allah. Dan orang-orang yang bersamanya bersikap keras kepada orang-orang kafir, tetapi saling menyayangi di antara mereka.” (QS. Al Fath: 29)

Muslim Itu Mendahulukan Prasangka Baik dan Tidak Mencari-Cari Kesalahan Orang

Dalam Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al ‘Abbad hafizhahullahu ta’ala menerangkan,

Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا
“Wahai orang-orang beriman, jauhilah oleh kalian banyak prasangka. Sesungguhnya, sebagian prasangka itu adalah dosa. Dan jangan pula kalian mencari-cari keburukan orang.” (QS. Al Hujurat: 12)

Jadi, dalam ayat yang mulia ini terdapat perintah untuk menjauhi banyak prasangka dan bahwa di sebagian prasangka itu ada dosa. Juga ada larangan untuk mencari-cari keburukan orang yang ini tidak lain dari mencari aib-aib manusia. Dan perbuatan ini hanya memunculkan kecenderungan untuk berprasangka buruk.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
“Jauhi oleh kalian dari buruk sangka. Sebab sesungguhnya buruk sangka itu sedusta-dusta ucapan. Dan jangan kalian saling mencari kabar buruk orang lain, saling memata-matai, saling hasad, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian itu hamba-hamba Allah yang bersaudara.” [HR. Al Bukhari no. 6064 dan Muslim no. 2563]

Amirul Mukminin Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Jangan sekali-kali engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin, kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada kemungkinan-kemungkinan yang baik.” Ucapan Umar ini dibawakan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir terhadap ayat Surat Al Hujurat.

Bakr bin Abdillah Al Muzani, sebagaimana termaktub dalam biografinya di Tahdzib At Tahdzib, mengatakan, “Hati-hatilah engkau dari ucapan yang kalau benar adanya tidak akan diberi pahala, tetapi kalau salah engkau berdosa. Yaitu, prasangka burukmu terhadap saudaramu.”

Abu Qilabah Abdullah bin Zaid Al Jarmi, sebagaimana dalam kitab Al Hilyah (2/285) karya Abu Nu’aim Al Asbahani, mengatakan,

“Jika sampai kepadamu sesuatu yang tidak engkau sukai tentang saudaramu, hendaklah engkau carikan untuknya alasan baik semampumu. Jika engkau tidak dapatkan alasan untuknya, maka katakan di dalam hatimu, ‘Sepertinya saudara saya ini memiliki alasan yang saya tidak ketahui’.”

Sufyan bin Husain mengatakan,

“Saya menceritakan sesorang dengan persangkaan buruk di sisi Iyas bin Mu’awiyah. Maka, beliau segera memandang saya dan bertanya, ‘Apakah engkau sudah memerangi bangsa Romawi?’. Saya jawab, ‘Belum’. Beliau tanya lagi, ‘Negeri Sindh? India? Turki?’. Saya jawab, ‘Belum’. Beliau bertanya, ‘Apakah Romawi, Sindh, India, dan Turki selamat darimu, sedangkan saudaramu muslim tidak selamat darimu?’. Setelah itu, saya pun tidak mengulanginya lagi.” (Al Bidayah wa An Nihayah karya Ibnu Katsir [13/121])

Saya katakan, alangkah bagusnya jawaban dari Iyas bin Mu’awiyah yang beliau itu dikenal karena kecerdasannya. Dan jawaban tersebut adalah contoh dari kecerdasan beliau.

Abu Hatim Ibnu Hibban Al Busti, dalam kitab Raudhatul ‘Uqala’ (halaman 131, mengatakan,

“Yang wajib bagi orang berakal adalah selalu menjaga keselamatan dengan meninggalkan cari-cari aib orang sambil menyibukkan diri dengan memperbaiki aib-aib sendiri. Sebab menyibukkan diri dengan aib-aib sendiri daripada aib-aib orang akan membuat dirinya lebih tenang dan tidak membuat hatinya lelah. Maka, setiap ia memikirkan aib sendiri, ia akan memandang tidak ada apa-apanya aib yang serupa pada saudaranya. Siapa saja yang menyibukkan diri dengan aib-aib orang ketimbang aib-aib sendiri, hatinya akan buta, tubuhnya akan lelah, dan ia akan mencari alasan untuk mengingat aib-aib dirinya sendiri.”

Ibnu Hibban Al Busti juga mengatakan (halaman 133),

“Mencari-cari kesalahan orang termasuk cabang dari kemunafikan, seperti halnya berbaik sangka temasuk cabang dari keimanan. Dan orang yang berakal akan berbaik sangka terhadap saudara-saudaranya dan merasa gundah dan sedih dengan aib-aib sendiri, seperti halnya orang yang bodoh akan berburuk sangka terhadap saudara-saudaranya dan tidak berpikir dengan kesalahan-kesalahan dan kelalaian-kelalaiannya sendiri.”

Bersabar Terhadap Musibah-Musibah Yang Datang Di Kehidupan Dunia Ini

Sabar terbagi menjadi tiga: [1] sabar dalam menaati Allah, [2] sabar dalam menjauhi apa-apa yang dilarang Allah, dan [3] sabar dalam menerima takdir Allah. Di antara takdir Allah yang dimaksud adalah musibah-musibah yang menimpa manusia di luar keinginan mereka. Tentang musibah-musibah ini, Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

Musibah-musibah yang menimpa seorang hamba ada dua jenis :


Musibah yang di luar kehendak makhluk, seperti sakit dan musibah-musibah lainnya yang datang dari Allah. Yang seperti ini mudah untuk bersabar di dalamnya. Sebab seorang hamba, terkait musibah-musibah itu, mengakuinya sebagai ketetapan dan takdir dari Allah. Sama sekali tidak ada campur tangan manusia dalam musibah tersebut.

Karena itu, seseorang [dapat] bersabar, baik karena terpaksa ataupun karena keinginannya sendiri. Maka, jika Allah bukakan dalam hati seorang hamba pikiran tentang manfaat-manfaat musibah, apa-apa yang terkandung dalam kenikmatan-kenikmatan dan kelembutan-kelembutannya, ia pun akan pindah dari bersabar atas musibah-musibah [yang menimpa] menuju bersyukur dan bersikap ridho dengan segala musibah  itu. Dengan demikian, musibah-musibah tersebut akan berbalik menjadi kenikmatan untuknya, sehingga lubuk hati dan lisannya selalu mengucapkan,

رَبِّ أَعِنِّي عَلىَ ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَ حُسْنِ عِبَادَتِكَ

“Wahai Rabbku, bantulah aku untuk mengingatMu, mensyukuriMu, dan baik dalam beribadah kepadaMu.”

Dan ini akan menguat dan melemah sesuai kadar kekuatan dan kelemahan rasa cinta seorang hamba kepada Allah. Bahkan, yang seperti ini, didapati oleh salah seorang di antara kita di dalam kehidupan, sebagaimana dikatakan oleh sebagian penyair yang mendapatkan sesuatu yang dibenci dari orang yang dicintainya, “Walaupun engkau menjelek-jelekkan aku, setidaknya aku bahagia karena engkau masih memikirkan aku.”

Jenis kedua adalah musibah yang menimpa seseorang karena ulah manusia pada hartanya, kehormatannya, atau pada dirinya. Maka, musibah jenis ini sangat sulit sekali untuk bersabar. Sebab, jiwa manusia senantiasa mengingat yang mengganggunya dan ia tidak ingin direndahkan, sehingga ia pun menuntut  untuk membalasnya.

Karena itu, tidaklah bersabar atas musibah jenis ini, kecuali para nabi dan orang-orang yang shiddiq [jujur dalam keimanannya]. Adalah nabi kita [Muhammad] shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketika disakiti selalu mengucapkan,

يَرْحَمُ اللهُ مُوْسىَ لَقَدْ أُوْذِيَ بِأَكْثَرِ مِنْ هَذَا فَصَبَرَ
“Semoga Allah selalu merahmati Musa ‘alaihis salam, sungguh beliau telah diuji lebih daripada ini dan beliau bersabar.” [HR. Al Bukhari dan Muslim]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah dikabari tentang seorang nabi dari kalangan nabi yang dipukuli oleh kaumnya. Maka, nabi tersebut berdoa,

اللَّهُمَّ اغْفِرلِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لاَيَعْلَمُوْنَ

“Ya Allah, ampunilah kaumku, sebab mereka ini tidak mengetahui.” [HR. Al Bukhari dan Muslim]

Dan telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau pernah mendapatkan ujian yang sama dari kaumnya. Beliau pun berdoa dengan doa seperti yang di atas. [HR. Ath Thabarani dalam Majma’ Az Zawa-id]

Karena itu, terangkum padanya tiga perkara: memaafkan mereka, meminta ampunan untuk mereka, dan memberi uzur [alasan untuk memaafkan] bahwa mereka itu tidak mengetahui.

Kesabaran jenis ini termasuk kesabara yang membuahkan pertolongan, hidayah, kebahagiaan, keamanan, kekuatan iman kepada Allah, bertambahnya kecintaan Allah serta kecintaan manusia kepadanya, dan tambahan ilmu. Karena itulah, allah ta’ala berfirman,

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

“Dan Kami jadikan di antara mereka para pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, ketika mereka bersabar dan yakin dengan ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah: 24)

Jadi, sabar dan yakin—dengan keduanya—akan diperoleh kepemimpinan di dalam agama. Oleh karenanya, jika kesabaran jenis ini disertai dengan kuatnya keyakinan dan keimanan, maka orang yang memilikinya akan sampai ke tingkatan bahagia karena karunia Allah ta’ala.

ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
“Dan yang demikian adalah keutamaan dari Allah. Allah anugrahkan kepada siapa saja yang Allah kehendaki dan adalah Allah yang memiliki karunia yang sangat besar.” (QS. Al Hadid: 21; QS. Al Jumu’ah: 4)

Karena itulah, Allah ta’ala berfirman,

ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ . وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ .

“Tolaklah keburukan dengan apa yang lebih baik, sehingga orang yang tadinya memusuhimu akan menjadi teman yang setia. Dan itu tidaklah terjadi kecuali pada orang-orang yang bersabar serta tidak ada yang bisa melakukannya, kecuali orang yang memiliki karunia yang sangat besar.” (QS. Fushilat: 34-35)

Islam Itu Tidak Mempersulit Seseorang dalam Beribadah

Dalam Shahih Al Bukhari, disebutkan dari Nafi’ bahwa Abdullah bin Umar pernah mengumandangkan azan untuk shalat di malam yang dingin dan berangin. Lalu, beliau radhiyallahu ‘anhuma mengucapkan,

أَلاَ صَلُّواْ فِي الرِّحَالِ

“Tidakkah kalian shalat di rumah-rumah kalian.”

Setelah itu, beliau mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh muazzin beliau, jika malam dingin dan hujan, untuk mengucapkan,

أَلاَ صَلُّواْ فِي الرِّحَالِ

‘Tidakkah kalian shalat di rumah-rumah kalian’.” (HR. Al Bukhari, nomor 666)

Tentang hadits ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullahu ta’ala mengatakan,

“Dalam hadits ini, ada dalil tentang bolehnya shalat [berjamaah] di rumah, jika turun hujan atau ada ‘illah lainnya. Dan ‘illah maknanya adalah sebab. Karena itu, jika terdapat sebab yang mendatangkan kesulitan untuk menghadiri shalat berjamaah, maka tidak mengapa seseorang itu shalat di rumahnya berdasarkan kaidah umum dalam agama Islam ini. Yaitu, ‘Adanya kesulitan mendatangkan kemudahan’. Kaidah ini diambil dari firman Rabb kita ‘azza wa jalla,

يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

‘Allah menghendaki untuk kalian adanya kemudahan dan Dia tidak menghendaki untuk kalian kesulitan’. (QS. Al Baqarah: 185)

Dan juga firmah Allah ta’ala,

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

‘Dan Allah tidak menghendaki untuk kalian kesulitan di dalam agama ini’. (QS. Al Hajj: 78)

Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika mengutus para dai, mengatakan,

يَسِّرُواْ وَلاَ تُعَسِّرُواْ ، وَ بَشِّرُواْ وَلاَتُنَفِّرُواْ ، فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ تُبْعَثُواْ مُعَسِّرِيْنَ
‘Permudahlah dan jangan persulit. Berilah kabar gembira dan jangan membuat lari. Sebab kalian itu diutus untuk mempermudah dan bukan diutus untuk mempersulit’.

Kaidah ini, amat disayangkan, dibalik oleh kebanyakan para dai [sekarang], seolah-olah mereka mengatakan,

عَسِّرُواْ وَلاَ تُيَسِّرُواْ ، وَ نَفِّرُواْ وَلاَ تُبَشِّرُواْ
‘Persulitlah dan jangan kalian permudah. Buat lari manusia dan jangan beri kabar gembira’. Meskipun itu tidak dikatakan dengan lisan, tetapi hanya disampaikan melalui perbuatannya.”

Wasiat Agar Bertakwa Adalah Wasiat Yang Paling Bermanfaat

“Adapun wasiat, maka aku tidak mengetahui yang lebih bermanfaat dari wasiat Allah dan rasulNya bagi yang mau merenungi dan mengikutinya. Allah ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ

“Dan sungguh telah betul-betul kami mewasiatkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kalian dan juga kepada kalian agar hendaknya kalian bertakwa.” (QS. An Nisa’: 131)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah berwasiat kepada Mu’adz [bin Jabal] ketika hendak diutus ke Yaman. Beliau berkata,

اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ اْلحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Wahai Mu’adz, bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada. Dan ikutkanlah keburukan dengan kebaikan—niscaya akan menghapusnya. Serta pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. At Tirmidzi dan disahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam kitab Ash Shahihah)

Di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Mu’adz radhiyallahu ‘anhu memiliki kedudukan yang tinggi. Sebab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

يَا مُعَاذُ، إِنِّي وَاللَّهِ لأحبُّك
“Wahai Mu’adz, demi Allah, sesungguhnya aku betul-betul mencintaimu.” (HR. Abu Dawud dan An Nasa-i serta disahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam kitab Shahih Sunan Abi Dawud)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah pula memboncengkan Mu’adz di belakang beliau.

Dan diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda tentang Mu’adz,

أَعْلَمُ أُمَّتِي بِالْحَلالِ وَالْحَرَامِ


“[bahwa Mu’adz itu] yang paling berilmu pada umat ini tentang halal dan haram” (HR. At Tirmidzi, An Nasa-i, dan Ath Thabarani dan disahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam kitab Shahih Sunan At Tirmidzi) dan ketika hari penggiringan [nanti] Mu’adz berada sejarak satu rutwah di depan para ulama (HR. Ath Thabarani dan disahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam kitab Ash Shahihah).

[Satu rutwah] maksudnya, satu langkah.

Termasuk dari keutamaan Mu’adz, beliau pernah diutus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan dakwah beliau, dai, ahli fikih, mufti, dan hakim untuk penduduk Yaman.

Para sahabat nabi menyerupakan Mu’adz dengan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, Al Khalil, sedangkan Ibrahim [sendiri] adalah pemimpin manusia. Dan Adalah Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan, “Sesungguhnya Mu’adz itu salah satu umat yang istiqamah kepada Allah, lurus, dan tidak menjadi orang-orang musyrik.” (HR. Abdurrazzaq dan Al Hakim serta disepakati kesahihannya oleh Adz Dzahabi)

Sebuah ungkapan penyerupaan terhadap Ibrahim ‘alaihis salam [sebagaimana yang Allah sebutkan tentang Nabi Ibrahim itu dalam Surat An Nahl: 120)

Selasa, 11 April 2017

SEBAB MANUSIA MEMANG INGIN HIDUP BAHAGIA

Semua manusia yang hidup di dunia ini pasti menginginkan bisa hidup dengan bahagia. Namun, kebanyakan dari Kita lupa dengan makna kebahagiaan yang sebenarnya. Padahal, Allah menurunkan Islam agar semua manusia yang beriman dapat merasakan kebahagiaan dan ketentraman dengan selalu berada di atas jalan Islam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Kami tidak mengutus Engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiya: 107)

Allah menegaskan dalam ayat itu bahwa Islam adalah rahmat bagi semesta alam, tentu orang-orang yang beriman lebih pantas mendapatkan kebahagiaan dibandingkan makhlukNya yang lain.

Iman dan amal shalih memberikan pengaruh yang baik kepada kehidupan manusia. Ada korelasi yang kuat antara keimanan dan kebahagiaan. Pada surat Al Fatihah,  setelah Allah memerintahkan kita untuk meminta petunjuk agar kita selalu berada di jalan yang lurus, Allah menjelaskan bahwa jalan yang lurus itu:

اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ

“Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.” (QS. Al Fatihah: 6)

Maksudnya, mereka itu para nabi, para shiddiq, syuhada, dan orang-orang shalih. Sebab sejatinya, jalan yang lurus itu memang penuh dengan kenikmatan, penuh dengan kesejukan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Kita memerhatikan perjalanan hidup dan kisah para nabi dan shahabat, Kita akan berdecak kagum dengannya.

Iman adalah harta yang paling berharga dan termahal bagi seorang muslim. Semua kita pasti mendambakan memiliki iman yang baik yang menjadi sumber kebahagiaan dan ketentraman. Sebagaimana gambaran iman para sahabat yang telah Allah abadikan dalam Al Qur-an,

وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُوْلَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ


“Tetapi Allah menjadikan kamu sekalian (wahai para sahabat) cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah (seperti perhiasan) dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan perbuatan maksiat. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (QS. Al Hujurat: 7)

Hal itu senada dengan perkatan Ibnu Taimiyah juga. “Di dunia ada surga, yang tidak masuk ke dalamnya, tidak bisa masuk ke dalam surga di akhirat.” Yang dimaksud surga dunia adalah kenikmatan dalam iman dan amal shalih.

Hanya iman dan amal shalih yang mampu mengantarkan manusia ke puncak kebahagiaan tertinggi. Hanya iman dan amal shalih jugalah yang mampu mengantarkan manusia pada kenikmatan sejati dan abadi di akhirat kelak, sebagaimana yang Allah tegaskan,

مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ


“Siapa saja yang mengerjakan kebaikan baik laki-laki maupun perempuan dan dalam keadaan mukmin, maka akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari yang mereka kerjakan.” (Q.S An Nahl: 97)

Terlalu banyak contoh dan kisah nyata yang membuat kita semakin semangat untuk turut merasakan manisnya iman. Seperti kisah semangat Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat tahajud hingga kaki beliau bengkak. Rasulullah hanyalah manusia biasa. Beliau juga merasakan sakit yang sama seperti kita. Tentu bengkak tersebut terasa sakit dan tidak mengenakkan. Namun, karena iman yang benar telah merasuk ke dalam hati Rasulullah, maka semua rasa sakit tersebut tidak berarti—dikalahkan oleh kebahagiaan dan kenikmatan yang Rasulullah rasakan.

Banyak di antara kita yang mengaku beriman dan telah mengerjakan amal shalih,  namun mereka tidak merasakan kebahagiaan dengan iman dan amal shalih mereka. Justru, di antara kita banyak yang merasa berat dan terbebani oleh syariat yang telah diturunkan. Ibnu Taimiyah telah mengomentari hal ini dengan berkata,

“Jika engkau tidak merasakan manisnya (iman) dan kelapangan (di dalam hati) ketika beramal shalih, maka curigailah imanmu. Sebab sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala adalah asy syakur (maha mesyukuri atau membalas perbuatan baik hamba-hambaNya dengan balasan yang sempurna). Artinya, Dia pasti memberikan balasan bagi seorang hamba yang mengerjakan amal shalih di dunia dengan balasan yang berupa manisnya iman yang dirasakan di dalam hati, keteguhan dan kelapangan dada serta kesejukan dalam jiwa, maka ketika hamba tersebut tidak merasakan hal ini, berarti amalnya (imannya) telahbercampur (keburukan sehingga rusak).”

Para ulama telah menjelaskan kaidah-kaidah penting agar seseorang bisa merasakan manis dan lezatnya iman. Ibnul Qayyim mengatakan, “Kelezatan mengikuti yang dicintai.” Pernyataan ini tidak bisa dipungkiri kebenarannya. Kita bisa saksikan bagaimana asyik dan bahagianya seorang sahabat ketika bertemu dengan orang yang sangat dicintainya. Kita bisa saksikan bahagianya seorang ibu ketika melihat dan berkumpul dengan anak yang dicintainya.

Ya, itu karena berawal dari cinta. Artinya, seseorang bisa merasakan manisnya iman dan amal shalih jika dia bisa mencintai iman dan amal shalih. Artinya, ia juga harus bisa mencintai yang maha  memberikan dan menganugrahkan iman dan amal shalih tersebut, yaitu Allah. Ibnul Qayyim tidak sembarangan dalam membuat kaidah tersebut. Ada hadits Rasulullah yang sharih menguatkan perkataan beliau. Hadits itu dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ta’ala ‘anhu yang di dalamnya Rasulullah bersabda,

“Ada tiga sifat yang siapa saja memilikinya, maka ia akan merasakan manisnya keimanan: [1] menjadikan Allah dan rasulNya lebih dicintai dari selain keduanya, [2] mencintai orang lain semata-mata karena Allah, dan [3] merasa benci (enggan) untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah sebagaimana ia enggan untuk dilemparkan ke dalam api Neraka.”

“Ya Allah, hiasilah (diri) kami dengan perhiasan indahnya keimanan serta jadikanlah kami sebagai orang-orang yang selalu mendapat petunjuk dariMu dan memberi petunjuk kepada orang lain.”

DOA-DOA KETIKA HIDUP TERASA SEMPITT


1. عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ عِنْدَ الْكَرْبِ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ الْعَظِيمُ الْحَلِيمُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ رَبُّ السَّمَوَاتِ، وَرَبُّ الأَرْضِ، وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketika merasa sempit berdoa,

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ الْعَظِيمُ الْحَلِيمُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ رَبُّ السَّمَوَاتِ، وَرَبُّ الأَرْضِ، وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ

‘Tiada sembahan yang berhak disembah, kecuali Allah, yang maha agung, yang maha lembut. Tiada sembahan yang berhak disembah kecuali Allah, Rabb ‘arsy yang agung. Tiada sembahan yang berhak disembah kecuali Allah, Rabb langit dan Rabb bumi serta Rabb ‘arsy yang mulia’.” [HR. Al Bukhari nomor 6346 dan Muslim nomor 2703]

2. عَنْ أَسْمَاء بْنَتِ عُمَيسٍ قَالَتْ : قَالَ لِي رَسُولُ الله – صلَّى الله عليه وسلم -: ” أَلَا أُعَلِّمُكِ كَلِمَاتٍ تَقُوْليِنَهُنَّ عِنْدَ الكَربِ – أَوْ فِي الكَربِ – اللهُ اللهُ رَبِّي لَا أُشْرِكُ بِهِ شَيْئاً
Dari Asma’ bintu Umais radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadaku, ‘Maukah kuajarkan kata-kata yang engkau ucapkan ketika merasa sempit atau dalam kesempitan?

اللهُ اللهُ رَبِّي لَا أُشْرِكُ بِهِ شَيْئاً

Allah, Allah, Rabb-ku. Tidak akan kusekutukan Dia dengan apapun’.” [HR. Abu Dawud nomor 1525 dan Ibnu Majah nomor 3882, disahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib hadits nomor 1824]

3. عن أبي بكرة أنّ رسولُ الله صلى الله عليه وسلم قال : ” دعواتُ المكروبِ: اللهُمَّ رحْمتَك أرجُو، فلا تكلْنِي إلى نَفْسي طرْفَةَ عَينٍ، وأصلحْ لي شأني كُلَّهُ، لا إلهَ إلا أنتَ .

Dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Doa-doa bagi yang diberi musibah berupa kesempitan:

اللَّهُمَّ رَحْمتَكَ أَرْجُو، فَلاَ تَكِلْنِي إِلىَ نَفْسِي طَرْفَةَ عَينٍ، وَأَصْلِحْ لِي شَأنِي كُلَّهُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ


Ya, Allah, rahmatMu kuharapkan. Maka, jangan Engkau tinggalkan diriku sekejap mata pun. dan perbaikilah semua urusanku. Tiada sembahan yang hak kecuali Engkau’.” [HR. Abu Dawud nomor 5090 dan disahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ hadits nomor 3388]

4. عَنْ سَعْدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” دَعْوَةُ ذِي النُّونِ إِذْ دَعَا وَهُوَ فِي بَطْنِ الحُوتِ: لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ، فَإِنَّهُ لَمْ يَدْعُ بِهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ فِي شَيْءٍ قَطُّ إِلَّا اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ “.

Dari Sa’ad [bin Abi Waqqash] radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, ” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, ‘Doa Nabi Yunus ‘alaihis salam ketika berdoa dan beliau ada di dalam perut ikan paus:

لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

Tiada sembahan yang berhak disembah, kecuali Engkau. Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk dari orang-orang yang zalim.

Sesungguhnya, tidak ada seorang muslim yang berdoa dengannya terkait satu apa pun, kecuali Allah akan mengabulkan doanya’.” [HR. At Tirmidzi nomor 3505 dan disahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ hadits nomor 3383]

RUJUKAN: Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al ‘Abbad Al Badr. Atsar Al Adzkar Asy Syar’iyyah fi Thardil Hammi wal Ghammi. Madinah: TPn. 1421H, halaman 8-9.

DOA KETIKA SEDIH DAN GALAU

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam pernah bersabda,

ﻣَﺎ ﺃَﺻَﺎﺏَ ﺃَﺣَﺪًﺍ ﻗَﻂُّ ﻫَﻢٌّ ﻭَﻻ ﺣَﺰَﻥٌ ﻓَﻘَﺎﻝَ

“Tidaklah seseorang mengalami kegundahan dan kesedihan, lalu ia mengucapkan,

اللّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، وَابْنُ عَبْدِكَ، وَابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَم

‘Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hambaMu, anak hambaMu dan anak hamba perempuanMu. Ubun-ubunku berada di tanganMu. HukumMu berlaku padaku dan ketetapanMu terhadapku adalah keadilan. Aku mohon kepadaMu dengan segenap nama yang Engkau miliki yang Engkau namai diriMu sendiri dengannya, atau yang Engkau ajarkan kepada salah satu makhlukMu atau apa yang telah Engkau turunkan di dalam kitabMu atau yang Engkau simpan dalam ilmu ghaib di sisiMu agar Engkau jadikan Al Qur`an sebagai penyejuk hatiku dan cahaya di dadaku serta penawar kesedihanku dan pelenyap kegundahanku’.

ﺇِﻻ ﺃَﺫْﻫَﺐَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻫَﻤَّﻪُ ﻭَﺣُﺰْﻧَﻪُ ﻭَﺃَﺑْﺪَﻟَﻪُ ﻣَﻜَﺎﻧَﻪُ ﻓَﺮَﺣًﺎ

Kecuali, Allah akan menghilangkan kegundahan dan kesedihannya serta Allah gantikan dengan kebahagiaan.”

ﻓَﻘِﻴﻞَ : ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ، ﺃَﻓَﻼ ﻧَﺘَﻌَﻠَّﻤُﻬَﺎ ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﻘَﺎﻝَ : ” ﺑَﻠَﻰ ، ﻳَﻨْﺒَﻐِﻲ ﻟِﻤَﻦْ ﺳَﻤِﻌَﻬَﺎ ﺃَﻥْ ﻳَﺘَﻌَﻠَّﻤَﻬَﺎ


Lalu ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami mempelajarinya?” Beliau menjawab, “Tentu. Orang yang telah mendengarnya semestinya mempelajarinya.”

Hadits ini dihasankan oleh imam ahmad bin hambal di dalam Musnadnya.

RUJUKAN : Musnad Ahmad (Jilid I, halaman 452, hadits nomor 4318), Al Mustadrak Al Hakim (Jilid I, halaman 690, hadits nomor 1877 dan Al Hakim mengatakan, “Hadits shahih bi syarthi Muslim), dan disahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah (Jilid I, halaman 337).

Doa Meminta Jodoh bagi Muslimah

Doa Meminta Jodoh bagi Muslimah. Saat ini menikah banyak menjadi persoalan yang sangat pelik dan besar bagi beberapa pihak. Persoalan yang mengganjal kemudahan dan kelancaran pernikahan tidak sebatas factor biaya pernikahan yang besar saja. Dalam beberapa keadaan, persoalannya bahkan berakar kepada faktor pemilihan dan penentuan calon pasangan hidup.

Para akhwat / muslimah lebih pusing lagi. Jumlah kaum muslimah yang lebih banyak dari jumlah kaum pria adalah sebuah persoalan tersendiri. Apalagi para akhwat biasanya relatif pasif dan hanya menunggu bola. Maka urusan memilih seorang calon suami yang baik pemahaman dan pengamalan agamanya, baik akhlaknya, baik garis keturunan keluarganya, syukur-syukur tampan wajahnya dan mapan pekerjaannya, sungguh pekerjaan yang sulit.


Saking sulitnya, terkadang menantikan kedatangan seorang pria muslim yang rajin shalat lima waktu secara berjama’ah, tidak merokok dan bukan pengangguran saja —kriteria yang sebenarnya tak muluk-muluk— butuh waktu yang entah berapa lama, hanya Allah yang tahu. Ini adalah Doa Meminta Jodoh bagi Muslimah atau akhwat yang menantikan jodoh dan suami yang baik dalam agama, dunia dan akhirat.

Doa Meminta Jodoh bagi Muslimah
“ROBBI HABLII MILLADUNKA ZAUJAN THOYYIBAN WAYAKUUNA SHOOHIBAN LII FIDDIINI WADDUNYAA WAL AAKHIROH”.

Artinya:
“Ya Robb, berikanlah kepadaku suami yang terbaik dari sisi-Mu, suami yang juga menjadi sahabatku dalam urusan agama, urusan dunia & akhirat”.

Ada juga doa mencari jodoh dalam islam yang juga bisa dibaca oleh para akhwat yang mengharap jodoh dengan segera.

Doa Mencari Jodoh

“Rabbana hablana min azwaajina, wa dzurriyyatina qurrata a’yuniw, waj’alna lil muttaqiena imaamaa.”

Artinya:
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami jodoh [2] kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang2 yang bertakwa.” (QS 25:74)

Doa Minta Jodoh

“ROBBI LAA TADZARNI FARDAN WA ANTA KHOIRUL WAARITSIN”.
Artinya:
“Ya Allah janganlah engkau tinggalkan aku seorang diri dan engkau sebaik-baiknya dzat yang mewarisi”.

Semoga Allah SWT mengabulkan semua doa kita, dan semoga semuanya mendapatkan jodoh yang baik dalam agama, dunia dan akhirat.

Sabtu, 08 April 2017

NILAI SEBUAH KEJUJURAN

Islam datang ke tengah-tengah manusia mengajak kepada kejujuran, baik dalam ucapan atau amalan. Secara fitrah, manusia sepakat bahwa kejujuran adalah akhlak yang mulia nan terpuji. Manusia cenderung senang terhadap orang-orang yang jujur. Sebaliknya, kedustaan, kebohongan, merupakan akhlak yang tercela. Manusia merasa tidak aman dengan orang-orang yang senantiasa berdusta.

Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebelum diangkat sebagai rasul, dikenal sebagai orang terpercaya dan jujur. Orang-orang kafir Quraisy mengakui akan kejujuran beliau, sehingga beliau diberi gelar “Al Amiin”.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada para sahabat agar mereka senantiasa di atas kejujuran, sebagaimana ketika ditanyakan oleh Kaisar Heraklius. Apa yang diajarkan dan diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya? Dijawab,

“Ia memerintahkan kami melaksanakan shalat, bersikap jujur, menjaga kehormatan dan menyambung silaturahmi. Beribadahlah kepada Allah saja dan jangan menyekutukan kepadanya dengan sesuatu apapun, tinggalkanlah apa yang dikatakan bapak-bapak kalian.”

Makna jujur adalah sesuainya kabar dengan kenyataan. Apabila seseorang mengabarkan sesuatu sesuai dengan terjadinya tanpa ia tambah-tambahi atau ia kurangi, ia telah berkata jujur. Adapun jujur dalam amalan, seseorang berbuat sesuai dengan apa yang ada dalam hatinya, lahirnya sama dengan batinnya. Maka orang yang beribadah dengan ingin dilihat orang lain, tidaklah jujur dalam amalannya. Sebab ia menampakkan seakan beribadah dengan ikhlas karena Allah, namun hatinya bertentangan. Kejujuran adalah pangkal dari berbagai macam kebaikan. Betapa banyak muncul kebaikan disebabkan dari kejujuran. Terjalinnya silaturahmi, saling percaya, amanah senantiasa terjaga, dan yang lainnya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

طَاعَةٌ وَقَوْلٌ مَّعْرُوفٌ فَإِذَا عَزَمَ الْأَمْرُ فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْراً لَّهُمْ

“Taat dan mengucapkan perkataan yang baik (adalah lebih baik bagi mereka). Apabila telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya). Tetapi jika mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 21)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, dari hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu,
“Sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebaikan dan kebaikan mengantarkan menuju Surga. Sesungguhnya seorang berkata jujur, sehingga dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya kedustaan mengantarkan kepada kejelekan dan kejelekan mengantarkan kepada Neraka. Sungguh seorang berdusta sampai Allah catat ia sebagai pendusta.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari kejujuran timbul rasa tenang, karena orang yang jujur tidak pernah menyesal. Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa menyelamatkan orang yang jujur dengan kejujurannya, sehingga kita dapatkan orang-orang yang jujur dalam keadaan tenang. Tidak pernah menyesali apa yang telah terjadi. Dikarenakan ia telah melakukan sesuai dengan yang semestinya dan jujur, baik dalam ucapan atau perbuatan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kejujuran adalah ketenteraman dan kedustaan adalah kebimbangan.” (HR.Tirmidzi, disahihkan oleh Syaikh Al Albani)

Nilai kejujuran di dalam syariat sangatlah agung. Allah subhanahu wa ta’ala  membalas kejujuran dengan ganjaran yang besar. Dalam ayatNya, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيراً وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Ahzab: 35)

Namun yang sangat disedihkan, kejujuran menjadi sesuatu yang langka di tengah-tengah manusia. Tidaklah didapatkan orang yang jujur, kecuali segelintir dari kalangan mereka. Adapun kedustaan, menjadi sesuatu yang ringan, menyampaikan kabar tidak sesuai dengan kenyataannya. Kadang dilebihkan, kadang dikurangi. Bahkan, jauh dari kenyataan.

Padahal Allah subhanahu wa ta’ala memposisikan orang-orang yang jujur derajat kedua setelah para nabi dan rasul, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan orang-orang yang telah diberikan nikmat oleh Allah dengan jalan yang lurus. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَن يُطِعِ اللّهَ وَالرَّسُولَ فَأُوْلَـئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاء وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَـئِكَ رَفِيقاً

“Dan siapa saja yang menaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, para shiddiq, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An Nisa’: 69)

Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu adalah manusia paling jujur di antara para shiddiqin, sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling utama. Beliau membenarkan kabar yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa keraguan, sehingga beliau diberi gelar ash shiddiq. Beliau senantiasa jujur dalam ucapan dan perbuatan.

Siapa saja yang ingin mendapatkan keutamaan, sebagaimana yang telah didapatkan oleh Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, baginya untuk bersifat jujur. Hendaklah kejujuran menjadi perangai yang ada pada seorang muslim. Jadilah kita termasuk orang-orang yang jujur. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
 
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar.” (QS. At Taubah: 119)
 

Kembalinya Rasulullah SAW Ke Mekah

Pada tanggal 22 Ramadhan 8 H / Januari 630 M, Rasulullah SAW memimpin 10.000 kaum muslimin menaklukkan kota suci Mekah. Kembalinya Rasulullah SAW ke Mekah ini merupakan kemenangan besar yang terjadi di bulan Ramadhan tersebut telah berlalu selama 1424 tahun yang lalu, namun sampai hari ini dan esok, ia senantiasa melimpahkan beribu pelajaran bagi kaum muslimin. Para ulama, cendekiawan, dai, murabbi, serta mujahid selalu mengenangnya dan mengkajinya sepanjang masa. Dari suatu waktu ke waktu lainnya, mereka nantiasa menemukan mutiara pelajaran yang tiada habisnya.

Perjanjian Hudaibiyah Penyebab Keberangkatan Pasukan Islam
Perjanjian Hudaibiyah memberi kesempatan kepada setiap suku untuk bersekutu dengan pihak yang disukainya. Suku Khuza’ah memilih bersekutu dengan kaum muslimin, sedang suku Bakr bersekutu dengan Quraisy. Kedua suku ini sejak zaman Jahiliyah telah bermusuhan. Permusuhan itu terhenti dengan adanya perjanjian Hudaibiyah. Namun pada bulan Sya’ban 8 H atau 23 bulan sesudah perjanjian ditanda tangani, suku Bakr menyerang suku Khuza’ah secara sepihak. Suku Quraisy membantu penyerangan tersebut dengan senjata dan personil, sehingga belasan warga suku Khuza’ah tewas. Maka utusan suku Khuza’ah meminta bantuan kepada Rasulullah SAW di Madinah. Pencederaan Perjanjian Hudaibiyah secara sepihak ini mendorong Rasulullah SAW dan kaum muslimin untuk membela sekutu mereka dan menghukum musuh. Perjanjian Hudaibiyah yang semula dibenci oleh mayoritas kaum muslimin itu ternyata menjadi awal kemenangan besar.
Allah SWT berfirman,

فَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَيَجْعَلَ اللّهُ فِيهِ خَيْراً كَثِيراً
 
“Mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’ (4): 19)

Kekalahan mental pemimpin musyrik merupakan awal kemenangan Islam
Rasulullah SAW berangkat bersama pasukan Madinah yang berkekuatan 10.000 personil pada tanggal 10 Ramadhan 8 H. Sepanjang jalan, banyak anggota suku-suku Arab yang bergabung dengan pasukan beliau. Abu Sufyan bin Harb, pemimpin suku musyrik Quraisy, gemetar ketakutan mengetahui berita itu. Abu Sufyan berangkat bersama Abbas bin Abdul Muthalib untuk meminta jaminan keamanan dari Rasulullah SAW. Di lembah Zhahran, Abu Sufyan akhirnya menyatakan masuk Islam di hadapan Rasulullah SAW. Abu Sufyan menyaksikan sendiri besarnya kekuatan pasukan Islam. Pasukan musyrik Quraisy dan sekutunya pasti tak akan mampu memberi perlawanan yang berarti. Ia segera kembali ke Makkah dan mengumumkan kepada masyarakat Makkah, “Wahai kaum Quraisy, ini Muhammad telah datang membawa pasukan yang tidak bisa kalian tandingi. Sebab itu, barangsiapa memasuki rumah Abu Sufyan, maka ia aman. Barangsiapa memasuki rumahnya, maka ia aman. Dan barangsiapa memasuki Masjidil Haram, maka ia aman.” Penduduk Makkah pun berhamburan mencari selamat, dengan memasuki rumah masing-masing atau Masjidil Haram. Abu Sufyan telah kalah mental. Dan ia mengalahkan kaumnya sendiri. Mereka semua kalah mental, bahkan sebelum pasukan Islam benar-benar memasuki kota Makkah.

Kembali ke kampung halaman
Pasukan Islam terus berjalan, sehingga menebarkan rasa gentar di hati musuh pada setiap lembah dan kampung yang mereka lalui. Mereka berjalan sampai lembah Dzi Thuwa sampai akhirnya memasuki Makkah yang sunyi, lenggang. Rasulullah SAW menunggang untanya dengan memakai penutup kepala hitam dan merendahkan kepalanya sehingga jenggotnya menyentuh pelana unta, sebagai bentuk tawadhu’ kepada Allah SWT. Dahulu beliau diusir dan diburu oleh kaum musyrik Quraisy untuk dibantai. Kini, 8 tahun sesuadah semua kejahatan itu, beliau kembali dengan kekuatan besar untuk menaklukkan kampung halaman.
Allah Yang telah berfirman,

إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ قُل رَّبِّي أَعْلَمُ مَن جَاء بِالْهُدَى وَمَنْ هُوَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

“Sesungguhnya (Allah) Yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Quran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Katakanlah: “Rabbku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Qashash (28): 85)

Tiada kesombongan sedikit pun di dalam diri beliau, justru beliau menunjukkan kerendahan hati dan ketundukan di hadapan Allah Yang Maha Besar lagi Maha Perkasa. Beliau tidak melakukan pembakaran, perusakan, dan pembantaian, seperti yang biasa dilakukan oleh para diktator penakluk yang menang perang. Inilah akhlak para fatihin mujahidin rabbaniyyin.

Jaminan keamanan, kemenangan berikutnya
Rasulullah SAW kembali mengumumkan jaminan keamanan bagi penduduk Makkah, seperti yang sudah diumumkan oleh Abu Sufyan sebelumnya. Rasa aman menyelimuti seluruh penduduk Makkah. Negeri yang dahulu diwarnai penindasan kaum musyrik terhadap kaum muslimin kini sudah menjadi negeri yang aman dan penuh kedamaian. Rasa aman itu disusul oleh menjalarnya keislaman dan keimanan ke sanubari penduduk Makkah. Mereka pun masuk Islam secara sukarela dengan berbondong-bondong. Inilah kemenangan sejati.

Tiada jaminan keamanan untuk pemimpin kejahatan
Rasulullah SAW memberikan pengampunan umum kepada penduduk Makkah. Kecuali bagi para ‘penjahat perang’ yang melampaui batas dalam memusuhi Rasulullah SAW dan kaum muslimin. Mereka adalah orang yang menyerang wanita muslimah ketika berhijrah ke Madinah, atau melecehkan Rasulullah SAW lewat syair syair cacian makian, atau murtad disertai pembunuhan terhadap kaum muslimin. Mereka dijatuhi hukuman mati, walau bersembunyi di balik tirai Ka’bah. Ini juga merupakan kemenangan tersendiri, supaya masyarakat Islam terlindungi dari kejahatan pentolan kekafiran.

Penghancuran berhala-berhala
Di dalam dan sekitar masjidil Haram, Rasulullah SAW memimpi pasukan Islam menghancurkan satu demi satu berhala yang disembah oleh kaum musyrik. Masjid yang selama ini dikotori oleh kesyirikan dan kekejaman kaum musyrik terhadap kaum muslimin yang lemah, kini telah disucikan. Kesombongan para pemimpin musyrik yang melecehkan ayat-ayat Al-Qur’an dan dakwah Islam kini telah dirobohkan. Fisik berhala-berhala telah roboh. Bersamaan dengan itu, berhala pemikiran, kebudayaan, tradisi jahiliyah, dan pedoman hidup kaum musyrik juga telah roboh. Syariat Allah SWT-lah yang kini tegak dan berjaya. Ini juga adalah kemenangan tersendiri.

Baiat adalah kemenangan tersendiri

Seluruh penduduk Makkah berkumpul di masjidil Haram. Mereka mengikrarkan baiat masuk Islam, mendengar, dan taat kepada Rasulullah SAW. Pertama kali adalah kaum laki-laki, disusul kaum wanita. Kaum wanita berbaiat untuk tidak berbuat syirik, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak mereka, tidak mengada-adakan kebohongan, dan menaati Rasululah SAW dalam kebajikan. Baiat ini adalah sebuah kemenangan tersendiri.

Adzan di atas Ka’bah

Atas perintah Rasulullah SAW, Bilal mantan budak yang teguh di atas keimanan diperintahkan naik ke atas Ka’bah dan mengumandangkan adzan. Suara adzan menggema ke seluruh penjuru kota, memasuki setiap relung hati manusia dan rumah. Adzan merupakan persaksian akan pentauhidan Allah dan kerasulan SAW disertai ketundukan dalam shalat, untuk menggapai kemenangan dunia dan akhirat, sebagai bukti nyata kemenangan agama Allah dan keagungan  Allah Yang Maha Besar. Agama Allah berjaya di atas segala agama batil manusia, seperti agungnya suara adzan di atas Ka’bah.

Pengajaran Rasulullah SAW

Rasulullah SAW tinggal selama 20 hari di Makkah untuk memberikan pengajaran Islam kepada masyarakat. Rasulullah SAW juga mengutus pasukan ke berbagai daerah sekitar Makkah untuk menghancurkan berhala-berhala yang selama ratusan tahun disembah oleh suku-suku Arab.

Dahulu saat pertama kali berdakwah di bukti Shafa, Rasulullah SAW dicaci maki dan dilempari kerikil. Kini seluruh penduduk Makkah menghadiri dakwah beliau dengan mata yang melihat, telinga yang mendengar, dan hati yang menerima. Kini Rasulullah SAW dengan lantang mencabut paganisme dan budaya jahiliyah sampai ke akar-akarnya. Di hari penaklukan Makkah, Rasulullah SAW berkhutbah:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ،  إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِّيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ ، وَتَعَاظُمَهَا بِآبَائِهَا، فَالنَّاسُ رَجُلَانِ: بَرٌّ تَقِيٌّ كَرِيمٌ عَلَى اللَّهِ، وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ هَيِّنٌ عَلَى اللَّهِ، وَالنَّاسُ بَنُو آدَمَ، وَخَلَقَ اللَّهُ آدَمَ مِنْ تُرَابٍ قَالَ اللَّهُ: ” يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Wahai manusia! Sesungguhnya Allah telah melenyapkan fanatisme jahiliyah dan kebanggaan dengan nenek moyang dari diri kalian. Manusia hanya ada dua, orang mukmin lagi bertakwa yang mulia di sisi Allah, dan orang durjana yang celaka lagi hina di sisi Allah. Semua manusia keturunan Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah. Allah berfirman,

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat (49): 13) (HR. Tirmidzi no. 3193)

Penaklukan Makkah merupakan kemenangan di atas kemenangan. Rasulullah SAW memasuki kota Makkah sambil membaca ayat,

“Katakanlah: Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (QS. Al-Isra’ (17): 81)

Katakanlah: “Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi.” (QS. Saba’ (34): 49)

Setiap zaman memilik kemenangan tersendiri

Di setiap zaman dan setiap tempat, Allah mengutus di tengah umat ini orang-orang yang membuka penaklukan-penaklukan dan mengobati luka-luka umat. Hal itu sebagaimana Allah mengutus orang-orang yang memperbaharui ajaran Islam yang telah dilupakan dan menghidupkan kembali syariat Islam yang telah dicampakkan. Mereka semua disebutkan oleh hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ – عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ – مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا

“Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun orang yang memperbaharui agama umat ini.” (HR. Abu Daud no. 3740, dishahihkan oleh Ibnu Atsir, As-Suyuthi, Ibnu Hajar Al-Asqalani, dan lain-lain)

Manusia yang paling layak untuk menyandang kemuliaan tajdid adalah orang-orang yang Allah tegakkan untuk menghidupkan jihad dalam jiwa manusia, menghapus kehinaan umat, membebaskan tanah air kaum muslimin, menghidupkan kemuliaan umat, membangun jiwa dan meninggikan cita-cita mereka.

Dakwah Islam ini senantiasa berada dalam lindungan Allah sejak pertama kali dikumandangkan. Kemenangan Islam akan senantiasa terulang dan penaklukan Islam akan senantiasa terjadi. Allah telah menetapkan bahwa Ia akan senantiasa memenangkan Islam, menjayakan Rasul-Nya, dan menjadikan hamba-Nya yang beriman berkuasa di muka bumi. Saat itu terjadi, kekuasaan Islam akan mencapai seluruh penjuru bumi dan menjangkau setiap rumah.

Hukum Datang Ke Pernikahan Orang Beda Agama Dengan Kita

Bagaimana jika pada suatu waktu kita menerima undangan pernikahan dari tetangga atau teman kita yang beda agama dengan kita, dan tentu saja cara pelaksanaannya juga menurut agama yang mereka anut. Bolehkah kita menghadiri undangan tersebut bila acaranya di lakukan di sebuah gedung (bukan di gereja).

Untuk menghadiri undangan pernikahan Non-Muslim sebetulnya boleh saja, dengan catatan bukan di tempat mereka beribadah seperti di pura atau gereja. Ini dikarenakan termasuk Muamalat dan bukan termasuk ibadah, selama bukan termasuk dalam urusan agama insya’allah tidak apa-apa. Seperti yang terkandung dalam firman Allah SWT dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8.

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِوَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْوَتُقْسِطُواإِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

 
“Allah tiada melarang kamu untuk berlaku baik dan berbuat adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak mengusirmu dari negerimu”. [QS. Al-Mumtahanah: 08]

Lalu apakah kita wajib datang jika diundang?
Kita tidak wajib datang menghadiri pernikahan tersebut walau diperbolehkan. Hal ini seperti dijelaskan dalam Nihayatul Muhtaj (kitab Fiqh Madzhab Syafi’i) disebutkan: “Tidak wajib menghadiri undangan orang kafir, tetapi dianjurkan jika ada harapan masuk Islam, kerabat dekat, atau tetangga.” (Nihayah Al Muhtaj ila Syarh Al Minhaj, 21:356). Sedangkan dalam madzhab Hambali ada dua pendapat. Sebagian menyatakan boleh dan tidak makruh, sebagian lain menyatakan makruh.

Dan bolehkah kita mengucapkan selamat?

Boleh bila hanya mengucapkan selamat atas pernikahan mereka, asalkan jangan ditambahi dengan doa seperti semoga Mawadah, warohmah dll karena mereka tidak seagama dengan kita. Apalagi jika doanya menurut agama mereka, tentu tidak diperbolehkan. Intinya hanya mengucapkan ‘selamat ya’, itu cukup!

Yang harus diperhatikan dalam menghadiri pernikahan atau acara lain yang beda agama dengan kita adalah soal makanan. Apalagi kalau yang nikah dari etnis tionghoa, atau juga kristen batak. Mereka terbiasa menghidangkan babi di pesta-pesta. Termasuk arak yang juga sebagai minuman ‘wajib’ menjamu tamu di tradisi mereka.

Memang ada yang sudah menyajikan hidangan halal dan non-halal secara terpisah, namun adabeberapa hal lain yang mesti di perhatikan yaitu
1. Apakah peralatan makan, walau tempat sudah dipisah bisa terjamin ‘bersih’ dari kontaminasi makanan non halal, mengingat cara mensucikannya adalah dicuci 7x salah satunya dengan tanah
2. Apakah konsep non halal ini sudah betul-betul mereka pahami, bahwa :

- Unsur arak (ang ciu) maupun khamar lainnya dalam masakan juga termasuk dalam bentuk non-halal suatu masakan, bukan hanya karena mengandung B1 B2.
- Konsep sembelihan menurut syari’ah yang juga menentukan kehalalan makanan
Jadi bagaimana baiknya
Boleh datangi pernikahannya, boleh ucapkan selamat dan salaman (tentu pria dengan pria, wanita dengan wanita) lalu pulanglah.

Perang Badar, Pemisah Antara Kebenaran Dan Kebatilan

Rasulullah SAW menerima wahyu yang pertama di bulan Ramadhan. Di bulan yang penuh berkah ini pula, tepatnya hari Jum’at tanggal 17 Ramadhan 2 H (13 Maret 624 H), pasukan Islam menerjuni peperangan besar melawan pasukan musyrik Quraisy di dekat sumur Badar. Badar adalah daerah yang berjarak 155 km dari Madinah, 310 km dari Makkah, dan 30 km dari pesisir pantai Laut Merah. Rasulullah SAW bersama 83 shahabat Muhajirin, 61 shahabat dari suku Aus,  dan 170 shahabat dari suku Khazraj harus menghadapi 1000 orang prajurit musyrik Quraisy yang bersenjata lengkap.

Dengan izin Allah SWT, 70 orang musyrik Quraisy berhasil dibinasakan dan 70 orang musyrik lainnya ditawan. Di kalangan pasukan Islam, 6 shahabat Muhajirin dan 8 shahabat Anshar gugur sebagai syuhada’. Kemenangan telak pasukan Rasulullah SAW yang kecil atas pasukan musyrik yang besar itu diabadikan oleh Allah SWT sebagai yaumul furqan, hari pembeda antara kebenaran dengan kebatilan. Kebenaran Islam dari kebatilan jahiliyyah, kebenaran tauhid dari kebatilan syirik, kebenaran iman dari kebatilan kekufuran. Allah SWT berfirman,

“Jika kalian beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) pada di hari Furqaan, Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Anfal (8): 41)

Perang Badar adalah peperangan besar pertama antara kekuatan Islam dengan musuh-musuh Islam. Ia memang telah terjadi 1430 tahun yang lalu menurut kalender hijriyah. Namun sampai hari ini, bahkan sampai menjelang hari kiamat kelak, ia akan terus menjadi sumber pelajaran bagi kaum muslimin. Berjuta hikmah senantiasa ia pancarkan sebagai pelita jalan bagi para komandan dan prajurit jihad yang berjuang menegakkan Islam. Para dai, murabbi, mushlih, dan mujaddid, senantiasa menjadikannya sebagai panduan dalam meniti kerasnya jalan dakwah, tarbiyah, ishlah, dan tajdid.

Allah SWT menghendaki perang Badar sebagai pelajaran abadi bagi setiap muslim dan muslimah. Bukan sekedar melantunkan senandung shalawat Badar yang mengandung tawasul bid’ah dan syirik. Juga bukan hanya membaca atau menghafal kisahnya dari buku-buku Sirah Nabawiyah. Lebih dari itu, bagaimana kaum muslimin mengambil pelajaran akidah, ibadah, akhlak, mu’amalah, politik, ekonomi, dan militer dari perang Badar. Itulah yang dikehendaki oleh Allah SWT sebagaimana tersebut dalam firman-Nya,

“Sesungguhnya telah ada tanda bagi kalian pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan segolongan yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati.” (QS. Ali Imran (3): 13)

Saudaraku seislam dan seiman…

Kisah lengkap perang Badar sudah tertulis dalam buku-buku Sirah Nabawiyah. Shalawat Badar sudah terlalu sering kita dengar mengalun syahdu dari masjid dan majlis taklim. Namun, seberapa sering kita merenungkan dan mengambil pelajaran dari perang Badar? Sudahkah kita meluangkan waktu kita di bulan terjadinya perang Badar ini dalam kajian serius tentang hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik darinya? Sudahkah kita menjadi Ulil Abshar (orang-orang yang mempunyai mata hati) yang melaksanakan firman Allah SWT di atas?

Perang Badar adalah panggung nyata pelajaran akidah. Ia mengajarkan kemurnian niat lillahi Ta’ala dalam perjuangan, bukan memburu nikmat duniawi dengan kendaraan agama. Ia mengajarkan tawakal, tsiqah (percaya sepenuhnya), isti’anah (meminta pertolongan), dan istighatsah (meminta pertolongan saat bencana menimpa) kepada Allah semata. Ia menegaskan mu’jizat Nabi SAW, karamah para shahabat, dan turunnya pertolongan Allah. Ia meneguhkan iman kepada Allah, Rasul-Nya, dan malaikat-Nya. Ia mengajarkan wala’ kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum beriman. Ia mengabadikan bara’ kepada kaum musyrik, walau mereka adalah ayah, anak, saudara, atau kaum kerabat sendiri.

Perang Badar adalah wahana langsung pembelajaran ibadah. Ada pelajaran thaharah lewat air hujan. Ada pelajaran shalat wajib berjama’ah walau musuh sudah sejarak pandangan mata. Ada pelajaran shalat malam dan larut dalam khusyu’nya doa sebagai bekal sebelum berperang. Ada pelajaran dzikir sebelum, ketika, dan sesudah berperang.

Perang Badar mengajarkan akhlak secara praktik. Ia mengajarkan kepada setiap prajurit muslim untuk mendahulukan ajakan Allah dan Rasul-Nya walau tidak sesuai dengan keinginan dan kepentingan pribadi. Ia mengajarkan sikap siap dan taat kepada Rasulullah SAW meski bertolak belakang dengan kepentingan hawa nafsu. Ia mengajarkan pentingnya sabar dan tsabat (teguh, tidak mundur) saat bertemu musuh. Ia mengajari setiap komandan untuk bermusyawarah dengan bawahan, mencintai pasukan, dan mempedulikan semua kebutuhan mereka.

Perang Badar mengajarkan mu’amalah secara benar. Darinya, komandan memahami hak dan kewajibannya terhadap anggota pasukan. Pasukan mengenali hak dan kewajibannya terhadap komandan. Ia juga mengajarkan etika terhadap tawanan, harta rampasan perang, dan tebusan terhadap tawanan.

Perang Badar adalah teladan dalam ilmu kemiliteran. Memilih posisi yang tepat, menyediakan logistic yang cukup, mengirim mata-mata, menghimpun data yang akurat tentang kekuatan musuh, musyawarah komandan dengan para penasehat militer, membangun pos komando, menyiapkan dan mengatur barisan, mengatur siasat perang, ketaatan kepada komandan, kesolidan pasukan, keberanian dan keteguhan di medan laga, dan banyak pelajaran lainnya.

Perang Badar adalah sarana pembelajaran strategi ekonomi. Melemahkan kekuatan ekonomi musuh dengan menghadang dan merampas kafilah dagang mereka agar tidak dipergunakan sebagai sarana memerangi kaum muslimin, adalah tujuan utama keberangkatan pasukan Islam ke medan Badar. Suatu hal yang kini digembar-gemborkan oleh media massa zionis-salibis-sekuleris sebagai pembajakan, perampokan, dan kejahatan terhadap usaha bisnis kapitalis mereka.

Perang Badar juga merupakan ajang pertarungan politik antara kedua belah pasukan. Pihak yang menang akan meraih kepercayaan diri yang tinggi dan penghormatan dari bangsa Arab di seantero Jazirah Arab. Kaum Yahudi mulai memperhitungkan kekuatan kaum muslimin. Dan kaum musyrikin di Madinah terpaksa menampakkan diri sebagai orang-orang muslim, demi menyelamatkan nyawa dan harta mereka. Penduduk Madinah terbagi menjadi tiga; muslim, munafik, dan Yahudi. Kekuasaan Rasulullah SAW di Madinah semakin mantap, sedang kaum Yahudi dan munafik selalu mencari-cari kesempatan yang tepat untuk menikam dari belakang.

Bahkan perang Badar membawa dampak yang sangat luar biasa bagi bidang pendidikan. Anak-anak kaum muslimin di Madinah sibuk belajar baca-tulis. Gurunya adalah para tawanan perang musyrik yang memiliki keahlian baca-tulis, sebagai syarat pembebasan mereka. Pemberantasan buta huruf dan aksara begitu digalakkan. Kebodohan adalah musuh yang harus diperangi, sebagaimana mereka memerangi pasukan musrik di lembah Badar.

Benar yang beradu langsung adalah otot dan senjata di lembah Badar. Namun dimensi dan dampaknya meluas, merambah semua sektor kehidupan kaum muslimin dan kaum musyrikin. Demikian pentingnya kemenangan dan demikian berbahayanya kekalahan dalam perang ini, sehingga semalam suntuk Nabi SAW berdoa sambil menangis dalam shalat malamnya,

اللَّهُمَّ أَنْجِزْ لِي مَا وَعَدْتَنِي .. اللَّهُمَّ آتِ مَا وَعَدْتَنِي.. اللَّهُمَّ إِنْ تُهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةَ مِنْ أَهْلِ الإسلام لا تُعْبَدْ فِي الأرْضِ
!!

“Ya Allah, laksanakanlah apa yang Engkau janjikan kepadaku! Ya Allah, karuniakanlah kepadaku apa yang Engkau janjikan kepadaku! Ya Allah,jika Engkau membiarkan kelompok kecil umat Islam ini kalah binasa, niscaya Engkau tidak akan lagi disembah di muka bumi!” (HR. Muslim no. 3309)

Saudaraku seiman dan seislam…

Bulan Ramadhan adalah bulan jihad, ribath, dan kemenangan. Kemenangan mujahidin Imarah Thaliban di Afghanistan atas pasukan salibis NATO dan murtadin…kemenangan mujahidin Imarah Islam di Iraq atas pasukan salibis dan murtadin…kemenangan mujahidin Asy-Syabab atas pasukan salibis-murtadin di Somalia…kemenangan mujahidin Aden-Abyan atas pasukan murtadin di Yaman…dan kemenangan-kemenangan mujahidin lainnya di seluruh dunia…semoga merupakan rentetan panjang dari kemenangan telak perdana pasukan Islam di medan Badar  tahun 2 H.

Selasa, 04 April 2017

Makna Bersama Kesulitan Ada Kemudahan

Memahami Makna Bersama Kesulitan Ada Kemudahan dalam salah satu penggalan surat Al Insyiraah 5 – 6. Memahami dinamika hidup yang sering kita lalui dan kita jalani, roda-roda kehidupan pun akan terus berputar, keadaan akan selalu berubah, kadang di atas, kadang di bawah, begitu juga setiap orang pasti mengalami hal tersebut. Seperti sebuah sunnatullah, setelah lapar ada kenyang setelah haus ada kepuasan, setiap kegelapan akan terang benderang dan setiap kesulitan ada kemudahan. Wahai sahabat, janganlah bersedih, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, sebagaimana firman Allah:

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5-6).

Rasulullah SAW pun pernah mengalami berbagai cobaan dalam hidupnya, penganiayaan, cacian, pemboikotan pun pernah beliau rasakan, tapi sungguh luar biasa ketabahan beliau dan keoptimisan beliau dalam menyikapi hal itu semua. Ibnu Jarir yang bersumber dari al-Hasan dalam buku Riwayat Turunnya ayat-ayat suci Al-Qur’an berkata, ketika ayat 5-6 surat al-insyirah turun, Rasulullah SAW bersabda:

Bergembiralah kalian semua, karena akan datang bagi kalian kemudahan, kesukaran tidak akan mengalahkan dua kemudahan”.

Sebagai seorang mukmin kita harus meyakini bahwa setelah kesulitan akan datang kemudahan, ayat di atas memberikan pelajaran bagi kita untuk tidak berputus asa, yakinlah apabila himpitan dan kesulitan itu telah mencapai puncaknya, maka insya Allah ia akan berakhir dan terlampaui dengan hadirnya kemudahan dan kelapangan.

Selalu berprasangka baiklah atas ketentuan Allah terhadap diri kita, karena itulah yang terbaik, janganlah merasa terhimpit sejengkal pun, karena setiap keadaan pasti berubah. Dan sebaik-baik ibadah adalah menanti kemudahan dengan sabar. Betapapun, hari demi hari akan terus bergulir, tahun demi tahun akan selalu berganti, malam demi malam pun akan datang silih berganti. Meski demikian, yang gaib akan tetap tersembunyi dan Sang Maha Bijaksana tetap pada keadaan dan segala sifat-Nya. Dan Allah mungkin akan menciptakan sesuatu yang baru setelah itu semua.

Solusinya adalah Sabar..

Sabar menanti adanya kelapangan adalah solusi paling ampuh dalam menghadapi masalah, bukan dengan mengeluh dan berkeluh kesah. Imam Syafi’i pernah berkata dalam bait syair, Bersabarlah yang baik, maka niscaya kelapangan itu begitu dekat. Barangsiapa yang mendekatkan diri pada Allah untuk lepas dari kesulitan, maka ia pasti akan selamat. Barangsiapa yang begitu yakin dengan Allah, maka ia pasti tidak merasakan penderitaan. Barangsiapa yang selalu berharap pada-Nya, maka Allah pasti akan memberi pertolongan. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7: 598).