Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata :
أدركنا السلف وهم لا يرون العبادة في الصوم ، ولا في الصلاة ،
ولكن في الكف عن أعراض الناس . فقائم الليل وصائم النهار؛ إن لم يحفظ لسانه ؛ أفْلَس يوم القيامة
"Kami mendapati pada salaf bahwa mereka tidaklah memandang suatu ibadah itu dari puasa dan shalat semata, Akan tetapi bagaimana berhentinya dari menjatuhkan kehormatan manusia, seorang yang tegak shalat malam dan puasa disiang hari namun tidak menjaga lisannya maka bangkrut di akhirat." (At Tamhiid 17/443)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menutup pembahasan akidah dalam risalahnya yang terkenal “Al Aqiidah al Waasithiyyah” dengan pasal yang membahas tentang akhlak yang mulia. Ini menunjukkan, bahwa seharusnya akhlak yang mulia menjadi karakter kuat yang ada pada diri para penganut akidah yang lurus. Maka sungguh ironis, jika ada orang yang mengaku bermanhaj dan berakidah lurus, namun ternyata akhlaknya buruk; gemar mencela, merendahkan, menghina dan suka memberi gelar-gelar buruk kepada sesama.
Allah Azza wa Jalla, berfirman:
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰىٓ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌ مِّنْ نِّسَآءٍ عَسٰىٓ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوٓا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقٰبِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمٰنِ ۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَأُولٰٓئِكَ هُمُ الظّٰلِمُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (QS. Al-Hujurat 49: Ayat 11)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلاً بِالفِسْقِ أَوِ الكُفْرِ ، إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ ، إنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كذَلِكَ
“Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan atau kekufuran, melainkan akan kembali kepadanya tuduhan tersebut jika yang dituduhnya tidak demikian.” (HR Bukhari)
Dalam rangka mencegah perbuatan buruk ini, syariat juga menetapkan bahwa orang yang pertama mencela lebih besar dosanya dari dua orang yang saling mencela.
الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالاَ فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ
“Dua orang yang saling mencela, maka dosa yang dikatakan keduanya akan ditanggung oleh orang yang pertama kali memulai, selama yang terzalimi tidak melampuai batas.” (HR Muslim)
Mari kita simak nukilan-nukilan berikut dari kitab “al Qaulu asy Syaadz wa Atsaruhu fil Futyaa.” :
Sufyan Ats Tsaury berkata, “Jika engkau melihat seseorang mengamalkan suatu amalan yang diperselisihkan, sementara engkau berpendapat yang lain, maka jangan engkau larang ia.” (Hilyatul Auliyaa: 6/368)
Khatib al Baghdady juga meriwayatkan dari Sufyan bahwa ia berkata, “Apa yang diperselisihkan para ulama fikih maka aku tidak melarang seorang pun dari ikhwanku untuk mengambilnya.” (al Faqiih wal Mutafaqqih: 2/69)
Yahya bin Sa’id berkata, “Para mufti terus berfatwa menghalalkan ini dan mengharamkan itu. Yang menghalalkan tidak memandang bahwa yang mengharamkan telah binasa karena menghalalkannya, dan yang menghalalkan tidak memandang bahwa yang mengharamkan telah binasa karena mengharamkannya.” (Jaami’ Bayaan al Ilmi wa Fadhlihi: 2/902-903)
Imam Nawawi berkata, “Kemudian para ulama hanya mengingkari permasalahan yang diijmakkan, adapun yang diperselisihkan, maka tidak ada pengingkaran.” (Syarh An Nawawi ‘alaa Muslim: 2/23)
As Suyuthi menyebutkan sebuah kaidah dalam masalah ini dan berkata, “Masalah yang diperselisihkan tidak diingkari, yang diingkari adalah yang diijmakkan.” (Al Asybaah wa An Nadzaa`ir: 107)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Permasalahan-permasalahan ijtihad, orang yang beramal di dalamnya dengan pendapat sebagian para ulama, maka tidak diingkari dan tidak dihajr (boikot).” (Majmuu’ al Fatawa: 20/207)
أدركنا السلف وهم لا يرون العبادة في الصوم ، ولا في الصلاة ،
ولكن في الكف عن أعراض الناس . فقائم الليل وصائم النهار؛ إن لم يحفظ لسانه ؛ أفْلَس يوم القيامة
"Kami mendapati pada salaf bahwa mereka tidaklah memandang suatu ibadah itu dari puasa dan shalat semata, Akan tetapi bagaimana berhentinya dari menjatuhkan kehormatan manusia, seorang yang tegak shalat malam dan puasa disiang hari namun tidak menjaga lisannya maka bangkrut di akhirat." (At Tamhiid 17/443)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menutup pembahasan akidah dalam risalahnya yang terkenal “Al Aqiidah al Waasithiyyah” dengan pasal yang membahas tentang akhlak yang mulia. Ini menunjukkan, bahwa seharusnya akhlak yang mulia menjadi karakter kuat yang ada pada diri para penganut akidah yang lurus. Maka sungguh ironis, jika ada orang yang mengaku bermanhaj dan berakidah lurus, namun ternyata akhlaknya buruk; gemar mencela, merendahkan, menghina dan suka memberi gelar-gelar buruk kepada sesama.
Allah Azza wa Jalla, berfirman:
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰىٓ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌ مِّنْ نِّسَآءٍ عَسٰىٓ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوٓا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقٰبِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمٰنِ ۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَأُولٰٓئِكَ هُمُ الظّٰلِمُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (QS. Al-Hujurat 49: Ayat 11)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلاً بِالفِسْقِ أَوِ الكُفْرِ ، إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ ، إنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كذَلِكَ
“Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan atau kekufuran, melainkan akan kembali kepadanya tuduhan tersebut jika yang dituduhnya tidak demikian.” (HR Bukhari)
Dalam rangka mencegah perbuatan buruk ini, syariat juga menetapkan bahwa orang yang pertama mencela lebih besar dosanya dari dua orang yang saling mencela.
الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالاَ فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ
“Dua orang yang saling mencela, maka dosa yang dikatakan keduanya akan ditanggung oleh orang yang pertama kali memulai, selama yang terzalimi tidak melampuai batas.” (HR Muslim)
Mari kita simak nukilan-nukilan berikut dari kitab “al Qaulu asy Syaadz wa Atsaruhu fil Futyaa.” :
Sufyan Ats Tsaury berkata, “Jika engkau melihat seseorang mengamalkan suatu amalan yang diperselisihkan, sementara engkau berpendapat yang lain, maka jangan engkau larang ia.” (Hilyatul Auliyaa: 6/368)
Khatib al Baghdady juga meriwayatkan dari Sufyan bahwa ia berkata, “Apa yang diperselisihkan para ulama fikih maka aku tidak melarang seorang pun dari ikhwanku untuk mengambilnya.” (al Faqiih wal Mutafaqqih: 2/69)
Yahya bin Sa’id berkata, “Para mufti terus berfatwa menghalalkan ini dan mengharamkan itu. Yang menghalalkan tidak memandang bahwa yang mengharamkan telah binasa karena menghalalkannya, dan yang menghalalkan tidak memandang bahwa yang mengharamkan telah binasa karena mengharamkannya.” (Jaami’ Bayaan al Ilmi wa Fadhlihi: 2/902-903)
Imam Nawawi berkata, “Kemudian para ulama hanya mengingkari permasalahan yang diijmakkan, adapun yang diperselisihkan, maka tidak ada pengingkaran.” (Syarh An Nawawi ‘alaa Muslim: 2/23)
As Suyuthi menyebutkan sebuah kaidah dalam masalah ini dan berkata, “Masalah yang diperselisihkan tidak diingkari, yang diingkari adalah yang diijmakkan.” (Al Asybaah wa An Nadzaa`ir: 107)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Permasalahan-permasalahan ijtihad, orang yang beramal di dalamnya dengan pendapat sebagian para ulama, maka tidak diingkari dan tidak dihajr (boikot).” (Majmuu’ al Fatawa: 20/207)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar