Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كُلُّ امْرِئٍ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ حَتَّى يُفْصَلَ بَيْنَ النَّاسِ
“(di hari kiamat) setiap orang akan berada di bawah naungan sedekahnya hingga diputuskan urusan antar sesama insan...” (Shahih, HR Ahmad: 16882)
Sesungguhnya kita diperintahkan bersedekah harta hanya pada sebagian bukan keseluruhan...
Allah Ta'ala, berfirman:
وَأَنْفِقُوا مِنْ مَّا رَزَقْنٰكُمْ مِّنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِىَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَآ أَخَّرْتَنِىٓ إِلٰىٓ أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِّنَ الصّٰلِحِينَ
"Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesali), Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh." (QS. Al-Munafiqun 63: Ayat 10)
Abu Isa At-Turmirzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdu ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Aun, telah menceritakan kepada kami Abu Janab Al-Kalabi, dari Ad-Dahhak ibnu Muzahim, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa barang siapa yang mempunyai harta yang cukup untuk menghantarkannya sampai ke tempat suci guna menunaikan ibadah haji, atau mempunyai harta yang telah wajib dizakati, lalu dia tidak mengerjakannya, niscaya dia akah meminta untuk dikembalikan hidup ke dunia lagi di saat menjelang kematiannya.
Maka ada seorang lelaki yang memotong, "Hai Ibnu Abbas, bertakwalah kepada Allah, karena sesungguhnya orang yang meminta untuk dikembalikan ke dunia itu hanyalah orang-orang kafir." Maka Ibnu Abbas menjawab, dan membacakan ayat di atas.
Seorang manusia dipandang cacat jiwa ketika melalaikan waktu-waktunya untuk aktivitas yang benilai ibadah di hadapan Allah terlindas dengan urusan dunianya. Tenggelam dalam kesibukan dirinya, anaknya, istrinya, kerabatnya dan koleganya, serta merasa betah mencicipi semua fasilitas titipan Allah yang kadung raib dari kesadarannya .
Secara kronologis harta didahulukan daripada anak ketika menyebutkan sesuatu yang melalaikan dari ketaatan kepada Allah, ditelusur melalui pendekatan realitas bahwa bahaya fitnah harta lebih besar daripada bahaya fitnah yang ditimbulkan oleh anak dalam hal mendurhakai Allah. Sesungguhnya pokok harta paling berharga yang dimiliki seseorang itu ada pada waktunya. Seseorang terangkat menempati maqam mulia disisi Allah karena tidak mensia-siakan waktu untuk taat kepadaNya. Sebaliknya seseorang juga terjerumus ke lembah kehinaan karena mengabaikan waktu dan kesempatan.
Orang-orang yang tenggelam dalam kesibukan dunia fana dengan menggadaikan keabadian akhirat penuh pengabaian disinyalir sebagai orang-orang yang merugi. Dalam versi Imam Ar-Razi kerugian dimaksud karena mereka mengingkari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam urusan ketauhidan dan keyakinan adanya kebangkitan alam akhirat. Sedangkan Ath-Thabari menilai mereka sebagai orang-orang yang tertipu meraih kemuliaan dari Allah dan rahmatNya.
كُلُّ امْرِئٍ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ حَتَّى يُفْصَلَ بَيْنَ النَّاسِ
“(di hari kiamat) setiap orang akan berada di bawah naungan sedekahnya hingga diputuskan urusan antar sesama insan...” (Shahih, HR Ahmad: 16882)
Sesungguhnya kita diperintahkan bersedekah harta hanya pada sebagian bukan keseluruhan...
Allah Ta'ala, berfirman:
وَأَنْفِقُوا مِنْ مَّا رَزَقْنٰكُمْ مِّنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِىَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَآ أَخَّرْتَنِىٓ إِلٰىٓ أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِّنَ الصّٰلِحِينَ
"Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesali), Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh." (QS. Al-Munafiqun 63: Ayat 10)
Abu Isa At-Turmirzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdu ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Aun, telah menceritakan kepada kami Abu Janab Al-Kalabi, dari Ad-Dahhak ibnu Muzahim, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa barang siapa yang mempunyai harta yang cukup untuk menghantarkannya sampai ke tempat suci guna menunaikan ibadah haji, atau mempunyai harta yang telah wajib dizakati, lalu dia tidak mengerjakannya, niscaya dia akah meminta untuk dikembalikan hidup ke dunia lagi di saat menjelang kematiannya.
Maka ada seorang lelaki yang memotong, "Hai Ibnu Abbas, bertakwalah kepada Allah, karena sesungguhnya orang yang meminta untuk dikembalikan ke dunia itu hanyalah orang-orang kafir." Maka Ibnu Abbas menjawab, dan membacakan ayat di atas.
Seorang manusia dipandang cacat jiwa ketika melalaikan waktu-waktunya untuk aktivitas yang benilai ibadah di hadapan Allah terlindas dengan urusan dunianya. Tenggelam dalam kesibukan dirinya, anaknya, istrinya, kerabatnya dan koleganya, serta merasa betah mencicipi semua fasilitas titipan Allah yang kadung raib dari kesadarannya .
Secara kronologis harta didahulukan daripada anak ketika menyebutkan sesuatu yang melalaikan dari ketaatan kepada Allah, ditelusur melalui pendekatan realitas bahwa bahaya fitnah harta lebih besar daripada bahaya fitnah yang ditimbulkan oleh anak dalam hal mendurhakai Allah. Sesungguhnya pokok harta paling berharga yang dimiliki seseorang itu ada pada waktunya. Seseorang terangkat menempati maqam mulia disisi Allah karena tidak mensia-siakan waktu untuk taat kepadaNya. Sebaliknya seseorang juga terjerumus ke lembah kehinaan karena mengabaikan waktu dan kesempatan.
Orang-orang yang tenggelam dalam kesibukan dunia fana dengan menggadaikan keabadian akhirat penuh pengabaian disinyalir sebagai orang-orang yang merugi. Dalam versi Imam Ar-Razi kerugian dimaksud karena mereka mengingkari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam urusan ketauhidan dan keyakinan adanya kebangkitan alam akhirat. Sedangkan Ath-Thabari menilai mereka sebagai orang-orang yang tertipu meraih kemuliaan dari Allah dan rahmatNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar