Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata: "Adapun orang yang mengatakan astaghfirullah (aku memohon ampun kepada Allah) dengan lisannya sementara dia bermaksiat dengan perbuatannya maka dia adalah pendusta, istighfar dia tidak bermanfaat untuknya.
Ada permasalahan penting yang harus diperhatikan, yakni bahwa tidak cukup istighfar diucapkan hanya dengan mulut atau lisan. Hanya perkataan lisan Astaghfirullah, selanjutnya ucapan-ucapan ini tiada berbekas dalam hati, juga tidak membekas dalam perbuatan anggota tubuh. Fudhail bin ‘Iyadh berkata, "bahwa istighfar tanpa memutuskan dari perbuatan dosa adalah taubatnya para pendusta. Bahkan hingga dikatakan, memohon ampun (istighfar) hanya dengan lisan saja tanpa disertai perbuatan adalah pekerjaan para pendusta." (Al-Mufradat fi Gharibil Qur'an,).
Dan berkata ulama lain : "Istighfar kita membutuhkan istighfar." Artinya, bahwa barangsiapa beristighfar sementara dia tidak meninggalkan maksiat maka istighfarnya itu merupakan dosa yang membutuhkan istighfar pula. Maka hendaklah kita melihat hakekat dari istighfar kita supaya kita tidak menjadi para pendusta yang beristighfar hanya dengan lisan-lisan mereka sementara mereka terus berada di atas kemaksiatan mereka.” (Al-Khuthab Al-Minbariyyah Fil Munasabatil 'Ashriyyah, 1/226)
Allah Azza Wa Jalla, berfirman:
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ ۚ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
"Tetapi Allah tidak akan menghukum mereka, selama engkau (Muhammad) berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan menghukum mereka, sedang mereka (masih) memohon ampunan." (QS. Al-Anfal: Ayat 33)
Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, yang artinya ,” Tuhan kita setiap malam turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang tersisa. Allah berkata,”Orang yang berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkannya, orang yang meminta kepada-Ku maka Aku akan memberinya, orang yang meminta ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya”. (Hr Bukhari Muslim)
Dalam sunan Abu Daud dan Ibnu Majah, dari Abdullah bin Abbas, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang membiasakan istighfar, maka Allah akan memberikan untuknya jalan keluar dari setiap kesulitan, kelegaan dari setiap kesedihan dan Allah akan mengaruniakan rizki dari jalan yang tidak disangka-sangka.”
Imam Ar-Raghib Al-Ashfahami menerangkan : “Dalam istilah syara’, taubat adalah meninggalkan dosa karena keburukannya, menyesali dosa yang telah dilakukan, berkeinginan kuat untuk tidak mengulanginya dan berusaha melakukan apa yang bisa diulangi . Jika keempat hal itu telah terpenuhi berarti syarat taubatnya telah sempurna”.
Imam An-Nawawi dengan redaksionalnya sendiri menjelaskan : “Para ulama berkata, ‘Bertaubat dari setiap dosa hukumnya adalah wajib. Jika maksiat itu antara hamba dengan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia maka syaratnya ada tiga. Pertama, hendaknya ia menjauhi maksiat tersebut. Kedua, ia harus menyesali perbuatan nya. Ketiga, ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi. Jika salah satunya hilang, maka taubatnya tidak sah.
Ada permasalahan penting yang harus diperhatikan, yakni bahwa tidak cukup istighfar diucapkan hanya dengan mulut atau lisan. Hanya perkataan lisan Astaghfirullah, selanjutnya ucapan-ucapan ini tiada berbekas dalam hati, juga tidak membekas dalam perbuatan anggota tubuh. Fudhail bin ‘Iyadh berkata, "bahwa istighfar tanpa memutuskan dari perbuatan dosa adalah taubatnya para pendusta. Bahkan hingga dikatakan, memohon ampun (istighfar) hanya dengan lisan saja tanpa disertai perbuatan adalah pekerjaan para pendusta." (Al-Mufradat fi Gharibil Qur'an,).
Dan berkata ulama lain : "Istighfar kita membutuhkan istighfar." Artinya, bahwa barangsiapa beristighfar sementara dia tidak meninggalkan maksiat maka istighfarnya itu merupakan dosa yang membutuhkan istighfar pula. Maka hendaklah kita melihat hakekat dari istighfar kita supaya kita tidak menjadi para pendusta yang beristighfar hanya dengan lisan-lisan mereka sementara mereka terus berada di atas kemaksiatan mereka.” (Al-Khuthab Al-Minbariyyah Fil Munasabatil 'Ashriyyah, 1/226)
Allah Azza Wa Jalla, berfirman:
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ ۚ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
"Tetapi Allah tidak akan menghukum mereka, selama engkau (Muhammad) berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan menghukum mereka, sedang mereka (masih) memohon ampunan." (QS. Al-Anfal: Ayat 33)
Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, yang artinya ,” Tuhan kita setiap malam turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang tersisa. Allah berkata,”Orang yang berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkannya, orang yang meminta kepada-Ku maka Aku akan memberinya, orang yang meminta ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya”. (Hr Bukhari Muslim)
Dalam sunan Abu Daud dan Ibnu Majah, dari Abdullah bin Abbas, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang membiasakan istighfar, maka Allah akan memberikan untuknya jalan keluar dari setiap kesulitan, kelegaan dari setiap kesedihan dan Allah akan mengaruniakan rizki dari jalan yang tidak disangka-sangka.”
Imam Ar-Raghib Al-Ashfahami menerangkan : “Dalam istilah syara’, taubat adalah meninggalkan dosa karena keburukannya, menyesali dosa yang telah dilakukan, berkeinginan kuat untuk tidak mengulanginya dan berusaha melakukan apa yang bisa diulangi . Jika keempat hal itu telah terpenuhi berarti syarat taubatnya telah sempurna”.
Imam An-Nawawi dengan redaksionalnya sendiri menjelaskan : “Para ulama berkata, ‘Bertaubat dari setiap dosa hukumnya adalah wajib. Jika maksiat itu antara hamba dengan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia maka syaratnya ada tiga. Pertama, hendaknya ia menjauhi maksiat tersebut. Kedua, ia harus menyesali perbuatan nya. Ketiga, ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi. Jika salah satunya hilang, maka taubatnya tidak sah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar